Politisi senior PDI Perjuangan, Aria Bima mengatakan, ke depan tidak perlu lagi ada Pemilu dan Pilkada jika rezim bebas menggunakan kekuasaan, sehingga prosesnya sarat manipulasi.
Menurut dia, berbagai kecurangan dan pelanggaran Pemilu 2024 yang tidak ditangani dengan serius oleh KPU dan Bawaslu hingga mencapai puncaknya pada kerancuan sistem rekapitulasi suara yang terindikasi menguntungkan paslon tertentu, akan menjadi preseden bagi penyelenggaraan pemilu bahkan pilkada selanjutnya.
Aria Bima menilai, penguasa baik di pusat maupun di daerah akan memanfaatkan kekuasaan untuk menggiring atau memanipulasi proses pemilu, sebagaimana yang terjadi pada pemilihan Pilpres 2024.
“Tidak ada yang bisa melawan rezim kalau melihat betapa proses pemilu sekarang yang manipulatif sejak awal ini seolah dibiarkan terjadi. Kalau masih kejadian seperti ini, percuma tahapan pemilu dilakukan, mending oligarki ditunjuk saja biar selesai. Ini mau pakai cara apapun tidak akan bisa dilawan, manuvernya memang untuk memenangkan paslon tertentu,” ujar Aria Bima, dalam jumpa pers TPN Ganjar-Mahfud, di Jakarta.
Dia menilai, tidak perlu ada pemilu lagi maupun pemilihan kepala daerah jika sistemnya seperti sekarang, di mana penguasa tidak netral dan menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi sistem pemilu melalui program pemerintah dan pengerahan aparat.
“Kalau pemilu dilakukan dengan sistem seperti sekarang ini, ada politisasi bansos, subsidi pupuk, intimidasi kepada aparat desa melalui dana desa, belum lagi money politic, terus untuk apa kampanye, debat, tim narasi, tim subtansi, tim intelektual dikumpulkan. Tidak ada artinya semua, apalagi dengan closing yang amburadul seperti ini,” ungkap dia.
Dia mengatakan, KPU dan Bawaslu seharusnya meminta maaf atas penyelenggaraan Pemilu yang buruk, dan hanya menjadi ajang yang membuang uang negara, namun demokrasi tercoreng.
“Saya merasa tidak perlu lagi ada pemilu, bahkan pilkada juga tidak perlu. Buat apa buang-buang uang untuk penyelenggaraan pemilu, sampai rekap suara aja keliru. Kalau kondisi seperti ini, manipulatif dan tidak ada netralitas dari pemerintah, saya tanya kita masih perlu ada pemilu enggak? Karena sederhana, pakai saja dana desa, ancam kepala desa, tidak perlu paslon berdebat visi-misi, buat kampanye terbuka, dan lain-lain. Toh, hasilnya sudah ketahuan,” tutur Bima.
Pilar Keempat
Pada kesempatan itu, Aria Bima juga meminta media memainkan peran sebagai pilar keempat demokrasi untuk mengawal proses pemilu yang masih berjalan.
Ia menyayangkan pemberitaan media massa yang seolah menggiring opini bahwa pemilu sudah selesai hanya berdasarkan hasil quick count (hitung cepat), padahal proses penghitungan suara resmi masih berjalan.
Tak hanya itu, sejumlah pemberitaan pun sudah menanyakan tentang susunan kabinet dari pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Bahkan, PDI Perjuangan pun sudah digiring dengan pertanyaan apakah akan mengambil posisi sebagai oposisi atau akan berkoalisi dengan paslon 2.
“Kita masih dalam proses, tapi media saja sudah menggiring seolah pemilu ini sudah selesai, sampai bertanya pilih koalisi atau oposisi. Tolonglah teman-teman media, mainkan peran kalian untuk ikut mengawal demokrasi, sebagai pilar keempat. Jangan menggiring untuk menanyakan soal pembentukan kabinet, apakah yang kalah akan berkoalisi atau tetap oposisi, ini prosesnya belum selesai. Media harus mengawal pemilu by process, jangan cuma lihat dari quick count lalu dianggap sudah selesai,” kata Aria Bima.