Di antara tradisi bulan suci Ramadan yang terdapat di Indonesia adalah tradisi ngaji pasanan atau posonan di bulan Ramadan. Ini merupakan sebuah bentuk kegiatan dan tradisi yang banyak kita jumpai di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia dalam mengisi kegiatan santri selama Ramadhan.
Hal ini disampaikan oleh Ajengan Ginajar Sya’ban dalam hikmah Ramadan menjelang berbuka puasa mengenai tradisi Ramadan di pesantren pada tayangan Inspirasi Ramadhan 2024 episode buka puasa di channel youtube BKN PDI Perjuangan, Senin, (18/03/2024).
Ia menambahkan bahwa kegiatan wajib pasanan di bulan Ramadan menitikberatkan pada pentingnya belajar agama dan ngaji kepada guru dalam memperdalam agama dan meningkatkan kualitas keilmuan.
“Ngaji pasanan juga menjadikan para santri lebih dekat memenuhi hari-hari mereka dengan kitab kuning yang menjadi salah satu simbol peradaban Islam di Indonesia dan juga rujukan otoritatif dalam tradisi keilmuan Islam,” ungkap Filolog muda yang juga merupakan Wakil Sekjen PBNU ini.
Pasanan atau posonan sendiri berasal dari kata “poso” atau puasa dalam bahasa Indonesia yang berarti “puasaan” yaitu sebuah istilah yang merujuk pada kegiatan mengaji kitab-kitab keilmuan islam tertentu yang diselenggarakan oleh pesantren khusus pada bulan Ramadhan.
Ngaji pasanan sering dilakukan dalam format bandongan, di mana seorang Kyai membacakan kitab dengan menjelaskan makna setiap kata atau kalimat yang dibaca kemudian Santri mendengarkan dengan seksama sambil mencatat penjelasan di antara baris-baris tulisan di dalam kitab.
Kegiatan pasanan di pesantren ini biasanya dilakukan dari tanggal 1 sampai 17 Ramadhan dengan target mengkhatamkan beberapa kitab keilmuan islam dari beragam jenis disiplin ilmu dan jenjangnya. Hal ini diungkapkan Gus Kanzul Fikri selaku pengasuh PP. Ma’had Ploso Kediri.
“Pada bulan Ramadhan, pengajaran di pondok pesantren ini menjadi sangat intensif, dengan seluruh materi pengajian, baik untuk anak-anak maupun dewasa, yang dimulai pada 1 Ramadhan dan akan selesai pada tanggal 17 Ramadan,” ungkapnya.
Dalam mengaji pasanan, biasanya seorang Kyai membaca kita dengan sebuah metode penerjemahan yang dikenal dalam bahasa Jawa dengan istilah “utawi” yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “adapun”.
Metode utawi merupakan salah satu cara tradisional untuk menerjemahkan kitab kuning secara mendalam dengan memberikan penekanan pada pemahaman struktur bahasa Arab, seperti subjek, predikat, objek, dan unsur lainnya.
Kitab kuning sendiri adalah sebuah istilah yang merujuk pada kitab-kitab klasik yang dikarang oleh para ulama selama ratusan tahun yang lalu. Sebutan “kuning” karena kebanyakan dicetak dalam kertas berwarna tersebut, dan banyak di antaranya ditulis dengan aksara Arab gundul atau tanpa tanda baca.
Metode utawi mengajarkan kepada santri untuk memahami kosakata secara menyeluruh, mulai dari makna kata per kata hingga memahami konstruksi kalimat secara keseluruhan. Tujuannya adalah agar para santri dapat menguasai bahasa Arab secara mendalam dan memahami kitab kuning dengan baik, termasuk keindahan dalam penggunaan kata-kata dalam konteks keagamaan.
“Pesantren salaf masih menggunakan metode-metode lama dalam proses belajar mengajar, seperti metode Tebu Ireng zaman Mbah Hasyim Asy’ari. Meskipun demikian, metode ini tetap efektif dan relevan untuk diajarkan kepada generasi muda,” tutup Gus Kanzul Fikri.
Selengkapnya di