Orang-orang yang melakukan perjalanan pulang kampung tidak hanya melalui perjalanan fisik tapi juga merupakan perjalanan jiwa, sehingga mudik menjadi simbol ketenangan jiwa untuk kembali ke akar atau ke sumber.
Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Lembaga Seni dan Budaya PP. Muhammadiyah Kyai Khusen saat mengisi acara Inspirasi Ramadhan Edisi Sahur di kanal Youtube BKN PDI Perjuangan dengan Host Fahrudin, Kamis dini hari (4/4/2024). “Orang yang nggak bisa mudik, itu pasti ada kejiwaan yang tersumbat. Bisa jadi, dia dendam pada desanya, ayah ibunya, atau belum move on,” ujarnya.
Kyai yang populer dipanggil Kyai Cepu ini menjelaskan mudik juga merupakan bentuk uji coba eksistensi manusia karena harus melepaskan seluruh gelar-gelar yang mengikat dalam diri ketika pulang kampung. Misalnya, ketika di perantauan memiliki privilege maka saat pulang kampung hal tersebut hilang dengan sendirinya.
“Coba bayangin ketika kita di Jakarta memiliki kekuasaan penuh, tiba-tiba pulang kampung tidak ada yang hormati karena tidak ada yang kenal. Misalnya di sana rektor loh, nggak kenal rektor itu opo,” pungkasnya.
Menurut Kyai Cepu, peristiwa tersebut bagi orang yang tidak mempersiapkan batinnya maka akan terluka. Sebab, mudik itu kembali ke akar atau ke sumber. Sementara apabila ada orang tidak pulang kampung tandanya ada peristiwa yang masih terluka dengan kampungnya.
“Begitu pula orang meninggal kan hatinya mesti tenang kan. Jadi seenak-enaknya mampir ke rumah teman yang bagus, tapi tetap enak pulang kan. Begitu pulang terjadi peristiwa ketenangan batin,” katanya.
Kyai yang juga budayawan ini menambahkan bahwa mudik sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Mudik ini juga menyiratkan tentang hubungan antara budaya dan agama yang mustahil dipisahkan karena menjadi satu kesatuan. “Jadi, kalau tidak ada produk budaya, maka pelaksanaan agama tidak mungkin terjadi,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Kyai Cepu menjelaskan mudik bukan termasuk bid’ah meskipun tidak ada di zaman Rasulullah dulu. Sebab, mudik masuk dalam kategori ibadah umum yang caranya, waktunya, jumlahnya, dan redaksinya tidak diatur oleh Allah SWT secara rigid, misalnya budaya, tradisi, dan teknologi.
“Mudik lebaran termasuk ibadah umum, jadi bisa ditambah dan dikurangi, nggak mudik tidak apa-apa. Berarti tidak termasuk bid’ah. Jadi, kalau ada yang mengatakan bid’ah karena di zaman nabi nggak ada, aduh, berarti wawasannya kurang luas,” tutupnya.