Podcast Bung Karno Series BKN PDI Perjuangan Bulan Bung Karno 2023 Episode 24 bersama Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed.
Bung Karno dan Muhammadiyah faktanya memiliki nafas perjuangan yang sejalan dalam membangun Indonesia. Kesamaan tersebut pada akhirnya diyakini akan menjadikan Indonesia sebagai episentrum peradaban Islam dunia di masa mendatang.
Hal tersebut terulas secara mendalam pada Podcast Bung Karno Series bersama Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., yang tayang di akun Youtube BKN PDI Perjuangan, Minggu (25/6/2023) dipandu oleh host Ibrahim Rusli Jr.
“Waktu Bung Karno di Surabaya, beliau sering mengikuti pengajian yang diadakan oleh KH. Ahmad Dahlan, yang ceramah-ceramahnya itu sangat mencerahkan dan memberikan perspektif bagaimana berislam dan beragama yang berkemajuan,” ujar pria yang sempat menjadi Ketua PP Pemuda Muhammadiyah tersebut.
Abdul Mu’ti menambahkan, Bung Karno yang berpandangan progresif dan juga memiliki minat yang tinggi dalam memperdalam agama menjadikan ceramah KH. Ahmad Dahlan tidak hanya untuk memperkuat keyakinannya terhadap Islam, akan tetapi juga memberikan inspirasi bagaimana agama dapat menjadi sumber ajaran dan motivasi agar umat Islam turut dapat meraih keunggulan dan kejayaannya.
“Bung Karno sejatinya jatuh cinta dengan Muhammadiyah saat KH. Ahmad Dahlan sering mengadakan pengajian di kediaman teman dekatnya yakni HOS. Cokroaminoto, yang juga menjadi tempat kosan Bung Karno saat itu. Meskipun secara resmi beliau baru menjadi pengurus dan struktural Muhamadiyah saat menjalani pengasingan di Bengkulu,” ungkap cendekiawan Muhammadiyah tersebut.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah menuturkan, setidaknya ada tiga pondasi penting bagaimana pikiran Bung Karno dapat sejalan dengan Islam progresif dan berkemajuan yang dimiliki Muhammadiyah. Pertama, pemahaman ajaran agama yang terbuka. Kedua, sikap positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, egalitarianisme antara manusia dan kemanusiaan.
“Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang terbuka. Pertemuan di Muhammadiyah itu tidak hanya melibatkan laki-laki dan perempuan, dalam berbagai kegiatan melibatkan lintas suku, dan bahkan lintas agama. Hal ini juga menjadi salah satu alasan kenapa Bung Karno merasa Muhammadiyah itu seperti rumah, karena senafas dan sejalan dengan kepribadian Bung Karno,” kata Abdul Mu’ti.
Ia turut menyampaikan bahwa Muhammadiyah sebagai organisasi tidak anti kritik. Bahkan Bung Karno dengan pemahamannya dan masukannya untuk Muhammadiyah turut mendorong Muhammadiyah menjadi lebih terbuka dalam berbagai hal.
“Setidaknya ada tiga faktor kunci yang membuat Bung Karno sangat dekat dengan Muhammadiyah, pertama yakni kesamaan pandangan agamanya dengan Muhammadiyah. Kedua, kedekatan personal dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Ketiga, kedekatan secara kultur egaliter, keterbukaan dan semangat untuk senantiasa ingin maju,” jelasnya.
Pria yang sempat mengenyam pendidikan di Australia tersebut menerangkan, saat ini banyak kecenderungan umat Islam sangat konservatif dalam beragama, kaku, tertutup, dan anti terhadap kemajuan dalam memandang agama. Bung Karno juga sempat menyampaikan kritik dengan masih adanya umat di negeri ini, di era modern, yang masih hidup dengan cara 1.000 tahun lalu.
“Islam tentu harus berkemajuan dalam cara, yang kita ambil dari semangat masa lalu itu kan etos dalam berjihad, etos dalam mempertahankan keyakinan, dan tetap berpegang teguh pada ajaran agama, bukan abunya,” terangnya.
Menurut Abdul Mu’ti, paling tidak Indonesia memiliki lima modal besar untuk menjadi pusat peradaban Islam masa depan. Pertama, modal demografis mengingat Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Kedua, modal sosial, dengan corak umat Islam Indonesia yang toleran dan terbuka. Ketiga, modal ekonomi karena Indonesia memiliki karunia kekayaan alam yang melimpah. Keempat, modal politik dengan penerapan sistem demokrasi yang stabil berlandaskan Pancasila. Kelima, posisi geopolitik Indonesia yang bebas aktif dan membuat Indonesia tidak terlibat permusuhan secara langsung dengan negara lain.
“Selama kita menempatkan Indonesia sebagai rumah kita bersama dan menempatkan kebhinekaan sebagai kekayaan, maka politik Identitas tidak akan dapat mengoyak negara kita,” pungkasnya.
Selengkapnya di