Pergantian sistem demokrasi di Indonesia telah berlangsung bolak-balik antara sistem presidensial ke parlementarian, kembali ke presidensial lagi. Peralihan sistem tersebut membawa pengaruh kurang baik baik bagi konsolidasi demokrasi.
Distorsi demokrasi yang terjadi pada Demokrasi Terpimpin yang mengarah pada pemusatan kekuasaan di satu tangan, serta pelanggengan kekuasaan berlindung di balik sakralisasi konstitusi pada sistem Demokrasi Pancasila di masa Orde Baru, membutuhkan upaya yang tidak mudah bagi pelurusan Demokrasi Pancasila yang sesuai dengan harapan rakyat pasca Reformasi 1998.
Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali telah memberi jalan bagi Demokrasi Pancasila dengan berbagai rambu yang membatasi melalui pemerintahan yang bersih, tidak korup, demokratis, transparan, dan akuntabel sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi yang masih harus menempuh jalan panjang.
Kilas Balik Perjalanan Sistem Demokrasi di Indonesia: Antara Presidensial dan Parlementarian
Para founding fathers telah bersepakat untuk mendirikan negara bangsa yang merdeka dan demokratis dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945, pasal 1 ayat (1)). Prinsip demokrasi sebagai pengejawantahan Sila keempat Pancasila, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea empat yang disahkan PPKI, 18 Agustus 1945. Prinsip demokrasi itu dirumuskan menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR (sebelum amandemen) dan diubah rumusannya menjadi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (UUD 1945 pasal 1 ayat (2) amandemen ketiga). Undang Undang Dasar 1945 untuk pertamakalinya berlaku mulai 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949. Pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, yang menghasilkan pengakuan Kerajaan Belanda atas kedaulatan Republik Indonesia dan dibentuk negara federal yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Selama RIS berlaku UUD RIS sampai negera federal melebur kembali menjadi NKRI 17 Agustus 1950. Pasca 17 Agustus 1950 berlaku UUD Sementara 1950. UUD 1945 berlaku kembali melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959 hingga saat ini. Pada kurun waktu 1999 hingga 2014, empat kali terjadi amandemen atau perubahan UUD 1945 yang mengubah praktik penyelenggaraan negara secara signifikan.
Eksperimentasi sistem politik dan kenegaraan menuju konsolidasi demokrasi terus berlangsung sejak 18 Agustus 1945 hingga saat ini. Sistem presidensial sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945, hanya berumur pendek. Terjadi anomali dan distorsi dalam praksis penyelenggaraan negara tanpa mengubah ketentuan yang diatur dalam konstitusi. Kabinet Presidensial RI yang pertama diresmikan 2 September harus berakhir pada 14 November 1945, sebagai tindak lanjut dari Maklumat Wakil Presiden Nomer X 16 Oktober 1945 dan Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, serta Maklumat Pemerintah 14 Oktober 1945. Konsekuensi tiga maklumat tersebut adalah terjadinya perubahan sistem presidensial menjadi sistem parlementarian, tanpa mengubah konsitusi.
Maklumat Wakil Presiden Nomer X, 16 Oktober 1945 berisi dua hal yakni, perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dirancang hanya bertugas membantu Presiden sebelum MPR dan DPR terbentuk, beralih fungsi menjadi semacam parlemen. Karena komunikasi dan transportasi yang belum lancar, fungsi DPR dijalankan oleh Badan Pekerja KNIP (BP KNIP). Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 berisi pembatalan keputusan PPKI tentang pembentukan partai tunggal negara, Partai Nasional Indonesia (PNI), dengan mendorong pembentukan partai-partai yang akan menjadi peserta pemilu yang menurut rencana akan diselenggarakan pada Januari 1946. Sedangkan Maklumat Pemerintah 14 November berisi tentang perubahan sistem presidensial menjadi parlementarian. Tugas dan fungsi presiden direduksi hanya menjadi kepala negara saja. Kepala Pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Era parlementarian terus berlangsung ketika NKRI berubah menjadi negara federal RIS sebagai konsekuensi hasil KMB, hingga menjadi NKRI kembali mulai 17 Agustus 1950. Sistem parlementarian terus berlaku hingga Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan UUD 1945 berlaku setelah Konstituante – lembaga perancang konstitusi yang dibentuk sebagai hasil Pemilu 1955 – mengalami jalan buntu. Dekret Presiden 5 Juli 1959 hingga saat ini telah mengembalikan sistem presidensial berlaku kembali, tentu saja dengan berbagai varian eksperimentasi politik dalam praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Sistem Presidensial kembali berlaku pasca Dekrit Presiden sebagai konsekuensi kembali berlakunya UUD 1945 sebagai Konstitusi NKRI. Hal itu juga mengakhiri era demokrasi parlementarian atau demokrasi konstitusional versi Indonesianis Barat seperti Herbert Feith (Feith, 2007). Sistem presidensial pasca Dekret Presiden 1959 hingga 1967 disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Sejak 1968 hingga sekarang dikenal sebagai Demokrasi Pancasila.
Perjalanan Demokrasi Pancasila melalui dua fase. Pertama fase Orde Baru hingga Reformasi 1998. Diselingi masa transisi yang pendek di masa pemerintahan Presiden Habibie, pasca Pemilu 1999, Demokrasi Pancasila memasuki fase pasca Reformasi. Meski menyandang nama yang sama,tetapi praktik penyelanggaraan negara dan pemerintahan pada Demokrasi Pancasila fase Orde Baru dan pasca Reformasi memiliki perbedaan yang fundamental dan esensial.
Makna Demokrasi
Demokrasi sebagai tata politik terbaik merupakan ikhtiar atau upaya yang dilakukan oleh manusia adalah keniscayaan yang tak terbantahkan. Demokrasi memiliki akar kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan. Gagasan tentang demokrasi berasal dari dari filsuf Yunani yang termaktub dalam buku Politeia atau Politik (Aristoteles, 2017). Menurut Aristoteles demokrasi adalah model rumah tangga, Dalam rumah tangga, orang tua memimpin anak-anaknya. Dalam rumah tangga, keluarga berperan memenuhi seluruh kebutuhan anggotanya. Orang tua selaku pemimpin keluarga berupaya mengutamakan memenuhi kebutuhan yang dipimpinnya. Orang tua memimpin rumah tangga untuk kebaikan anak-anaknya, dan bukan kebaikan orang tua semata. Orang tua yang memenuhi kepentingan anak-anaknya, secara tidak langsung dapat memenuhi kepentingannya sendiri (Wattimena, 2016 : 24). Akibat dari pemenuhan kepentingan seluruh anggota keluarga, maka kepuasaan akan tercapai untuk semua pihak dalam keluarga yang bersangkutan.
Jika manajemen rumah tangga diterapkan dalam masyarakat luas, maka akan tercipta tata politk demokratis. Aristoteles menyatakan dalam tata politik demokratis, negara berjalan dalam kerangka prinsip kesetaraan antara manusia. Penguasa digilir bukan atas dasar keturunan atau kepemilikan senjata, tetapi dipilih secara bergantian di antara orang-orang terbaik dalam masyarakat bersangkutan. Para penguasa dipilih karena dianggap sebagai yang terbaik, dan dinilai dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat luas. Penguasa terpilih yang mengupayakan kebutuhan dan keinginan masyarakat luas, dengan sendirinya mendapatkan keuntungan yang berlimpah selama menjalankan mandat dari para pemilih. Dan itu akan terjadi secara bergantian, di antara orang-orang yang terpilih. Saling bergantian untuk dipilih menjadi penguasa dan yang dikuasai menurut Aristoteles adalah tata politik yang ideal. Itulah yang disebut demokrasi.
Perkembangan Demokrasi dan Berbagai Variannya
Gagasan ideal dan utopis Aristoteles tentang demokrasi yang tetap hidup pada era modern, telah memantik berbagai ragam pemikiran dan gagasan untuk mendekatinya. Dalam perkembangan di era modern demokrasi menghadirkan banyak tafsir. Tidak ada praktik bernegara secara sama persis, meski negara-negara tersebut menyatakan diri sebagai negara demokrasi. Meski sama-sama menyatakan diri sebagai negara demokrasi, tetapi tafsir tentang implementasi kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan memiliki spektrum dengan rentang yang maha luas. Tidak mengherankan kiranya bila di masa lalu ada negara dengan embel-embel demokrasi justru menjalani praktik komunisme-totalitarian seperti Republik Demokratik Vietnam atau Vietnam Utara, sebelum berintegrasi dengan Vietnam Selatan. Hal serupa juga terjadi pada Republik Demokrasi Jerman atau Jerman Timur sebelum bergabung dengan Bundesrepublik Deutschland alias Republik Federasi Jerman alias Jerman Barat. Sementara Bung Karno melakukan kritik keras terhadap demokrasi parlementarian atau parlementarire democratie sebagai ideologi politik kapitalisme yang sedang naik (Bung Karno, 1928, dalam Ir. Sukarno, 2019 :2019). Selanjutnya Bung Karno menyebutkan kapitalisme yang sedang turun dipraktikkan dalam wujud fasisme.
Pada dasarnya implementasi demokrasi dalam penyelenggaraan negara hanya berkisar pada praktik politik, atau yang lebih umum disebut politik praktis. Dalam hal yang bersifat sempit itu, demokrasi selalu dikaitkan dengan penghitungan pilihan atau suara rakyat dalam pemilu, atau dalam bahasa populer dikenal sebagai demokrasi elektoral. Demokrasi elektoral hanya sebatas formalisme pengisian lemabga-lembaga negara – eksekutif dan legislatif – melalui pemilihan umum. Sedangkan watak demokrasi yang substantial atau substantive democracy mengacu pada empat hal. Torres (1998: 145-146) dalam Kaelan (2018: 352-353), menyatakan demokrasi yang substantial terdiri atas empat bentuk. Pertama, protective democracy, yang dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi pasar yang ditandai oleh pemilu yang berlangsung secara teratur dan reguler sebagai upaya memajukan pasar dan tirani negara, seperti rumusan James Mill dan Jeremy Bentham. Kedua, development democracy yang ditandai oleh konsepsi atau model individu yang posesif, yakni manusia yang suka berkonflik demi mengutamakan kepentingannya sendiri yang dikompromikan dengan konsepsi manusia yang mampu mengembangkan kekuasaan dan kemampuan dirinya. Selain itu juga mewadahi partisipasi secara demokratik bagian sebagai dari kebisuan terhadap hak-hak politik, menjadi paham tentang pengembangan pribadi melalui kepemilikan hak melalui partisipasi dalam proses demokrasi. Yang ketiga, demokrasi ekuilibrium atau demokrasi yang pluralis , yang memberi kesempatan menggunakan hak-hak masyarakat dalam partisipasi. Masyarakat bisa menggunakan haknya atau tidak termasuk mereka yang bersikap apatis juga harus diwadahi. Keempat, keterkaitan antara antara perubahan dan kesinambungan sosial (social continuity and change). Partisipasi dalam demokrasi tidak akan tercapai tanpa perubahan dan kesinambungan sosial, Sebaliknya, tanpa partisipasi, perubahan dan kesinambungan sosial juga sulit terpenuhi.
Pemahaman demokrasi secara komprehensif terkait dengan aspek filosofis, normatif, dan praksis. Hal itu yang membedakan antara implementasi demokrasi dalam ranah Barat yang sekuler, dengan praksis demokrasi di Indonesia yang memiliki aspek spiritualitas dan religiusitas yang mendalam. Hal serupa juga tercermin melalui sistem norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian akan terwujud dalam peraturan hukum dan perundang-undangan yang mengatur bagaimana implementasi demokrasi itu dijalankan.
Bentuk Implementasi Demokrasi
Secara formal, demokrasi terkait dengan sistem pemerintahan yang berlaku dalam suatu negara. Secara umum pemerintahan negara demokrasi dapat dibedakan menjadi dua hal, yakni sistem presidensial dan sistem parlementarian. Sistem presidensial mengutamakan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal serupa juga dilakukan terhadap anggota lembaga perwakilan rakyat. Presiden adalah kepala negara dan kepala eksekutif pemerintahan. Presiden tidak dapat menjatuhkan lembaga perwakilan rakyat, hal serupa berlaku timbal balik lembaga perwakilan rakyat terhadap presiden. Antara presiden dan lembaga perwakilan rakyat berlaku mekanisme checks and balances (saling kontrol dalam keseimbangan).
Sistem parlementarian tidak memisahkan akan eksekutif dan legislatif. Kepala pemerintahan (chief of executive government) di tangan perdana menteri. Pemerintah bertanggungjawab kepada parlemen. Raja, ratu, atau presiden berperan sebagai kepala negara (chief of state) yang lebih banyak menjalani fungsi dan peran protokoler kenegaraan.
Bentuk demokrasi yang lain berdasarkan kebebasan individual adalah demokrasi perwakilan liberal ala Barat. Lawan demokrasi pewakilan liberal adalah sistem partai tunggal dan komunisme. Sistem partai tunggal terjadi dalam negara fasis seperti Hitler dengan partai Nazi di Jerman. Sistem komunisme sebagai anteseden dari sistem perwakilan liberal. Sistem komunisme tidak mengenal hak milik oleh individual, semua dimiliki oleh negara. Partai Komunis sebagai pencerminan kekuasaan tunggal adalah instrument menuju tercapainya sosialisme dan komunisme.
Demokrasi deliberatif adalah model demokrasi dengan semangat musyawarah melalui ruang public sebagaimana dikemukakan Jurgen Habermas (Hardiman, 2009). Deliberatif berasal dari kosa kata bahasa Inggris deliberation yang berarti konsultasi atau musyawarah. Demokrasi tidak hanya menyangkut besaran perolehan suara dalam pemilu dan hal yang bersifat matematis kuantitatif semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek musyawarah dan mufakat yang akan menguatkan kualitas demokrasi itu sendiri.
Perjalanan Sistem Demokrasi di Indonesia.
Sejak awal kemerdekaan, terjadi selang-seling penerapan sistem demokrasi di Ibdonesia. Sistem presidensial sesuai dengan UUD 1945 hanya berumur pendek kurang lebih dua bulan (2 September 1945 – 14 November 1945). Sejak 14 November 1945 hingga Dekret Presiden 5 Juli 1959 berlaku sistem parlementarian atau yang oleh para indonesianis asal Barat disebut sebagai Demokrasi Konstitusional (Feith, 2007). Sistem Demokrasi Parlementarian diterapkan selama Revolusi Fisik (1945 -1949), Masa RIS sebagai hasil kesepakatan KMB hingga kembali menjadi NKRI 17 Agustus 1950.
Pasca KMB, eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa yang merdeka dan berdaulat di dunia internasional makin menguat dan meluas. Indonesia diterima menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 28 September 1960. Meski Kerajaan Belanda telah mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat, masih terdapat masalah yang mengganjal dalam hubungan antara RI dan Kerajaan Belanda, terkait dengan masalah Irian Barat.
Sistem demokrasi parlementarian yang diterapkan di negara yang relatif muda, ternyata berimbas pada ketidakstabilan politik karena masalah dalam negeri terkait hubungan pusat daerah, politik identitas, dan pembagian kue ekonomi yang senjang, seringkali membuat pemerintahan jatuh dalam kurun waktu yang sangat pendek. Berbagai pemberontakan di daerah meski dapat diselesaikan, tetapi juga menjadi penyumbang masalah yang memicu ketidakstabilan politik, sehingga kabinet yang dipimpin perdana menteri acap kali berganti.
Pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia berlangsung dua tahap pemungutan suara. Tahap pertama pemungutan suara untuk mengisi keanggotaan DPR RI berlangsung 29 September 1955. Tahap kedua pemungutann suara diselenggarakan pada 15 Desember untuk memilih anggota Konstituante atau badan pembuat UUD. Pemilu 1955 menghasilkan empat besar partai yang mendapat perolehan sauara yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
DPR hasil Pemilu 1955 ternyata ternyata tidak membawa banyak perubahan, meski merupakan hasil pilihan rakyat secara demokratis. Tarik ulur antarkekauatan karena kepentingan kelompok dan golongan ketimbang kepentingan nasional masih mewarnai dunia perpolitikan saat itu. Pemerintahan yang terbentuk merupakan representasi kekuatan politik pemenang Pemilu 1955 minus PKI. Kabinet yang dipimpin Ali Sastroanidjojo tersebut beranggotakan menteri-menteri yang berasal dari PNI, Masjumi, dan NU, yang populer sebagai Kabinet Ali Sastroamidjojo II.
Program Kabinet Ali Sastroamidjojo II pada dasarnya meliputi empat hal, antara lain :
- Pembatalan hasil KMB
- Mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan NKRI
- Pemulihan keamanan dan ketertiban, serta pembangunan ekonomi, keuangan, perhubungan, pendidikan, dan pertanian
- Melaksanakan keputusan-keputusan KAA.
Dalam perjalanannya terjadi friksi yang tajam antara antara PNI dan Masjumi soal kepentingan daerah yang berujung pada penarikan menteri-menteri dalam kabinet yang berasal dari partai Islam tersebut. Sebagai akibatnya, Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh, dan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojjo mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno.
Untuk mengisi kekosingan pemerintahan Presiden Sukarno membentuk kabinet ekstra parlementarian yang dipimpin Djuanda Kartawidjaja yang anggota kabinetnya sebagian besar diisi oleh orang-orang yang ahli di bidangnya atau zaken kabinet. Menjelang Kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh, pada 21 Februari 1957 Presiden Sukarno mengucapkan pidato yang kemudian dikenal sebagai Konsepsi Presiden. Isi Konsepsi Presiden pada dasarnya adalah kekecewaan Presiden Sukarno terhadap praktik demokrasi parlementarian karena, ketidakstabilan terus terjadi karena pertikaian antarpartai politik yang menjadikan pemerintahan tidak pernah berumur panjang (antara sembilan bulan hingga 18 bulan). Untuk mengatasi pertikaian tersebut, Presiden Sukarno menawarkan konsep democratie met leiderschaap atau yang kemudian dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin. Selain itu, Presiden Sukarno juga mengusulkan dibentuknya pada konsultatif Dewan Nasional yang mewadahi seluruh kepentingan politik, partai dan nonpartai, Angkatan Perang, Kepolisian, dan Kejaksaan. Dewan Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno. Menurut Presiden Sukarno diperlukan untuk mengatasi situasi negara yang tidak stabil sebagai akibat adanya pemberintakan PRRI dan Permesta di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara dan DI/TII di sebagian Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Untuk memulihkan keadaan diberlakukan UU No 74 tahun 1957 tentang Negara Dalam Keadaan Bahaya. Berlakunya UU No. 74 tahun 1957 Angkatan Perang (terutama Angkatan Darat) memiliki keleluasaan untuk melakukan tindakan militer terhadap para separatis. Selain itu untuk stabilisasi situasi, Mayor Jenderal AH Nasution mengusulkan konsep middle way atau jalan tengah bangi tentara yang menjadi cikal bakal Dwi Fungsi ABRI di masa Orde Baru.
Kabinet Djuanda relatif tidak mendapatkan banyak gangguan dalam bekerja. Salah satu hasil monumental Kabinet Djuanda yakni Deklarasi Djuanda tentang Negara Kepulauan (Archipelago State). Deklarasi Djuanda diakui Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention On The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 dan diratifikasi sebagai UU No. 17 tahun 1985 tentang UNCLOS. Deklarasi Djuanda atau Wawasan Nusantara tersebut telah menjadikan eksistensi wilayah NKRI secara utuh tidak terbagi-bagi dalam kepulauan diakui PBB.
Pada sisi politik yang lain, perdebatan tentang pengembalian tujuh kata dalam Piagam Djakarta untuk dicantumkan kembali dalam Pembukaan Konstitusi yang sedang dirancang Konstituante, menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan dan menimbulkan jalan buntu. Untuk itu Presiden Sukarno mengusulkan pemberlakukan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950. Dua partai besar seperti PNI dan PKI menyetujui usul Presiden Sukarno, tetapi ditolak Masjumi. Selanjutnya dilakukan voting sebanyak tiga kali, dan mayoritas anggota Konstituante menginginkan kembali ke UUD 1945, tetapi tidak memenuhi kuorum suara mayoritas mutlak 2/3 suara keseluruhan. Pada 3 Juli 1959, seluruh anggota Konstituante bersepakat untuk tidak melanjutkan sidang. Situasi seperti itu dapat menyebabkan krisis konstitusional yang bisa membahayakan keutuhan bangsa. Untuk tetap terjaminnya keselamatan negara, Presiden Sukarno menetapkan Dekret Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekret Presiden adalah sebagai berikut:
- Pembubaran Konstituante
- Menyatakan berlakunya UUD 1945 dan UUDS dinyatakan tidak berlaku.
- Segara membentuk MPRS yang anggotanya terdiri atas anggota DPRS ditambah utusan daerah dan utusan-utusan golongan, serta segera dibentuk DPAS.
Sebagai tindak lanjut Dekret Presiden, Presiden Sukarno memberlakukan sistem presidensial yang diberi nama Demokrasi Terpimpin, sebagaimana telah diusulkan melalui Konsepsi Presiden. Presiden Sukarno menyatakan Demokrasi Terpimpin diperlukan dalam rangka memelihara persatuan nasional dalam suasana revolusi yang belum selesai. Keputusan Presiden Sukarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 pada 5 maret 1960 setelah RAPBN yang diajukan pemerintah ditolak.
Pasca pembubaran DPR, Presiden Sukarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) yang komposisi keanggotaannya disusun dan ditetapkan presiden. Jika dalam UUD 1945 kedudukan Presiden dan DPR dalam posisi sejajar, maka posisi DPR GR adalah pembantu Presiden. Dalam perkembangan selanjutnya posisi pimpinan MPRS (ketua dan para wakil ketua), pimpinan DPR GR (ketua dan para wakil ketua), pimpinan DPAS (ketua dan para wakil ketua). pimpinan BPK, pimpinan MA, menjadi menteri. Dengan demkian terjadi pemusatan kekuasaan tunggal di tangan Presiden Sukarno selaku mandataris MPRS, Presiden Sukarno juga menerima keputusan MPRS tentang pengangkatannya sebagai Presiden RI seumur hidup.
Sebagai pendamba persatuan nasional Presiden Sukarno memasukkan seluruh elemen bangsa dalam pemerintahan, minus unsur PSI dan Masjumi yang dibubarkan pada 1960. Elemen militer, agama, dan komunis masuk dalam pemerintahan disamping unsur-unsur partai politik yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, semangat anti nekolonialisme dan imperialisme (nekolim), membuat hubungan antara RI dan dunia Barat menjadi tegang. Selain berupaya keras merebut kembali Irian Barat, Presiden Sukarno juga mengobarkan semangat konfrontasi dengan Malaysia yang dianggap sebagai boneka Inggris.
Semangat anti nekolim dan penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945 dalam praktik penyelenggaraan negara telah menjadikan situasi nasional menjadi tegang. Dalam kabinet yang berulangkali dilakukan retooling, terjadi hubungan yang tidak harmonis antara kelompok agama (Islam), militer (Angkatan Darat), dan PKI. Ketegangan itu berujung pada tragedi berdarah 30 September 1965 yang menjadi pemicu jatuhnya kekuasaan Presiden Sukarno.
Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang diberikan kepada Mayor Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban ternyata digunakan untuk bertindak melampaui kewenangannya seperti membubarkan PKI. Sejak 12 Maret 1966, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tidak hanya itu, Soeharto juga menahan 15 menteri yang dekat dekan Presiden Sukarno dan diduga terlibat G30S PKI. Pengucilan terhadap Presiden Sukarno dilakukan dengan cara memisahkannya dengan para pendukungnya. Tindakan Soeharto secara sistematis tersebut disebut kudeta merangkak (the creeping coup) (Wardaya, 2017). Kebijakan sistematis lainnya adalah mengganti anggota MPRS, DPR GR, dan DPRD GR yang berasal dari PKI dan eksponen yang dekat dengan Presiden Sukarno dengan unsur militer dan kelompok yang anti Sukarno.
Pada tahapan berikutnya kewenangan Sukarno sebagai Presiden/ Panglima Tertinggi/ Mandataris MPRS dan presiden seumur hidup melalui berbagai Ketetapan MPRS. Pelucutan kekuasaan Presiden Sukarno hingga pemberhentiannya sebagai Presiden RI dimulai sejak dikeluarkannya Tap MPRS No IX/1966 tentang penguatan Supersemar hingga pengukuhan Soeharto sebagai pejabat Presiden RI melalui Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967, 7 Maret 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah dari Presiden Sukarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia hingga terselanggaranya pemilihan umum. Sebelum pencabutan mandat oleh MPRS, pada 20 Februari 1967, Presiden Sukarno memberikan pengumuman tentang penyerahan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Tap MPRS No. IX/MPRS/ 1966. Artinya sejak 20 Februari 1966, Soeharto secara de facto telah memegang kekuasaan presidensial yang kemudian diperkuat melalui Tap MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Jabatan sebagai pejabat Presiden, kemudian Presiden RI diemban sejak 27 Marte 1967 hingga 21 Mei 1998, saat Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI dan digantikan oleh BJ Habibie.
Soeharto membangun kekuasaan dengan mengembangkan sistem presidensial melalui Demokrasi Pancasila. Jika Sukarno membangun kekuasaan melalui pemusatan kekuasaan dengan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan konstitusional, sebaliknya Soeharto menggunakan instrumen konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan melalui sakralisasi UUD 1945, yang memungkinkan dirinya terpilih sebagai Presiden RI oleh MPR secara berulangkali.
Sistem Demokrasi Pancasila yang dibangun Soeharto pada masa Orde Baru, runtuh melalui Reformasi Mei 1998. Pemerintahan yang terbentuk melalui Pemilu 1999 dan seterusnya masih mempertahankan nama Demokrasi Pancasila walaupun telah mengalami perubahan secara fundamental dan esesnsial melalui empat kali amandemen UUD 1945. Sejak 1999 hingga saat ini sistem Demokrasi Pancasila telah mengalami perubahan dan akan terus disempurnakan sebagai upaya konsolidasi demokrasi dengan segala kesinambungan dan perubahannya.
Demokrasi Pancasila di Masa Orde Baru
Pemerintahan yang dibangun oleh Soeharto dikenal sebagai Orde Baru, sebagai anteseden terhadap pemerintahan sebelumnya yang kemudian dijuluki sebagai Orde Lama. Pada awal kekuasaan, Soeharto berjanji akan mengembangkan Demokrasi Pancasila dengan melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam perjalanannya Soeharto menggunakan sakralisasi konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan dan terpilih secara aklamasi oleh MPR hasil pemilu selama enam periode berturut-turut.
Selama menjalankan kekuasaan Soeharto mengutamakan pembangunan ekonomi yang beroarientasi pada pertumbuhan dengan ditopang stabilitas politik. Proses pemilihan umum yang berlangsung selama enam kali (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) merupakan implementasi demokrasi secara proforma atau demokrasi seolah-olah, karena pemenangnya sudah diketahui jauh-jauh hari sebelum pemilu diselenggarakan. Pengembangan sistem kekuasaan Soeharto dapat dirunut pada buku Ali Moertopo, Dasar-dasar Pembangunan tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun (1973), Strategi Politik Nasional (1974), dan Strategi Kebudayaan (1978).
Untuk menguatkan fondasi politik Soeharto membangun kekuatan melalui Pemilu 1971 yang diikuti sembilan partai politik dan satu Golongan Karya. Golongan Karya adalah instrumen politik yang didukung ABRI dan menyatakan diri bukan partai politik, tetapi sebaga organisasi peserta pemilu (OPP). Selain itu, Soeharto membangun instrumen kekuasaannya di bidang legislatif dengan memberikan kursi gratis kepada DPR dalam jumlah yang signifikan kepada ABRI (termasuk Polri). Hal demikian juga berlaku bagi DPRD tingkat I dan DPRD tingkat II.
Anggota MPR yang bukan berasal dari anggota DPR pengisiannya juga harus mendapat otorisasi Soeharto, dengan demikian pemilihan presideen oleh MPR sudah diketahui lebih dahulu siapa pemenangnya. Untuk menjamin stabilitas politik, Soeharto melakukan penyederhanaan sistem kepartaian melalui penggabungan partai politik yang dikenal sebagai fusi. Ali Moertopo menyatakan partai-partai politik digabung berdasarkan orientasi spiritual-material yang terdiri atas gabungan partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSII, Perti) dan partai dalam kelompok material-spiritual yang terdiri atas PNI, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik (Moertopo, 1973). Kelompok spitual-material kemudian lahir sebagai Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan kelompok material spiritual menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Mulai Pemilu 1973 hingga 1997, pesertanya hanya tiga, yakni Golkar, PPP, dan PDI. Sistem seperti itu dalam dunia politik lazim disebut sistem satu setengah partai, artinya dalam sistem politik terdapat satu politik dominan dan partai-partai lainnya sebagai pelengkap penderita saja.
Dalam konsolidasi kekuatan politik, Soeharto melakukan integrasi Golkar dengan birokrasi pemerintahan dan militer (Moertopo 1974). Mekanisme tiga jalur atau jalur A(BRI), B(irokrasi), dan G(olkar) menjadi kekuatan integratif dan efektif bagi Soeharto. Soeharto juga menempatkan diri sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar yang anggotanya terdiri atas seluruh menteri kabinet dan tokoh penting yang dekat dirinya. Hal serupa diduplikasi di daerah. Gubernur secara ex officio adalah Ketua Dewan Pertimbangan Golkar yang anggotanya terdiri atas Panglima Kodam, Kapolda, dan Kajati. Di tingkat Kabupaten dan Kotamadya, Bupati dan atau Walikota adalah Ketua Dewan Penasihat Golkar dengan anggota Komandan Kodim, Kapolres, dan Kajari. Integrasi kekuatan politik secara linier dari pusat ke daerah tersebut menjadikan Soeharto nyaris sebagai penguasa tunggal dengan Golkar sebagai kendaraan politik yang efektif.
Dominasi politik dan kekuasaan di tangan Soeharto dicoba dilanggengkan melalui sakralisasi UUD 1945 yang diperlakukan secara permanen, upaya pengubahannya harus melalui referendum dengan syarat yang sangat berat untuk bisa dipenuhi, sebagaimana ditetapkan melalui Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum dan diatur melalui UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
Berdasar Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), telah menjadikan Pancasila sebagai satu-satu asas dalam seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah yang sesuai dengan tafsir penguasa sebagaimana termaktub dalam naskah Ekaprasetya Pancakarsa. Dengan demikian, tidak boleh ada tafsir lain tentang Pancasila. Tafsir lain tetang Pancasila dinafikan. Keberadaan P4 juga menjadi bagian dari deSukarnosasi dengan menyatakan Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945 bukan pada 1 Juni 1945 sebagaimana diucapkan Sukarno pada pleno BPUPK.
Menurut Ali Moertopo, P4 merupakan bagian dari Strategi Kebudayaan menuju inegrasi bangsa melalui proses akultarasi dan enkulturasi. Startegi Kebudayaan pada hakikatnya adalah strategi perjuangan yang sangat mungkin akan menghadapi rintangan dan hambata – mulai yang ringan yakni perbedaan persepsi hingga konflik sosial. Proses akulturasi akan mampu mengatasi timbulnya hambatan itu. Enkulturasi sebagai proses pendalaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur yang sudah ada sebagai warisan budaya Nusantara yang saripatinya sudah ada dalam Pancasila. Oleh karenanya penghayatan dan pengamalan Pancasila bisa menjadi kekuatan kultural masyarakat (Moertopo, 1978).
Kredo demokrasi telah menempatkan pers sebagai pilar ke empat demokrasi. Dalam menghadapi pers, pemerintahan Orde Baru menyatakan perlunya pers yang bebas dan bertanggungjawab. Keberadaan pers diatur dengan UU Pers yang mengatur tentang pers sebagai badan usaha melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Persyaratan mendapatkan SIUPP bukan hal yang mudah. Mereka yang mendapatkan SIUPP adalah mereka yang sudah lolos screening atau penelitian khusus dan dinilai tidak membahayakan bagi rezim Orde Baru. Apabila dinilai berbahaya, pemerintah melalui Departemen Penerangan dapat membatalkan SIUPP. Pembatalan SIUPP identik dengan pembredelan.
Pemerintahan dengan mengutamakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan perilaku otoritarian marak terjadi di negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Oleh indonesianis Herbert Feith pemerintahan Orde Baru dan sejenisnya dijuluki sebagai rezim developmentalis represif atau rezim otoritarian birokratik versi Guillermo O’Donnell (Budiman, 1991). Rezim otoritarian birokratik merupakan kolusi antara teknokrat, birokrasi, militer, yang ditopang oleh kekuatan modal. Peranan pemilik modal dalam penguatan pemerintahan Orde Baru ditandai oleh terjadinya konglomerasi perusahaan-perusahaan besaran nasional yang dekat dengan pusat kekuasaan mulai pertengahan dasawarsa 80an hingga 90an.
Kestabilan politik yang dicapai pada dasawarsa 80an, mulai rapuh pada pertengahan 90an. Pembagian kue pembangunan yang tidak merata, diikuti dengan krisis ekonomi yang berimbas pada krisis kepercayaan, serta menguatnya represi politik mulai menimbulkan perlawanan. Terpiihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI dalam Kongres PDI di Surabaya tidak dikehendaki Pemerintah Orde Baru. Perlawanan PDI Pro Mega terhadap tekanan Pemerintah Orba berujung pada penerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996. Peristiwa 26 Juli 1996 menjadi pemicu perlawanan terhadap Soeharto. Penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti memicu terjadinya kerusuhan meluas di berbagai kota di Indonesia. Gerakan Reformasi yang dipelopori para mahasiswa berhasil menumbangkan Orde Baru, dan berujung pada pernyataan Soeharto berhenti sebagai Presiden dan digantikan oleh BJ Habibie. Di bawah pemerintahan BJ Habiibie, dilakukan perubahan yang drastis dalam bidang politik seperti pembukaan kran eskpresi demokrasi, melalui relaksasi pembatasan partai politik, penyelenggaraan pemilu oleh badan yang independen (Komisi Pemilihan Umum/KPU).
Gerakan Reformasi dan Perkembangan Sistem Demokrasi Pancasila
Reformasi telah membawa perubahan secaa fundamental dan sesensial dalam praktik penyeenggaaan negara dan pemerintahan melalui empat kali amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945. Amanademen UUD 1945 terbatas pada batang tubuh, tentang pasal demi pasal serta aturan tambahan dan aturan peralihan. Pembukaan yang merupakan pernyataan berdirinya NKRI tidak mengalami perubahan.
Sistem Adminstrasi Negara pasca amandemen UUD 1945 adalah sebagai berikut :
- Bentuk negara kesatuan dengan menggunakan prinsip otonomi daerah yang luas, wilayah negara terbagi dalam provinsi-provinsi. Setiap provinsi terbagai dalam kabupaten dan kota.
- Bentuk negara adalah republik dengan sistem pemerintahan presidensial
- Presiden adalah kepala negara dan juga kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu paket pasangan langsung oleh rakyat. Masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan
- Kabinet atau menteri-menteri diangkat oleh presiden dan bertanggungjawab kepada presiden. Hak untuk mengangkat dan memberhentikan menteri berada di tangan presiden.
- Lembaga perwakilan rakyat terbagai dalam dua kamar (bicameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Anggota DPR dan anggota DPD adalah anggota MPR. Anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. (Romli, 2019: 128-143)
- MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan MPR terbatas pada mengubah dan menetapkan UUD, serta melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya menurut UUD.
- Fungsi DPR diatur secara jelas mencakup bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. DPR melakukan pertimbangan dan/atau uji kepatutan dan kelayakan untuk jabatan tertentu yang diatur sesuai dengan undang-undang.
- DPR dapat memberikan persetujuan kepada Presiden untuk mengeluarkan kebijakan tertentu
- DPR mendapatkan porsi lebih besar dalam pembuatan undang-undang dan hak anggaran
- Dalam beberapa kasus tertentu, DPR dapat mengusulkan pemberhentian presiden.
- Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agug beserta badan peradilan yang berada di bawahnya. Mahkamah Agung membawahi Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer.
- Mahkamah Konstitusi bertugas menguji materi (judicial review) UU terhadap UUD. Memutus sengketa antar lembaga negara, sengketa hasil pemilu, pembubaran partai politik dan memberi putusan atas pendapat DPR mengenai terjadinya pelanggaran UUD oleh Presiden dan atau Wakil Presiden.
- Komisi Yudisial bertugas melakukan pendaftaran dan seleksi calon hakim agung, menetapkan calon hakim agung, megajukan calon hakim agung ke DPR, mengawasi perilaku hakim
- Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Dalam bidang pemberantasan korupsi, di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri lahir Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK). Selain KPK, pasca Reformas 1998 lahir beberapa komisi yang bersifat independen dengan tugas khusus Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, Kominsi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan sebagainya. Di bidang penegakan hukum dibentuk Kompolnas yang bertugas mengawasi kinerja Polri, dan Komisi Kejaksaan yang bertugas mengawasi kinerja seluruh jajaran Kejaksaan Agung dan instansi vertikal di bawahnya.
Inkompatibilitas sistem presidensial dan sistem kepartaian telah menjadi masalah yang pelik dalam implementasi demokrasi. Padanan sistem presidensial yang paling sesuai adalah sistem dua partai atau multipartai sederhana. Dalam praktiknya implementasi sistem presidensial pasca Reformasi 1998 harus berdampingan dengan sistem multipartai yang kompleks atau ekstrem.
Pasca Reformasi 1998 kesempatan untuk mendirikan partai politik dibuka lebar. Untuk dapat menjadi peserta pemilu , setiap partai politik harus lulus seleksi administrasi oleh Kemenkumham dan verfifikasi oleh KPU. Untuk bisa menempatkan calon yang diajukannya sebagai anggota DPR RI, partai politik harus mendapatkan suara yang melampaui ambang batas perolehan suara untuk parlemen (parliamentary threshold). Penetapan ambang batas perolehan suara yang diharapkan menjadi faktor seleksi secara alamiah ternyata tidak berfungsi efektif. Partai yang tidak lolos ambang batas suara ternyata masih berminat sebagai peserta pemilu periode berikutnya, dan animo untuk mendirikan partai politik baru tetap besar. Ke depan dibutuhkan perangkat seleksi alamiah bagi partai politik yang bersifat demokratis – bukan model fusi ala Orde baru.
Penggunaan sistem daftar terbuka dalam pemilu legislatif, memberi keleluasaan bagi pemilih untuk memberikan suara kepada partai politik saja, calon saja, atau keduanya yang dianggap hanya memilih tanda gambar partai politik saja, ternyata juga mendatangkan ekses yang tidak sehat bagi kehidupan demokrasi – utamanya bagi internal masing-masing partai politik. Ekses tersebut timbul karena para calon tidak hanya bersaing dengan calon dari partai politik lain, tetapi juga membuat persaingan antarcalon dalam internal partai politik juga menjadi lebih sengit. Tudingan pemilu akan menghasilkan plutokrasi (pemerintahan di tangan orang-orang kaya) menjadi sangat beralasan. Calon yang memiliki latar belakang dukungan finasial kuat akan lebih mudah memenangi kontestasi.
Pemilu model distrik dengan daerah pemilihan yang lebih kecil sebetulnya dapat dijadikan solusi untuk mengatasi persaingan antarcalon dalam satu partai politik yang sama, krena dalam satu daerah pemilihan hanya ada satu kursi yang diperebutkan dan masing-masing partai politik hanya menjagokan satu calon. Pemilihan dengan sistem distrik akan menguntungkan partai-partai politik besar dengan risiko sisa suara akan hangus. Pemilihan model distrik cenderung akan ditolak oleh partai-partai politik menengah dan kecil, serta partai politik pendatang baru.
Pelaksanaaan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara bersamaan waktunya (concurrent elections) sebagai hasil uji materi yang diajukan sekelompok warganegara ternyata meimbulkan berbagai ekses. Pertama dipakainya presidential threshold yang merupakan perolehan suara partai atau gabungan partai politik sebelumnya, dianggap mencederai demokrasi. Hal ini kembali digugat oleh kelompok yang sama, tetapi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Ekses lain yang ditimbulkan dari pelaksanaan pemilu serentak pada 2019, adalah banyaknya betugas pelaksana pemungutan suara yang wafat karena alasan kesehatan. Ke depan dibutuhkan mekanisme pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara yang tidak menimbulkan gangguan kesehatan yang dapat berujung kematian.
Belakangan ini banyak tudingan tentang produk pemilu yang oligarkis. Pemilihan umum dengan memberikan suara orang atau partai politik tertentu untuk mewakili kepentingannya dalam penyelenggaraan kekuasaan mengandung risiko terbentuknya oleh oligarki. Yang menjadi masalah apakah oligarki atau kekuasaan di tangan segelintir orang itu amanah, aspiratif, dan welas asih (benevolent), atau membentuk diktatorial yang represif dan otoritarian. Jadi masalah tidak terletak pada terbentuknya oligarki, tetapi watak oligarki itu sendiri. Memberikan suara dalam pemilu untuk memilih orang yang sedikit jumlahnya untuk mewakili orang banyak itu jelas membentuk oligarki. Apakah sudah ada lembaga hasil pemilihan, termasuk pemilihan internal untuk membentuk kepengurusan bukan membentuk oligarki, dan tidak ada satu negara demokrasi di dunia ini yang mampu membentuk pemerintahan tanpa oligarki.
Kesimpulan dan Saran
Sejarah menunjukkan bahwa perubahan sistem demokrasi yang dari presidensial ke parlementarian dan sebaliknya dari parlementarian ke presidensial hanya melalui dekret. Maklumat Wakil Presiden No.X 16 Oktober, Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 telah mengubah sistem presidensial menjadi sistem parlementarian tanpa mengubah UUD 1945. Begitu pula Dekret Presiden 5 Juli 1945, yang memberlakukan kembali UUD 1945 yang menganut sistem presidensial dengan membatalkan berlakunya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementarian. Alasan situasi genting yang mengancam keselamatan bangsa menjadi latar belakang keluarnya Dekret di akhir 1945 dan pertengahan 1959. Ke depan, mekanisme demkoratis dan konstitusional harus menjadi landasan bagi pengambilan keputusan yang bersifat prinsipial, esensial, dan fundamental.
Hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan konstitusional yang berimbas pada pemusatan kekuasaan di satu tangan di masa Orde Lama, maupun “rekayasa konstitusional” untuk melanggengkan kekuasaan di masa Orde Baru juga tidak bisa dibenarkan.
Reformasi 1998 memberi peluang bagi konsolidasi demokrasi menuju terwujudnya Demokrasi Pancasila seperti yang menjadi dambaan rakyat, melalui pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel. Pemerintahan yang besih, transparan, dan akuntabel dibentuk melalui pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil (free and fair election). Seleksi dalam penyederhanaan partai politik secara alamiah terus diupayakan melalui sistem dan mekanisme yang demokratis dan diterima oleh seluruh kalangan.
Dibuat oleh Aria Bima, sebagai tugas dari dosen pengajar Dr. Suwandi Sumartias pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2020
Daftar Pustaka
Aristoteles. 2017. Politik. Yogyakarta: Narasi. Edisi revisi.
Budiman, Arief. 1991. Jalan Demokratis Ke Sosialisme Pengalaman Chili Di Bawah
Allende. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cet.2
Feith, Herbert. 2007. The Decline of Constitutional Democracy. Jakarta and Kuala Lumpur:
Equinox.
Hardiman, Budi, F. 2009. Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta : Kanisius.
Kaelan. 2018. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Moertopo, Ali. 1973. Dasar-dasar Pembangunan tentang Akselerasi Modernisasi
Pembangunan 25 Tahun. Jakarta : CSIS
__________. 1974. Strategi Politik Nasional. Jakarta: CSIS
__________. 1978. Strtategi Kebudayaan. Jakarta: CSIS.
Romli, Lili. 2019. Sistem Presidensial Indonesia Dinamika, Problematik, dan Penguatan
Kelembagaan. Malang: Setara Press.
Sukarno, Ir. 2019. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno.Yogyakarta: Media Pressindo.
Wardaya, Baskara, T. 2007. Membongkar Supersemar! Dari CIA Hingga Kudeta
Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galangpress.
Wattimena, Reza, AA. 2016. Demokrasi Filosofi dan Tantangannya. Yogyakarta: Kanisius.