Makalah Komunikasi Aria Bima: Retorika, Seni Berbicara, dan Sejarahnya

Retorika adalah ilmu dan seni dalam berbicara, mengatur komposisi kata, menyampaikan atau mengajak orang lain sehingga mudah dipahami dan diterima pendengar serta terkesan atas apa yang diucapkannya. Retorika dalam bahasa Inggris disebut rhetoric, dalam bahasa latin rethorika dan dalam bahasa Yunani yakni rethor yang artinya ilmu berbicara, seni bicara atau mahir berbicara.

Retorika merupakan bentuk komunikasi di mana seseorang menyampaikan buah pikirannya baik lisan maupun tertulis kepada hadirin yang relatif banyak dengan pelbagai gaya dan cara bertutur, serta selalu dalam situasi tatap muka (face to face) baik langsung maupun tidak langsung.

SEJARAH RETORIKA:

Tradisi retorika awalnya diajarkan oleh seorang ahli fisika dan filsuf Yunani, Aristoteles.  Aristoteles adalah orang pertama yang mengembangkan keterampilan mengenai komunikasi publik. Retorika menurut Aristoteles bertujuan untuk mempersuasi, dan tidak diartikan sebagai alat untuk memprovokasi/menyuap bahkan memaksa audiens. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa teori retorika adalah teori yang yang memberikan petunjuk untuk menyusun sebuah presentasi atau pidato persuasif  yang efektif dengan menggunakan alat-alat persuasi yang tersedia.

TRADISI RETORIKA:

Menurut Aristoteles, retorika merupakan seni untuk membawakan dan menyampaikan pengetahuan yang sudah ada secara meyakinkan. Retorika haruslah menunjukkan kebenaran bukannya mempermainkan kata-kata kosong. Retorika berfungsi untuk menyampaikan suatu pesan melalui pidato untuk meyakinkan atau membujuk pendengarnya dengan menunjukkan kebenaran dalam logika.

ELEMEN-ELEMEN POKOK RETORIKA:

Segitiga Retorika yang mana merupakan metode yang sangat berguna untuk menyusun kalimat-kalimat yang tepat dalam penerapan prinsip persuasi. Pendekatan teori segitiga retorika ini berasal dari jaman Yunani kuno. Aristoteles sang guru filsafat menerangkan bahwa model persuasi berdasarkan segitiga retorika terdiri dari; ethos, logos, dan phatos.

LOGOS (Message):

Isi dari argumen yang menarik dari sisi logika. Data-data yang disajikan harusah akurat dan tidak membingungkan. Informasi yang mendalam namun mudah dipahami akan semakin meningkatkan dimensi ethos dari sang pembicara. Struktur bahasa yang rasional dan proporsional akan ditangkap dengan jelas oleh pikiran para pendengar. Kejelasan dari alasan-alasan serta bukti-bukti yang kuat akan mendorong pesan dan argumen menjadi semakin persuasif. Persiapan yang matang adalah kuncinya.

Ada tiga prinsip dasar  dalam mengembangkan logos  yang kuat, yaitu :

  1. Buatlah dimengerti

Apapun argumen yang Anda sampaikan, mereka harus mudah dipahami oleh audiens. Gunakan bahasa yang sederhana. Jika Anda menggunakan data berupa angka-angka pastikan bahwa Anda tidak membuat audiens pusing dengan banyaknya angka yang Anda sebutkan. Cukup fokus pada angka yang menurut Anda penting untuk diketahui oleh audiens. Akan lebih bagus lagi jika Anda menggunakan tampilan visual untuk mendukung argumen dan data-data yang Anda sampaikan

  • Buatlah Logis

Pastikan argumen yang Anda sampaikan, mudah dinalar oleh audiens. Jangan pernah memberikan sebuah pernyataan yang sulit, apalagi yang susah diterima oleh logika. Perlu Anda ingat setiap argumen yang Anda sampaikan akan dipikirkan oleh audiens jika itu masuk akal, maka mereka akan mempercayainya. Jika tidak masuk akal mereka akan menolaknya.

  • Buatlah Nyata

Sebuah argumen yang didasarkan pada fakta dan contoh-contoh konkret cenderung  lebih mudah diterima oleh audiens. Semakin baik fakta yang Anda tunjukkan maka semakin besar pula kepercayaan audiens terhadap diri Anda.

Contoh: Dalam seminar bisnis dan ekonomi seringkali panitia mendatangkan pakar dan ahli serta praktisi yang mumpuni di bidang tersebut karena jelas, selain ahli para pembicara yang disebutkan mempunyai pengalaman dan data yang faktual, autentik, dan menarik. Sehingga lebih dan mudah diterima oleh para peserta seminar.

PATHOS (Emotion/ Values by Audience)

Pathos adalah sisi daya tarik emosional yang menyertai isi argumen dari sisi logos dan kompetensi komunikator dari sisi ethos. Penyampaian argumentasi dengan pathos inilah yang menguatkan unsur persuasinya. Pathos adalah penentu dari persetujuan pendengar pada pemaparan sang pembicara.

Bujukan yang menyasar kepada segi emosi bisa berupa cara penyampaian pesan yang bersemangat dengan bentuk cerita, analogi, atau metafora untuk mengantarkan nilai-nilai secara empatik. Pembicara bisa juga menggunakan imajinasi, harapan, bahkan ketakutan dari audiens.

Menggunakan pathos dalam presentasi akan membantu audiens lebih mudah memahami perspaktif Anda, lebih mudah menerima pernyataan yang Anda sampaikan dan lebih mudah menindaklanjuti call to action yang Anda sarankan. Dalam mengembangkan pathos, ada beberapa cara yang dapat dilakukan yakni seperti dengan menggunakan cerita, menggunakan humor, menggunakan visual, menggunakan body lenguage, penekanan kata, atau pun jeda.

Contoh: Pada pidato Bung Tomo yang mana kondisi dan situasi lingkungan pada saat itu sedang perang dan sangat emosional, baik itu takut, sedih, semangat ataupun marah. Maka untuk menarik perhatian dan dapat disimak oleh rakyat Surabaya pada saat itu, Bung Tomo berpidato lewat siaran radio dengan intonasi suara yang semangat membara, yang menghipnotis pendengar, yang menguatkan sehingga mampu menggerakkan rakyat Surabaya untuk tidak takut mati dan maju sampai titik darah penghabisan melawan pasukan sekutu.

ETHOS (CREDIBILITY/ TRUST BY COMMUNICATOR):

Ethos adalah komponen di dalam argumen yang menegakkan kepercayaan pendengar terhadap kompetensi sang pembicara. Ethos Komunikator Ethos berarti “sumber kepercayaan” (source credibility) yang ditunjukkan oleh seorang komunikator atau orator bahwa ia memang pakar dalam bidangnya, sehingga oleh karena seorang ahli, maka ia dapat dipercaya. Dalam prinsip persuasi bisa termasuk ke dalam prinsip otoritas dan rasa suka. Wawasan, etika dan karakter orang yang menyampaikan argumen haruslah meyakinkan.

Ada tiga kategori ethos yaitu kemampuan dan kebijaksanaan yang berarti kepakaran dan kecedasan sang pembicara. Yang kedua adalah kebaikan dan kehebatan sang pembicara yang dinilai sebagai kredibilitas serta reputasinya. Dan yang terakhir adalah niat baik komunikator kepada audiens-nya. Unsur ini penting karena berkaitan dengan penerimaan pendengar terhadap moralitas dan integritas dari orang yang berbicara.

ASUMSI-ASUMSI RETORIKA:

a. Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan audien mereka. Asumsi ini menekankan bahwa hubungan antara pembicara – audien harus dipertimbangkan. Para pembicara tidak boleh menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan audiennya, tetapi mereka harus berpusat pada audien. Dalam hal ini, audien dianggap sebagai sekelompok besar orang yang memiliki motivasi, keputusan, dan pilihan dan bukannya sebagai sekelompok besar orang yang homogen dan serupa. Asumsi ini menggaris bawahi definisi komunikasi sebagai sebuah proses transaksional. Agar suatu pidato efektif, harus dilakukan analisis audien (audience analysis), yang merupakan proses mengevaluasi suatu audien dan latar belakangnya dan menyusun pidatonya sedemikian rupa sehingga para pendengar memberikan respon sebagaimana yang diharapkan pembicara.

b. Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam presentasi mereka. Asumsi ini berkaitan dengan apa yang dilakukan pembicara dalam persiapan pidato mereka dan dalam pembuatan pidato tersebut. Bukti-bukti yang dimaksudkan ini merujuk pada cara-cara persuasi yaitu: ethos, pathos dan logos. Ethos adalah karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari seorang pembicara. Logos adalah bukti logis atau penggunaan argument dan bukti dalam sebuah pidato. Pathos adalah bukti emosional atau emosi yang dimunculkan dari para anggota audien.

SILOGISME DAN ENTIMEM (ARGUMEN TIGA TINGKAT):

Logos adalah salah satu dari tiga bukti yang menurut Aristoteles menciptakan pesan yang lebih efektif. Berpegang pada bukti-bukti logis ini merupakan sesuatu yang disebut silogisme (syllogism). Namun, kemudian muncul istilah yang juga popular yaitu entimem (entymeme).

Silogisme (Bitzer,1995; Kim dan Kunningham, 2003) adalah sekelompok proporsi yang berhubungan satu sama lain dan menarik sebuah kesimpulan dari premis-premis mayor dan minor. Silogisme sebenarnya merupakan sebuah argumen deduktif yang merupakan sekelompok pernyataan (premis) yang menuntun pada sekelompok pernyataan lainnya (kesimpulan).

Silogisme merupakan suatu bentuk penalaran deduktif. Silogisme merupakan suatu proses penarikan kesimpulan yang didasarkan atas pernyataan-pernyataan sebagai antesedens hingga akhirnya membentuk suatu kesimpulan sebagai konklusif atau konsekuensi logis. Kesimpulan baru tersebut selalu berkaitna dengan proporsi yang digunakan sebagai dasar. Oleh karena itu, perlu dipahami hal-hal teknis berkaitan dengan silogisme sehingga penalaran benar-benar dapat diterima nalar.

Entimem (Lloyd Bitzer, 1959) adalah silogisme yang didasarkan pada kemungkinan (probability), tanda (sign) dan contoh (example), dan berfungsi sebagai persuasi retoris. Kemungkinan adalah pernyataan-pernyataan yang secara umum benar tetapi masih membutuhkan pembuktian tambahan. Tanda adalah pernyataan yang menjelaskan alasan bagi sebuah fakta. Contoh adalah pernyataan-pernyataan baik yang faktual maupun yang diciptakan oleh pembicara. Entimem dalam hal ini memungkinkan audien untuk mendeduksi kesimpulan dari premis-premis yang atau dari pengalaman mereka sendiri. James McBurney (1994) mengingatkan bahwa entimem merupakan dasar dari semua wacana persuasive. Karenanya entimem juga berhubungan dengan ethos dan pathos. Larry Anhart (1981), percaya akan adanya kesalingterhubungan antara entimem dan bentuk-bentuk bukti ketika ia menyimpulkan bahwa kekuatan persuasif entimem terletak didalam kemampuannya untuk menjadi logis, etis dan patheis: “entimem dapat digunakan tidak hanya untuk membangun sebuah kesimpulan sebagai kebenaran yang mungkin tetapi juga untuk mengubah emosi para pendengar atau untuk membangun rasa percaya mereka akan karaketer dari pembicara”.

Silogisme dan entimem secara struktur sama. Akan tetapi, silogisme berhubungan dengan kepastian sedangkan entimem berhubungan dengan kemungkinan. 

KANON RETORIKA:

Aristoteles percaya bahwa agar suatu retorika dapat efektif, pembicara harus mengikuti prinsip-prinsip dasar yang ia sebut dengan kanon. Kanon dapat membuat suatu retorika lebih meyakinkan audien. Retorika klasik telah menggunakan hasil observasi aristoteles, dan hingga saat ini, sebagian besar penulis teks publik speaking mengikuti kanon Aristoteles agar menyuguhkan suatu pembicaraan yang efektif.

1. Penemuan (invention), didefinisikan sebagai konstruksi atau penyusunan dari suatu argumen yang relevan dengan tujuan dari suatu pidato. Dalam hal ini perlu adanya integrasi cara berfikir dengan argumen dalam pidato. Oleh karena itu, dengan menggunakan logika dan bukti dalam pidato dapat membuat sebuah pidato menjadi lebih kuat dan persuasif. Hal yang membantu penemuan adalah topic. Topik (topic) adalah bantuan terhadap yang merujuk pada argumen yang digunakan oleh pembicara. Para pembicara juga bergantung pada civic space atau metafora yang menyatakan bahwa pembicara memiliki “lokasi-lokasi” dimana terdapat kesempatan untuk membujuk orang lain.

2. Penyusunan (arrangement), berhubungan dengan kemampuan pembicara untuk mengorganisasikan pidatonya. Pidato secara umum harus mengikuti pendekatan yang terdiri atas tiga hal: pengantar (introduction), isi (body), dan kesimpulan (conclusion). Pengantar merupakan bagian dari strategi organisasi dalam suatu pidato yang cukup menarik perhatian audien, menunjukkan hubungan topic dengan audien, dan memberikan bahasan singkat mengenai tujuan pembicara. Batang tubuh merupakan bagian dari strategi organisasi dari pidato yang mencakup argument, contoh dan detail penting untuk menyampaikan suatu pemikiran. Kesimpulan atau epilog merupakan bagian dari strategi organisasi dalam pidato yang ditujukan untuk merangkum poin-poin penting yang telah disampaikan pembicara dan untuk menggugah emosi di dalam audien.

3. Gaya (style), merupakan kanon retorika yang mencakup penggunaan bahasa untuk menyampaikan ide-ide didalam sebuah pidato. Dalam penggunaan bahasa harus menghindari glos (kata-kata yang sudah kuno dalam pidato), akan tetapi lebih dianjurkan menggunakan metafora (majas yang membantu untuk membuat hal yang tidak jelas menjadi lebih mudah dipahami). Penggunaan gaya memastikan bahwa suatu pidato dapat diingat dan bahwa ide-ide dari pembicara diperjelas.

4. Penyampaian (delivery), adalah kanon retorika yang merujuk pada presentasi nonverbal dari ide-ide pembicara. Penyampaian biasanya mencakup beberapa perilaku seperti kontak mata, tanda vocal, ejaan, kejelasan pengucapan, dialek, gerak tubuh, dan penampilan fisik. Penyampaian yang efektif mendukung kata-kata pembicara dan membantu mengurangi ketegangan pembicara.

5. Ingatan (memory) adalah kanon retorika yang merujuk pada usaha-usaha pembicara untuk menyimpan informasi untuk sebuah pidato. Dengan ingatan, seseorang pembicara dapat mengetahui apa saja yang akan dikatakan dan kapan mengatakannya, meredakan ketegangan pembicara dan memungkinkan pembicara untuk merespons hal-hal yang tidak terduga.

KEGUNAAN RETORIKA:

Konrad Lorenz mengatakan:

Apa yang diucapkan tidak berarti juga di dengar, apa yang di dengar tidak berarti juga di mengerti, apa yang di mengerti tidak berarti juga di setujui, apa yang di setujui tidak berarti juga di terima, apa yang di terima tidak berarti juga di hayati dan apa yang di hayati tidak berarti juga mengubah tingkah laku.

Retorika penting supaya apa yang di ucapkan dapat di dengar, apa yang di dengar dapat di setujui, apa yang disetujui dapat di terima, apa yang diterima dapat di hayati dan apa yang di hayati dapat mengubah tingkah laku.

TIPE-TIPE RETORIKA/ 3 JENIS RETORIKA DALAM DOKTRIN ARISTOTELES:

1. Retorika forensic (forensic rhetoric), berkaitan dengan keadaan dimana pembicara mendorong timbulnya rasa bersalah atau tidak bersalah dari audien. Pidato forensic atau juga disebut pidato yudisial biasanya ditemui dalam kerangka hukum. Retorika forensic berorientasi pada masa waktu lampau.

2. Retorika epideiktik (epideictic rhetoric), adalah jenis retorika yang berkaitan dengan wacana yang berhubungan dengan pujian atau tuduhan. Pidato epideiktik sering disebut juga pidato seremonial. Pidato jenis ini disampaikan kepada publik dengan tujuan untuk memuji, menghormati, menyalahkan dan mempermalukan. Pidato jenis ini berfokus pada isu-isu sosial yang ada pada masa waktu sekarang.

3. Retorika deliberative (deliberative rhetoric), adalah jenis retorika yang menentukan tindakan yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan oleh audien. Pidato ini sering disebut juga dengan pidato politis. Pidato deliberative berorientasi pada masa waktu yang akan datang.

KRITIK DAN KESIMPULAN:

Teori Retorika Aristoteles merupakan salah satu studi berpengaruh dalam landasan teoritis komunikasi. Kita dapat menemukan bukti-buktinya dalam komunikasi publik dan menemukan diskusi-diskusinya pada pengiriman, organisasi dan gaya dalam berkomunikasi. Pelajar dan Mahasiswa telah banyak mendapat manfaat dari kata-kata dan nilai-nilai dari Aristoteles ini, dan untuk alasan itu maka teori ini akan beresonansi secara mendalam selama bertahun-tahun yang akan datang. Untuk kritik lebih lanjut akan ada 2 pembahasan yaitu Heurisme dan Logika Konsistensi.

  • Heurisme.

Beberapa akan berpendapat bahwa teori retorika Aristoteles adalah salah satu teori yang paling heuristik ( berseni ) ditemukan dalam komunikasi. Hampir semua sarjana Ilmu Politik, Kedokteran dan Filsafat telah mempelajari teori retorika Aristoteles dan memasukan prinsip-prinsip Aristoteles ini dalam penelitian mereka. Teori retorika telah telah melahirkan sejumlah subarea disiplin Komunikasi seperti Communication Appherenshion ( Ketakutan dalam berkomuniasi )dll, dan telah menghasilkan banyak penelitian baik empiris dan praktis.

  • Logical konsistensi (Konsistensi Logis).

Beberapa kritik dari para ahli bermunculan terhadap teori Retorika Aristoteles diantaranya adalah :

  1. Lord ( 1994 ).

Lord mengkritik Aristoteles karena kontradiksi dan inkoherensi. Lord menyatakan bahwa dalam mengembangkan teorinya, Aristoteles terlalu berfokus banyak pada emosi penonton. Meskipun hampir setiap pidatonya Aristoteles mendorong pendengar untuk menghindari berfokus pada emosi sementara, tetapi ia melanjutkan untuk melakukan hal itu ketika ia menekankan pentingnya menghadirkan emosi dan memanggil nafsu pendengar selama pidato. Ini membuat teori Aristoteles agak tidak konsisten.

  • Eugene ryan

Ryan berpendapat lebih tumpul bahwa Aristoteles berpikir pendengar memiliki beberapa kesulitan menjaga pikiran mereka pada saat dalam komunikasi publik, mudah terganggu dan cenderung melupakan apa yang telah berlangsung sebelumnya dan tidak diserap dengan ide ide abstrak (kurang terorganisir)

  • John Cooper

John mengkritik kritikan Lord atas Aristoteles, ia berpendapat bahwa Aristoteles hanyalah menganggapi pesan –pesan pada hari itu dan tidak seterusnya karena sebagian besar pidato di Yunani kuno diarahkan ke hakim dan penguasa. Aristoteles merasa bahwa pembicara harus mencoba untuk mendapatkan perasaan iba diruang sidang. Dan untuk melakukan hal itu Aristoteles merasa bahwa pembicara harus mencoba untuk melihat hakim dengan cara yang menyenangkan, hanya pada hari itu saja (pendefinisian kurang tepat)

Dibuat oleh Aria Bima, sebagai tugas mata kuliah ‘Retorika’ pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *