Makalah Komunikasi Aria Bima: Sebaran Hoaks sebagai Masalah Komunikasi

Hoaks atau berita bohong sebarannya mulai merebak seiring dengan percepatan perkembangan teknologi komunikasi. Keberadaan media sosial dan semakin terjangkauanya harga smartphone, telah menyebabkan pengguna internet di Indonesia menduduki peringkat kelima terbesar di dunia dari segi jumlah. Jumlah yang demikian besar tersebut ternyata tidak diimbangi derajad literasi media maupun literasi informasi.  Hoaks banyak beredar melalui media sosial.Rendahnya derajad literasi media dan literasi informasi telah membuat mereka mengalami kesulitan untuk membedakan apakah suatu informasi itu berdasar fakta dan telah terverifikasi dan terkonfirmasi kebenarannya, atau sekadar hoaks atau berita palsu.

Penyebaran hoaks atau berita bohong sebetulnya bukan hal yang baru dalam sebaran informasi. Jika dulu penyebaran kabar bohong berlangsung dari mulut ke mulut secara berarntai, di era digital sebaran informasi hoaks itu berlangsung secara pesat dengan mengikuti logika eksponensial seperti pengembangbiakan virus. Sebaran informasi yang mengikuti logika eksponensial dalam pengembangbiakan virus itu melahirkan istilah viral. Istilah viral tidak hanya berlaku bagi informasi hoaks saja, tetapi berlaku bagi sebaran yang demikian cepat melalui platfom digital berbasis internet.

Istilah hoaks sendiri baru muncul pada 1808 di Amerika Serikat (AS), hoax berasal dari kata hocus, yang berarti mengerlirukan. Sejak 2017, kata hoaks sudah muncul dalam lema Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V, versi online. Penggunaan huruf ks menggantikan huruf x seperti yang berlaku dalam serapan kata yang berasal dari bahasa asing dalam penulisan berpedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) sehingga hoax dalam Bahasa Indonesia menjadi hoaks. Menurut KBBI, hoaks berarti 1. tidak benar, 2. berita bohong. Objek bahasan dalam artikel ini merujuk pada pemaknaan kata hoaks dalam pengertian menurut pengertian KBBI yang kedua. Hoaks dapat dimaknai sebagai pemberitaan palsu yang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenaran dan kesahihannya.

Jika dahulu penyebaran hoaks dilakukan melalui spanduk, poster, pamflet, selebaran gelap, seta rumor dan gossip secara berantai dari mulut ke mulut, maka di era digital hoaks disemai dan disebar melalui media sosial dan platform instant messaging. Penyebaran hoaks melalui media tradisional seperti media cetak dan media siaran, akan mudah dilacak sumber beritanya serta mudah dibersihkan sekaligus gampang menghilang dari kognisi khalayak. Sebaliknya, sebaran hoaks melalui media baru bisa menimbulkan ekses yang berbuntut panjang.

Dalam kajian komunikasi, pengertian hoaks dikembangkan dari definisi yang dikemukakan Mac Dougall seperti yang dikemukakan Pellegrini (2008) dalam disertasi yang dipertahankan di University of Southern California Los Angeles, AS, yang menyatakan bahwa hoaks adalah kebohongan yang dikarang sedemikian rupa oleh seseorang untuk mentupi atau mengalihkan perhatian dari kebenaran, yang digunakan untuk kepentingan pribadi, baik secara intrinsik mauapun ekstrinsik.

Jika Pellegrini lebih menyoroti pemanfaatan hoaks untuk kepentingnan pribadi yang bersifat individual, Rudiantara (2019), Menteri Komunikasi dan Informatika (2014-2019) menyatakan hoaks memiliki potensi tinggi untuk menjadi viral jika dikemas secara sophisticated. Selanjutnya Rudiantara mengemukakan, hoaks diciptakan oleh orang pintar tapi jahat, dan disebarkan oleh orang bodoh tapi baik. Di dunia digital hoaks adalah produk konten kreatif dibuat dalam bentuk informasi dan dibuat oleh mereka yang memiliki keterampilan atau kemahiran dalam desan komunikasi, desain grafis, copywriting bahkan hypnowriting.

Pengkajian hoaks pada platform digital di Indonesia memiliki signifikansi yang tinggi, mengingat Indonesia adalah negara dengan pengguna internet kelima terbesar di dunia. Berdasar catatan Paramita, Loisa, dan Setyanto (2019) dengan mengacu pada data Top 20 Countries With The Higher Of Internet User 2017, Indonesia menduduki peringkat kelima setelah China, India, AS, dan Brazil. Menurut survey Asososiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), 2017 sebagaimana dikutip Gunawan dan Ratmono  (2018 : 15-16), terjadi peningkatan pengguna internet dari 132,7 juta jiwa pada 2016 menjadi 142,26 juta pada 2017 dari total penduduk di Indonesia sebesar sekitar 262 juta jiwa. Penetrasi pengguna internet sebesar terbanayak di pulau Jawa sebesar 58,8 persen. Peningkatan pengguna internet itu akan terus bertambah pada tahun-tahun sesudahnya mengingat semakin terkoneksinya saluran telekomunikasi Palapa Ring – infrastruktur telekomunikasi berbasis serat optik, atau yang populer sebagai tol langit versi Presiden Joko Widodo. 

Dengan jumlah pengguna internet kelima terbesar di dunia, Indonesia bahkan mengungguli Jepang Rusia, dan Jerman. Jepang menempati urutan keenam setelah Indonesia, Di bawah Jepang Rusia menempati urutan ketujuh, dan Jerman pada urutan kesebelas. Apakah keunggulan jumlah pengguna internet di Indonesia mengungguli negara-negara maju seperti Jepang, Rusia, dan Jerman, berarti Indonesia juga tergolong dalam kategori negara maju. Jawabnya tentu membutuhkan penjelasan eksploratif dan elaboratif secara mendalam, tidak sesederhana sekadar membandingkan populasi pengguna internet.

Secara gamblang dapat dikupas berdasar data yang terkonfirmasi dan terverifikasi bahwa populasi pengguna internet yang besar, ternyata Indonesia rawan akan sisi negatifnya yakni beredarnya hoaks, berita palsu (fake news) ujaran kebencian (hate speech), kejahatan siber (cybercrime) dan adiksi pornografi. Lalu-lintas tentang informasi hoaks, ujaran kebencian, kejahatan siber,, dan adiksi pornografi, sebagian besar menumpang pada platform media sosial, dan instant messaging atau aplikasi chatting.

Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) dalam survei bertajuk Wabah Hoaks Nasional (2017) menyatakan data tentang hoaks paling banyak dipaparkan melalui media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, dan Path) mencapai 92,40 persen disusul aplikasi chatting seperti WhtasApp, Line, dan Telegram) dengan penetrasi 62,80 persen, dan situs web sebesar 34,90 persen. Riset Daily Social.id bekerjasama dengan Jakpat Mobile Survey Platform (2018) dengan responden 2032 pengguna smartphone dari seluruh penjuru Indonesia menyimpulkan bahwa saluran yang digunakan untuk menyebarkan hoaks, di Facebook sebesar 82,25 persen, WhatsApp  sebesar 56,55 persen, dan Instagram sebanyak 29,48 persen. Riset tersebut juga menunjukkan 44,19 persen responden menyatakan tidak memiliki kemampuan untuk mendeteksi berita hoaks, 51,03 persen menyatakan memilih diam walaupun tidak percaya atas kebenaran informasi yang disampaikan, ketika mendapati bahwa informasi tersebut sebenarnya adalah hoaks. Dari keseleruhan responden, 72 persen di antaranya cenderung membagikan informasi yang diterimanya dan dianggap penting tanpa memperhatikan informasi tersebut hoaks atau bukan. Dari keseluruhan responden, 73 persen di antaranya menyatakan selalu membaca secara keseluruhan informasi yang diterimanya, tetapi hanya 55 persen di anataranya yang melakukan verifikasi kebenaran aka nisi pesan atau melakukan cek fakta.

Selama ini Kemenkominfo mendeteksi hoaks dengan menggunakan mesin Automatic Identification System (AIS) atau mesin pengais (crawler) konten negatif seperti pornografi, hoaks dan berbagai modus kejahatan siber lainnya.  Dengan demkian lalu-lintas informasi yang bersliweran di jagad virtual dapat disaring. Meskipun demikian jumlah konten negatif seperti hoaks masih banyak yang yang lolos. Untuk itu perlu dilakukan pentapisan informasi secara berjenjang sehingga saringan menggunakan mesin AIS tersebut memiliki akurasi yang tinggi.

Subiakto (2019) menyatakan bahwa sebetulnya mendeteksi informasi hoaks bukan merupakan hal yang sulit. Menurut Subiakto terdapat tiga ciri utama hoaks, yakni :

  • Informasi berisi ajakan atau rayuan untuk mengikutinya dengan menggunakan bahasa yang mendorong timbulnya kebencian atau amarah terhadap pihak tertentu yang dijadikan objek kebencian atau amarah tersebut.
  • Informasi yang dimaksud juga berisi ajakan untuk menyebarluaskan atau memviralkannya.
  • Informasi yang tersampaikan biasanya akan menimbulkan rasa ragu-ragu atau sangsi terhadap kebenaran isi  informasi tersebut.

Hal yang membahayakan saat ini adalah rendahnya kepemilikan kemampuan untuk mendekteksi informasi hoaks di kalangan pengguna internet di Indonesia yang berada pada peringkat kelima terbesar di dunia itu. Dengan kata lain literasi masyarakat terhadap informasi hoaks masih sangat rendah (Juditha, 2019). Oleh karenanya tidak mengherankan bila produksi hoaks tidak makin berkurang, tetapi memiliki kecenderungan untuk meningkat dari waktu ke waktu.

Mengingat begitu mengkhawatirkannya akumulasi informasi hoaks dari waktu ke waktu, perlu dilakukan kajian yang mendalam tentang anatomi produksi dan penyebarannya dalam rangka penanggulangan akumulasi hoaks supaya kita semua dapat menggunakan internet secara sehat. Sebeluum melangkah lebih jauh, perlu dilakukan peninjauan dan perangkuman terhadap pengkajian informasi hoaks tingkat lanjut. Makalah ini tidak membahas masalah sebaran hoaks dari satu sisi saja, tetapi mencoba mernagkum beberapa laporan penelitian tentang berita bohong itu yang dimuat pada beberapa jurnal terakreditasi, maupun beberapa artikel mandiri dalam buku bunga rampai yang merupakan laporan atas kajian dengan topik bahasan yang sama, tetapi dari sudut pandang (angle) yang berberda.

Beberapa lajian yang hendak ditinjau dan dirangkum dalam makalah ini antara lain:

Maria Magdalena Sinta Wardani, MANIPULASI BAHASA DALAM TEROR KABAR BOHONG (HOAX), makalah Seminar Dies ke-24 Fakultas Sastra “Cerdas dan Humanis di Era Digital: Perspektif Bahasa, Sastra Dan Sejarah, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 26 April,2017.

Vibriza Juliswara, Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial, Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4  No. 2 , Agustus  2017

Justito Adiprasetyo. Gumgum Gumilar, Hartoyo dan Nunik Maharani, HOAX, REPRODUKSI DAN PERSEBARAN: SUATU PENELUSURAN LITERATUR, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 1, No. 4, Agustus 2017: 271 – 278,

Christiany Juditha, Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya (Hoax Communication Interactivity in Social Media and Anticipation), Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018: 31-44

Gallant Karunia Assidik, KAJIAN IDENTIFIKASI DAN UPAYA PENANGKALAN PEMBERITAAN PALSU (HOAX) PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA,  makalah pada Kongres Bahasa Indonesia XI, Jakarta, 28-31 Oktober 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Christiany Juditha, Literasi Informasi Melawan Hoaks Bidang Kesehatan di Komunitas Online, Jurnal ILMU KOMUNIKASI, Volume 16, Nomor 1, Juni 2019: 77-90.

Sinta Paramita, Riris Loisa, dan Yugih Setyanto, Media Digital dan Perubahan Perilaku Komunikasi Sosial, Disinformasi Era Post-Truth, dalam S. Arifianto dan Christianity Juditha (ed), Media Digital dan Perubahan Budaya Komunikasi, Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2019.

Christianity Juditha, Hoaks di Media Sosial Serta Dukungan Pemerintah Dalam Pemberantasannya, dalam S. Arifianto dan Christianity Juditha (ed), Media Digital dan Perubahan Budaya Komunikasi, Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2019.

Christiany Juditha, AGENDA SETTING PENYEBARAN HOAKS DI MEDIA SOSIAL, Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 22 No. 2, Desember 2019: 155-168

Penelusuran terhadap hasil kajian ihwal hoaks tersebut menyangkut perubahan perilaku komunikasi sosial, bahasa, anatomi dan persebaran hoaks, serta penyusunan informasi hoaks untuk tujuan tertentu. Berdasarkan artikel yang berhasil ditelusuri tersebut, penulis mencoba memtakan masalah posisi hoaks dalam masalah komunikasi di Indonesia.

Hoaks di Media Sosial

Dalam lema KBBI, hoaks dimaknai sebagai berita bohong. Apakah hoaks sama dan sebangun dengan berita palsu (fake news). Ada yang menganggap hoaks sama dengan berita palsu, tetapi adanya yang memaknai hoaks atau berita bohong berbeda dengan berita palsu. Gunawan dan Ratmono (2018: 3-11) mengurai perbedaan, persamaan, dan irisan makna antara hoaks dan berita palsu. Menurut majalah Tempo (edisi 8 Januari 2017), menerjemahkan hoaks sebagai berita palsu dan fake news adalah berita rekayasa. Tempo menyebutkan beberapa ciri hoaks antara lain, berita yang disajikan bohong atau palsu, peristiwa dihadirkan secara berlebih-lebihan atau beberapa bagian tertentu dipenggal atau dihilangkan, tulisan atau teks tidak sesuai gambar, judul tidak sesuai isi berita, pemuatan kembali berita lama seolah-olah terjadi secara aktual untuk mendukung isu yang tengah ramai dibicarakan, menuat foto peristiwa lain yang diubah sedemikian rupa  untuk mendukung isu yang sedang ramai diperbincangkan. Masih menurut Tempo seperti yang dikutip Gunawan dan Ratmono (2018:3-11), fake news dimakanai sebagai berita rekayasa dengan ciri sebagai berikut, fpada akta yang disajikan sebenarnya tidak ada, foto yang disajikan berupa kolase atau suntingan.

Definisi hoaks menurut Tempo  adalah berita tentang peristiwa faktual yang benar-benar terjadi , meskipun dalam penyampaiannya mengalami problematika dan terdistorsi sedemikian rupa. Sedangkan fake news menurut Tempo adalah berita yang menghadirkan peristiwa yang tidak faktual, atau tidak mengandung fakta sama sekali.

Definisi tentang fake news sebagaiamana yang disampaikan Tempo bertentantangan dengan pendapat beberapa kalangan. Argumentasi dasarnya adalah hoaks dan fake news keduanya adalah produk rekayasa yang diproduksi dan didistribusikan secara sengaja untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Oleh karenanya, fake news bukan sekadar berita rekayasa, tetapi adalah kabar atau berita yang berisi informasi palsu melalui rekaya. Allcot dan Gentzkow (2017:214) dalam Gunawan dan Ratmono (2018) menyatakan hoaks dan berita palsu berkaitan erat, “hoaks adalah sepupu berita palsu”. Selanjutnya Allcot dan Gentzkow menyatakan berita palsu adalah “artikel berita yang terbukti keliru dan disengaja, serta dapat menyesatkan pembaca”. Sedangkan hoaks diamkanai sebagai laporan yang dibelokkan atau menyesatkan, walaupun tidak sepenuhnya salah”. Baik hoaks maupun berita palsu, keduanya berpotensi menyesatkan khalayak. Yang menjadi pembeda di antara keduanya adalah, berita palsu seluruh informasi yang dikandungnya sama sekali tidak benar, sementara hoaks meski tidak seluruhnya keliru tetapi berpotensi menyesatkan.

Produksi hoaks dan berita palsu lebih banyak didasari motif mencari keuntungan finasial (pecuniary), namun tidak jarang juga pembuatan hoaks dan berita palsu dilatarbelakangi kepentingan ideologi dan perbedaan prinsip dengan pihak yang diserang.

Ketika produksi hoaks dan berita pals terus berlangsung, artinya hoaks dan berita palsu memiliki konsumen. Siapa sebenarnya konsumen hoaks dan berita palsu itu? Terdapat dua kelompok konsumen hoaks, pertama adalah mereka yang cepat menangkap maksud pesan apa yang disampaikan oleh berita bohong tersebut, dan memiliki maksud-maksud tertentu yang sejalan dengan tujuan dan kepentingannya. Oleh karenanya sangat mungkin bila produsen dan konsumen berada dalam link komplotan yang sama. Karena berada dalam link komplotan atau atau jejaringan, maka konsimen seperti inilah yang berpotensi menjadi pemantik penyebarluasan hoaks secara masif. Penyebarluasan secara masif terjadi karena konsumen yang bersangkutan akan meneruskan, membagikan, dan mensirkulasikan kembali hoaks yang dikonsumsinya itu. Konsumen tipe kedua, mereka yang tertipu karena tidak dapat mengidentifikasi informasi yang diterimanya adalah hoaks. Konsumen tipe kedua ini biasanya akan merasa malu karena harus menerima kenyataan bahwa informasi yang dipercayainya sebagai benar ternyata hoaks.

Teknologi komunikasi dan informatika telah membawa perubahan pesat dalam sebaran informasi. Jarak, ruang, dan waktu tidak lagi menjadi kendala penyampaian informasi. Peristiwa yang terjadi di manapun dapat diketahui oleh orang yang berada pada belahan bumi yang lainnya dalam waktu yang hampir tidak berjarak. Sepanjang ada sinyal yang menghubungkan perangkat komunikasi dan saluran internet, maka prinsip kesegeraan (just in time) dalam penyampaian informasi dapat dilakukan.

Penyampaian informasi secara cepat tanpa kecuali juga mengandung dan mengundang ekses yang sebetulnya tidak dikehendaki banyak kalangan yang memiliki niat baik, yakni hoaks dan berita palsu juga ikut tersampaikan . Produksi hoaks dan berita palsu secara massif terjadi seiring dengan kehadiran teknologi media baru – terutama media sosial. Mengikuti adagium Marshall McLuhan, the medium is the message, Konsep McLuhan tentang global village yang telah dikemukakan sejak 1964 itu kini terbukti. Sekat-sekat atau batas negara seakan tidak berlaku lagi. Apa yang terjadi di sudut wilayah dunia, secepatnya akan diketahui oleh warga seluruh duni. Keberadaan internet telah mewujudkan impian tentang global village itu.

Keberadaan internet telah melahirkan ruang siber (cyberspace), jagad virtual, atau dunia maya. Dunia maya adalah ruang baru yang bersifat imajiner yang dibangun dalam lingkungan komunikasi berbasis computer atau Computer Mediated Communication (CMC). Pertukaran informasi – yang merupakan bagian tak terpisahkan dari komunikasi – merupakan aktivitas kunci di dunia maya. Oleh karenanya dunia maya sering juga disebut informational space. Di dunia maya, tidak jelas lagi jenjang dan hirarki serta lingkaran kekuasaan. Semuanya berjalan begitu saja tidak jelas ujung-pangkalnya. Di dunia siber semua orang bisa dan bebas mempraktikkan kekuasaannya, salah satu di antaranya adalah dengan memproduksi dan menyebar, serta mensirkulasi secara massif infornasi hoaks.

Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informatika, di ruang siber telah hadir media baru yang disebut media sosial. Juditha (2018) mencoba menjelaskan pengertian pemaknaan media sosial dengan merangkum dan membuat konstruk sedemikan rupa untuk menjelaskan tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan media sosial itu. Media sosial menurut Van Dijk Dijk (2013) adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu, media sosial dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.  Sedangkan Boyd (2009) mendefinisikan media sosial sebagai kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain. Wright dan Hinson berpendapat bahwa media sosial memiliki kekuatan pada user generated content (UGC) di mana konten dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di institusi media massa. UGC yang tersebar melalui internet bertujuan untuk berbagi dan memfasilitasi percakapan diantara penggunanya (Goldfine, 2011). Pepitone (dalam Westerman, 2013) juga mengatakan media sosial dianggap sebagai salah satu teknologi yang penggunaannya meningkat sebagai sumber informasi. Sementara Villanueva mengatakan media sosial merupakan bagian internet yang memberikan kekuasaan setiap orang untuk menginformasikan gagasannya kepada orang lain, baik secara interpersonal, maupun ke banyak orang (Winkelmann, 2012)

Media sosial menciptakan ruang bagi manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya sekaligus mendapatkan respon balik atas pikiran dan perasaan yang diekspresikannya. Media sosial tumbuh dari teknologi web 2.0 yang melahirkan Social Networks Sites (SNS) atau situs berjejaring sosial. Menurut Wisnuhardana (2018), teknologi SNS telah memungkinkan pengguna individu untuk:

  • Menciptakan suatu profil bagi dirinya sendiri yang dapat diatur secara publik, semi publik, atau privat dalam platform SNS
  • Mengekspresikan dan mengartikulasikan pikiran, gagasan, pengalaman, pendapat, dan mengatur siapa saja daftar pengguna lain di dalam platform yang dapat berkomentar atau merespons apa saja yang mereka ekspresikan.
  • Melihat, meanggapi meneruskan, termasuk membatasi dan menutup akses interaksi dengan pengguna yang lain yang tidak dikehendaki.

Beberapa platform media sosial yang menjadi kancah penyebaran hoaks adalah Facebook, Twitter, Instagram, dan platform instant messaging seperti WhatsApp.

Dalam tataran sederhana komunikasi manusia bisa bersifat langsung, maupun melalui medium. Komunikasi antarmanusia yang bersifat langsung, artinya pertukaran pesan berlangsung melalui tatap muka. Komunikasi menggunakan medium pada sistem analog juga bersifat langsung, sedangkan komunikasi menggunakan medium pada sistem perangkat digital bisa bersifat langsung dan tidak langsung. Model komunikasi dengan menggunakan medium sistem dan perangkat digital memungkina seorang individu berkomunikasi dengan orang asing yang sebelumnya tidak pernah dikenal.

Di era pasca kebenaran (post-truth) hoaks dan berita palsu tumbuh subur di seluruh aspek kehidupan. Istilah post-truth sendiri muncul di AS sejak 1992. Ada kalangan yang menyatakan pasca kebenaran tak lebih dari sekadar omomg kosong yang menaklukkan dunia.  Dalam  post-truth, melihat kebenaran bukan lagi berada dari penjelasan bersifat empiris dan logis, tapi berdasarkan emosi dan kepercayaan pra asumsi seseorang. Menurut Oxford Dictionary, pasca kebenaran dijelaskan sebagai berikut, relating or denoting circumstance in which objective fact are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief (berhubungan dengan kondisi seseorang dimana fakta objektif kurang memiliki pengaruh dalam membentuk opini daripada kecenderungan emosi dan kepercayaan pribadi). Praktik pasca kebenaran yang paling nyata adalah strtaegi pemenangan Pilkada DKI 2017 yang mengedepankan politik identitas dan ujaran kebencian. Pasca kebenaran memunculkan bahwa fakta dan objektivitas bukan lagi hal terpenting, tetapi sisi emosional dan kebencian yang lebih mengemuka. Makna kebenaran dan objektivitas direlativikasi fakta objektif dikalahkan dengan hal-hal yang bersifat emosional, serta keyakinan pribadi yang sangat subjektif, dan dibangun melalui opini.  Oleh karenanya bila hoaks dan berita palsu, serta ujaran kebencian (hate speech) mendapat ladang persemaian yang subur di era pasca kebenaran.

Tinjauan dan Rangkuman

Kajian tentang hoaks yang diperoleh dalam bentuk cetakan maupun unduhan dari jurnal selama tiga tahun terakhir mencakup implementasi hoaks dalam praksis Bahasa Indonesia dan peanggulangganya (Maria Magdalena Sinta Wardani, 2017, Gallant Karunia Assidik,2018). Kajian Wardani menunjukkan pemilihan kata-kata agamawi, berbau religious menjadi pilihan dalam penyebaran hoaks dengan sasaran akhir untuk melakukan teror pada kelompok yang memiliki keyakinan lain, dan pilihan politik yang berbeda pula. Intensi pembuat kabar bohongyang bersembunyi di balik kata-kata yang menyiratkan nasihat dan kepedulian. Intensi pembuat kabar bohong yang bersembunyi di balik redaksi faktual dan informatif teks berita dengan konten fenomenal yang sesuai dengan harapan segmen sosial tertentu, dan pemanfaatan kekhasan komunikasi bentuk teks di media digital yang berupa pungtuasi dan huruf.

Manipulasi emotif ditandai penggunaan kata-kata yang memiliki konotasi(positif maupun negatif) dan kata-kata yang mengekspresikan nasihat serta kepedulian. Manipulasi rasional ditandai dengan adanya informasi faktual tentang suatu peristiwa yang diberitakan dan adanya rekonstruksi kategori. Manipulasi bahasa dalam kabar bohong dilakukan untuk menyebarkan ketakutan dan kepanikan massa. Karena berbagai isu dalam kabar bohong dapat digunakan untuk menyerang rasa aman, kabar bohong termasuk teror. Dampak negatif kabar bohong seharusnya membuat masyarakat menyadari pentingnya literasi media dan kesadaran kritis terhadap penggunaan bahasa dalam komunikasi daring bermedia digital.

Sedangkan Gallant Karunia Assidik melakukan bagaimana cara melakukan identifikasi dan menangkal hoaks melalui pembelajaran Bahasa Indonesia melalui pendidikan sekolah. Identifikasi  dan penangkalan hoaks dalam proses belajar-mengajar untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan metode CINTA (Cermat, Integratif, Normatif, Tanggap, dan Arif). Guru memegang peranan penting serta harus berbekal cinta kasih dengan dasar niat untuk mencerdaskan dan membentuk generasi muda yang sadar hoaks. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna internet, dan secara tidak langsung adalah yang turut serta menyebarkan hoaks, adalah pengguna internet usia remaja. Usia remaja yang masih berstatus pelajar SMP dan SMA adalah generasi muda yang rentan dan mudah tersulut emosi terhadap pemberitaan hoaks. Oleh karenanya, guru berperan untuk membantu siswa memilih dan memilah tulisan dan pemberitaan di media sosial. Pendidik harus siap untuk menangkal hoaks dan membalikkan keadaan dengan mengarahkan peserta didik menjadi generasi muda yang memiliki daya pikir kritis (critical thinking) dan daya pikir tingkat tinggi (Higher Order of Thinking Skills/ HOTS).

Vibriza Juliswara, 2017, dan Sinta Paramita, Riris Loisa, dan Yugih Setyanto, 2019, membahas hoaks sebagai fenomena sosial dan pengaruhnya terhadap kohesi sosial, pluralisme, dan literasi media. Kajian Juliswara menghasilkan kesimpulan sebagai berikut, ujaran kebencian kian meningkat jumlahnya di ranah online. Bagi masyarakat Indonesia yang plural dampak atas persebaran hoax dan ujaran kebencian sungguh mengkuatirkan.

Dengan menggunakan model literasi media sebagaimana yang dikaji dalam studi ini, kita dapat menilai akurasi dari suatu berita apakah itu palsu (hoaks) atau tidak dengan membandingkan dengan berbagai sumber berita lainnya. Kasus-kasus yang sudah terjadi sebagai akibat dari menyebarnya hoaks dan ujaran kebencian seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga.

Jalan yang ditempuh dalam mengatasi persebaran hoaks dan ujaran kebencian, misalnya dilakukan oleh pemerintah dengan pendekatan struktural melalui regulasi. Selain itu, upaya kultural melalui peningkatan kemampuan literasi media menjadi suatu kebutuhan relevan untuk segera dilakukan dalam rangka mengembangkan keberdayaan netizen dalam merespon merebaknya pesan-pesan kebencian di ranah online terutama melalui media sosial.

Netizen yang memiliki kemampuan literasi media cukup tinggi, tak hanya sadar pada etika berkomunikasi saja tetapi juga memiliki keterampilan kosntruktif dalam menerima, memproduksi dan membagikan muatan informasi (berita). Melalui model literasi dan edukasi yang dikembangkan ini, informasi dari berbagai peristiwa di belahan bumi mana pun dengan dinamika seperti apa pun tidak lagi ditelan mentah-mentah, melainkan dapat melalui penyaringan atau filter. Penyikapan secara bijaksana atas berbagai informasi yang beredar, pentingnya kesadaran atas pemanfaatan media sosial yang bisa menghadirkan rasa damai, rasa aman, serta keselamatan di tengahtengah masyarakat menjadi suatu pesan moral yang penting dalam mengembangkan literasi media bagi publik di Indonesia yang masyarakatnya beragam.

Masyarakat sebaiknya menyelidiki benar atau tidak informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, apalagi memuat fitnah, hingga anjuran kekerasan, maka informasi itu tak perlu disebarkan. Kalau sumber tidak jelas, tidak terverifikasi, tidak masuk akal dan tidak bermanfaat, maka tidak usah disebarkan.

Di sisi lain, media massa mainstream termasuk media berita online, diharapkan tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun media tersebut berafiliasi dengan kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Media boleh saja diperjualbelikan, pemilik silih berganti, tetapi newsroom harus dipimpin orang yang kompeten dan bermoral dalam mengabdi kepada publik luas. Gerakan literasi media menawarkan solusi dalam rangka menghadapi perkembangan new media termasuk media sosial agar terbentuk keseimbangan terutama dalam memelihara harmoni di dalam masyarakat.

Sementara intisasri dari kajian Sinta Paramita, dkk menyatakan kesalahpahaman menyimpulkan informasi dipengaruhi oleh keterbatasan individu dalam rangka relasi individu yang lain dalam ekologi digital. Ledakan informasi dan pengetahuan yang dimiliki membutuhkan kematangan literasi media dalam menggunakan media sosial. Saat ini, menebarkan hoaks merupakan cara baru untuk menggiring opini publik  terhadap suatu isu. Penyebaran dan pengulangan informasi hoaks secara terus menerus di era pasca kebenaran, dapat menghadirkan kebenaran baru atas informasi yang tidak benar. Hal demikian dapat dapat menjadikan hoaks dianggap sebagai suatu kebenaran yang dapat berujung pada keresahan masyarakat.

Sementara, Christianity Juditha (2018, 2019a, 2019b, 2019c) selaku pejabat di lingkungan Kemenkominfo RI membahas berbagai upaya pemerintah dalam memerangi hoaks di pelbagai bidang. Ada tiga tema isu hoaks yang paling menonjol bagi khalayak yaitu politik, kesehatan, dan isu pemerintahan. Hoaks dengan tema politik paling tinggi sejak tiga tahun silam mulai dari Pilkada DKI 2017, Pemilu serentak 2019, bahkan ketika sudah terbentuk pemerintah baru, hoaks ihwal politik masih ramai… Ada juga upaya dari pihak-pihak tertentu untuk memviralkan sebuah tema hoaks untuk tujuan tertentu yaitu untuk menjatuhkan presiden. Informasi hoaks soal PKI tidak pernah surut, begitu pula tentang kebijakan yang menguntungkan China juga tetap berembus kencang..

Konten hoaks bidang kesehatan yang termasuk konten hoaks terbanyak. Pada saat pandemi Covid -19  banyak yang memanfaatkannya untuk menyebar hoaks. Tarif BPJS Kesehatan yang naik turun  juga menjadi sasaran hoaks. Yang terakhir adalah hoaks tentang pemanfaatan data haji yang nganggur karena tidak ada pemberangkatan jamaah calon haji untuk musim ini karena pandemi Covid-19.

Dalam kasus penyebaran hoaks, media sosial adalah kendaraan komunikasi yang paling efektif digunakan penggunanya untuk membagikan ide, pengetahuan, dan pemikiran tentang konten hoaks baik yang diproduksi sendiri maupun diterima dari orang lain.

Ada tiga pendekatan penting yang diperlukan untuk mengantisipasi penyebaran berita hoaks di masyarakat yaitu pendekatan kelembagaan, teknologi dan literasi. Pendekatan kelembagaan, dengan terus menggalakkan komunitas anti hoax. Dari sisi pendekatan teknologi, dengan aplikasi hoax checker yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk mengecek kebenaran berita yang berindikasi hoaks. Pendekatan literasi, dengan gerakan anti berita hoaks maupun sosialisasi kepada masyarakat mulai dari sekolah hingga masyarakat umum yang ditingkatkan dan digalakkan, bukan saja oleh pemerintah tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk institusi nonpemerintah lainnya.

Kajian Justito Adiprasetio dkk adalah penelusuran (tracing) literatur tentang reproduksi dan persebaran hoaks. Penelusuran literatur ini menemukan benang merah bahwa hoaks tesebar karena ketidakmampuan publik mengidentifikasi informasi faktual dengan hoaks. Hal tersebut didasarkan pada keterlalupercayaan publik terhadap sumber informasi atau informasi itu sendiri, kecenderungan politik juga berkontribusi terhadap kepercayaan publik terhadap suatu isu yang belum diidentifikasi kebenarannya.

Ketidakmampuan pengidentifiasian tersebut dapat dilihat, disebabkan oleh inkompetensi publik dalam proses penyaringan informasi. Kecepatan teknologi membuat publik tidak lagi sempat melakukan praktik verifikasi informasi, sebelum mereka mengonsumsi dan mereproduksinya. Selain itu, terdapat jarak yang signifikan antara penggunaan teknologi informasi dan kesadaran atas konsekuensi dari suatu teknologi informasi.

Dari berbagai temuan tersebut kita dapat menggarisbawahi bahwa jalan utama untuk mengantisipasi hoaks adalah membangun kompetensi publik dalam menghadapi luapan banjir informasi. Upaya membangun kompetensi publik seperti yang terdapat di dalam badan tulisan, dapat dilakukan melalui literasi media. Melalui berbagai metode, masyarakat harus dikenalkan perihal dasar-dasar kecukupan informasi, konsekuensi-konsekuensi terkait persebaran informasi, kesadaran akan bentuk-bentuk teknologi informasi yang dapat memengaruhi mereka, hingga pengetahuan metodis, bagaimana mengecek atau memverifikasi yang akan mereka konsumsi.

Metode literasi media, tentu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Untuk menghadapi generasi digital native yang terbangun dengan teknologi digital di tangannya, tentu dibutuhkan strategi-strategi baru. Namun, tidak kalah penting diperlukan pertukaran informasi terkait hoaks, diskusi-diskusi sehingga dapat terbangun komunitas yang memiliki ketahanan terhadap hoaks.

Penutup

Hoaks adalah masalah pelik yang dihadapi Bangsa Indonesia. Derasnya arus hoaks dapat mengganggu kelancaran penyelenggaraan negara. Di era pasca kebenaran, serangan informasi hoaks secara bertubi-tubi dan terus-menerus dapat menjadikan masyarakat percaya bahwa hal yang sebetulnya tidak benar dianggap menjadi suatu kebenaran. Hoaks dapat memecah soliditas, melemahkan kohesi sosial yang sebetulnya merupakan modal social (social capital) selaku bangsa majemuk.

Saat ini Kemenkominfo telah menyaring dan meanagkal hoaks dan segala konten negatif dengan menggunakan teknologi canggih , yakni mesin AIS. Tetapi, hal itu tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah kemampuan masyrakat untuk memilih dan memilah mana informasi yang dibutuhkan dan bermanfaat dan mana yang merupakan informasi sampah. Untuk itu masyarakat harus memiliki kemampuan dalam hal literasi, baik literasi media maupun literasi informasi. Dan, hal itu bukan hanya tanggungjawab pemerintah untuk mewujudkannya, tetapi menjadi tanggungjawab para pemangku kepentingan di bidang komunikasi dan informatika seluruh Indonesia. Dalam lingkup yang lebih besar adalah tanggungjawab kita bersama selaku anak bangsa.

Dibuat oleh Aria Bima, sebagai tugas mata kuliah pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2020

Daftar Pustaka

Adiprasetyo, Justito. Gumilar, Gumgum, Hartoyo dan Maharani, Nunik, HOAX, REPRODUKSI DAN PERSEBARAN: SUATU PENELUSURAN LITERATUR, Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 1, No. 4, Agustus 2017: 271 – 278 www.journal.unpad.ac.id/pkm/article diunduh 9 Juni 2020

Arifianto,S dan Christianity Juditha (ed), Media Digital dan Perubahan Budaya Komunikasi, Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2019

Assidik, Gallant Karunia, KAJIAN IDENTIFIKASI DAN UPAYA PENANGKALAN PEMBERITAAN PALSU (HOAX) PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA,  makalah pada Kongres Bahasa Indonesia XI, Jakarta, 28-31 Oktober 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. www.semanticscholar.org/paper diunduh 9 Juni 2020

Gunawan, Budi, Ratmono, Barito Mulyo. Kebohongan di Dunia Maya, Memahami Teori dan Praktik-praktinya di Indonesia. Jakarta :Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.

Juditha, Christiaty. Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya (Hoax Communication Interactivity in Social Media and Anticipation), Jurnal Pekommas, Vol. 3 No. 1, April 2018: 31-44.   www.bppkbandung.id/index.php/jpk/article

______________, Literasi Informasi Melawan Hoaks Bidang Kesehatan di Komunitas Online, Jurnal ILMU KOMUNIKASI, Volume 16, Nomor 1, Juni 2019: 77-ojs.uajy.ac.id,index.php/jik/article diunduh 9 juni 2020

_______________, Hoaks di Media Sosial Serta Dukungan Pemerintah Dalam Pemberantasannya, dalam S. Arifianto dan Christianity Juditha (ed), Media Digital dan Perubahan Budaya Komunikasi, Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2019.

_______________, AGENDA SETTING PENYEBARAN HOAKS DI MEDIA SOSIAL, Jurnal Penelitian Komunikasi Vol. 22 No. 2, Desember 2019: 155-168. bppkbandung.id/index.php/jpk/article diunduh 9 Juni 2020

Juliswara, Vibriza. Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial, Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4  No. 2 , Agustus  2017

Mulyana, Deddy. Pengantar Komunikasi Lintas Budaya, Menerobos Era Digital Dengan Sukses. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2019.

Nurudin, Perkembangan Teknologi Komunikasi. Depok : Raja Grafindo Persada, 2018

Paramita, Sinta, Loisa, Riris dan Setyanto,  Yugih. Media Digital dan Perubahan Perilaku Komunikasi Sosial, Disinformasi Era Post-Truth, dalam S. Arifianto dan Christianity Juditha (ed), Media Digital dan Perubahan Budaya Komunikasi, Yogyakarta : Aswaja Pressindo, 2019.

Pellegrini, L.A, An Argument for Criminal Hoax. Ph.D Dissertation, University of Southern California, Los Angeles, 2008

Subiakto, Henri. Cara Mudah Kenali Hoaks, Majalah Kominfonext, edisi 01, Januari 2019

Wardani, Maria Magdalena Sinta, MANIPULASI BAHASA DALAM TEROR KABAR BOHONG (HOAX), makalah Seminar Dies ke-24 Fakultas Sastra “Cerdas dan Humanis di Era Digital: Perspektif Bahasa, Sastra Dan Sejarah, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 26 April,2017.

Wisnuhardana, Alois. Anak Muda dan Medsos. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *