Dosen UI Kritisi Biaya Hidup Masih Tinggi: Kepala Daerah Belum Jalankan Ajaran Marhaenisme

Podcast Bung Karno Series BKN PDI Perjuangan Bulan Bung Karno 2023 Episode 12 bersama Dosen Filsafat Universitas Indonesia Donny Gahral Adian.

Tidak satupun ajaran Marhaenisme yang tidak relevan sekarang. Sebab, selama ketidakadilan masih terjadi di Indonesia, maka selama itu pula gagasan dari Sukarno itu akan terus relevan. Bahkan, dengan teori politik-ekonomi pendiri bangsa itu, kita mampu menjelaskan tingginya biaya hidup di kota besar Indonesia sekaligus mencari solusi aplikatif yang bisa dirumuskan para kepala daerah.

Hal tersebut diungkapkan Dosen Filsafat UI Donny Gahral Adian saat mengisi Podcast Bung Karno Series 2023 yang tayang di kanal Youtube BKN PDI Perjuangan bersama host Ovi Wardana, Senin (12/6/2023).

“Bahwa ketidakadilan tidak bisa disalahkan orangnya, tetapi harus pada sistem. Yang dilawan bukan orang tapi sistemnya. Saya kira Marhaenisme sekarang sampai beberapa ratus tahun ke depan akan selalu relevan selama masih ada ketidakadilan,” ungkapnya.

“Kenapa masyarakat tidak bisa mengakses pangan murah, kesehatan murah, energi murah itu karena sistemnya,” imbuhnya.

Menurut Donny, Bung Karno melihat ketimpangan bukan hanya dalam kerangka modal (Kapital, Red) saja atau kemalasan seseorang dalam bekerja. Lebih dari itu. Sebab, faktanya petani punya tanah, punya cangkul, punya bajak. Nelayan juga punya perahu, tetapi tetap saja miskin. Maka ini adalah soal sistem: Neo-Kapitalisme, Neo-Kolonialisme dan Neo-imperialisme.

“Dalam politik, gagasan Marhaenisme harus punya kaki. Harus bisa diaplikasikan. Jika politik diartikan kekuasaan, maka partai sebesar PDI Perjuangan yang menghasilkan politisi-politisi besar, kepala daerah bahkan Presiden. Yang paling penting saat berkuasa patokannya harus memperhatikan kaum Marhaen, kaum yang paling tidak beruntung. Itu prioritas,” terang penulis buku Pengantar Fenomenologi itu.

Donny melihat beberapa kepala daerah melaksanakan Marhaenisme. Misal merevitalisasi pasar tradisional. Kenapa penting, karena kelas menengah bawah itu berbelanja disana. Namun, tidak semua kepala daerah menerapkan hal itu meski sudah dibekali kewenangan otonomi daerah.

“Bahkan di Amerika, mall itu tidak boleh ada di tengah kota. Hal itu dibuat untuk melindungi toko-toko kelontong yang ada di perkotaan. Perlindungan terhadap UMKM dan usaha kecil seperti itu adalah wujud aplikasi dari Marhaenisme,” tuturnya.

Keluarga miskin penerima manfaat dari Kemensos RI itu, lanjut Donny, ada 21,7 juta keluarga. Artinya, pemimpin Pro-Marhaen itu harus mengentaskan itu dengan bantuan pangan, subsidi, pendidikan dan energi. Bentuk aplikasinya bisa sedemikian rupa.

“Ini sebuah koreksi. Sistem pendidikan kita belum menjalankan Marhaenisme secara murni dan konsekuen. Misal, sekolah-sekolah elitis yang tercerabut dari akar rumput. Siswa tidak melihat kondisi yang ada di luar gerbang sekolahan. Mungkin 100 meter dari sekolahnya ada anak yang tidak bisa sekolah atau ada anak yang tidak bisa makan. Ini koreksi,” kata peraih Doktoral Ilmu Filsafat UI ini.

Kita, kata Donny, seharusnya tidak hanya mencetak anak cerdas tetapi juga anak yang memiliki empati. Seperti Bung Karno itu, dia bersekolah di ITB namun masih selalu sempat menengok para petani di Bandung.

“Kalau tidak punya empati, kita akan melihat satu generasi yang acuh terhadap sekitarnya. Acuh terhadap permasalahan sosial, sibuk terhadap dirinya sendiri, sibuk dengan karirnya sendiri, sibuk mengejar kekayaan tapi lupa saudara sebangsanya tidak bisa makan, tidak bisa sekolah,” tegasnya.

Selengkapnya di

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *