Semangat Keadilan dan Kesetaraan dalam Piagam Madinah merupakan goresan sejarah peradaban yang hingga hari ini masih sangat sesuai dan perlu dijadikan pedoman. Piagam Madinah mengajarkan, agar kedamaian dan peradaban terbentuk, tidak boleh ada upaya saling mendominasi antar umat manusia.
Hal itu disampaikan oleh Khatib Aam PBNU KH. Yahya Cholil Staquf dalam acara Inspirasi Sahur Islam dan Kebangsaan bertema “Piagam Madinah : Semangat Keadilan dan Kesetaraan” yang versi lengkapnya bisa dilihat melalui channel Youtube bknpusat PDI Perjuangan pada Selasa (11/5/2021) yang dipandu oleh Garda Maharsi dalam acara sahur yang ditayangkan rutin setiap pukul 03.00 WIB selama bulan Ramadan.
“Piagam madinah itu yang ditawarkan Rasulullah dan diterima warga Madinah merupakan upaya pembangunan peradaban yang sangat luar biasa. Ada konteks dari piagam Madinah, yaitu Rasulullah hadir waktu itu di masyarakat Madinah setelah hijrah yang realitasnya secara keseluruhan masyarakat Arab di sangat terpecah-pecah, bahkan banyak sejarawan menyebut perang antar suku,” ujar Staquf.
Staquf menceritakan, di Madinah saat itu terdapat 4 suku, dari dua bangsa besar yaitu dua suku arab dan dua suku yahudi. Dua Suku Arab, yaitu qazras dan aus, sementara Suku Yahudi itu Bani qoinuqo dan Bani nazir. Terdapat konflik antar mereka yang sudah menjadi tradisi.
“Karena sudah menjadi bagian dari tradisi lantas Mereka saling menyerang dan sangat aneh, misalnya suku qazras bersekutu dengan bani qoinuqo dan suku aus bersekutu dengan bani nazir. Dan karena mereka disibukan dengan konflik mereka tidak sempat membangun peradaban di sana. Begitupun yang terjadi antara romawi dan persia mereka yang bertarung hanya karena ingin adu kekuatan militernya saja,” tutur Staquf.
Menurut Staquf, Rasulullah hadir dengan piagam Madinahnya ini luar biasa dalam membangun peradaban dalam konteks konflik seperti itu. Dalam piagam Madinah semua harus menghentikan konflik, menjaga keamanan siapapun, serta keadilan dan kesetaraan. Melalui piagam Madinah, konflik yang terjadi di Jazirah Arab saat itu pun dapat didamaikan.
“Ini hal yang sangat baru, sebelumnya misal ada satu orang suku lewat ke daerah suku lain jelas nasibnya, pasti mati. Begitu pun misalnya suku Persia kalau keluyuran ke daerah kekuasaan Romawi, pasti nasibnya tidak aman. Dari piagam Madinah kita bisa pahami kemudian bagaimana seharusnya bersikap di tengah masyarakat yang sifatnya heterogen,” kata Staquf.
Lebih lanjut, Staquf mengatakan, Piagam Madinah yang saat itu merupakan hal baru dalam sebuah peradaban dunia, sampai hari ini pesan fundamennya sangat kontekstual. Pesan itu adalah kesetaraan dan keadilan menjadi penting bagi setiap orang.
“Hari ini siapapun, jika belajar dari piagam Madinah, seharusnya tidak boleh ada yang berusaha mendominasi antara satu dengan yang lainnya. Dalam konteks global juga seperti itu, misalnya ada negara-negara besar yang coba mendominasi dan menyebabkan konflik-konflik antar negara, seharusnya belajar dari piagam Madinah, dan semua upaya saling mendominasi tersebut tidak boleh ada,” pungkas Staquf.