Semboyan Kerja, kerja, kerja! Lapangan kerja, Indonesia Butuh Kerja. Itulah tanda pagar atau hashtag penyemangat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR RI. Semboyan itu merupakan upaya pencapaian Visi Indonesia 2045 yang dikumandangkan Presiden Joko Widodo dalam kapsul waktu yang disimpan dalam monumen di Merauke setelah diarak keliling Indonesia mulai dari Sabang hingga disimpan di Merauke untuk dibuka pada peringatan Kemerdekaan Indonesia ke 100 pada 2045 kelak.
Dalam pidato pelantikan untuk masa jabatan kedua di hadapan Sidang MPR, Presiden Joko Widodo mencanangkan Indonesia bakal menjadi negara kelompok lima besar kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Ada tiga indikator yang harus dicapai, supaya Indonesia masuk dalam kelompok lima besar ekonomi dunia, yakni, pertama, pendapatan perkapita sebesar Rp 320 juta per tahun. Kedua, Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar USD 7 triliun atau setara Rp. 98.000 triliun. Ketika, angka kemiskinan mendekati nol.
Visi itu merujuk pada prediksi World Ekonomi Forum (WEF) yang meramalkan, Tiongkok bakal menyalip AS sebagai negara dengan kekuatan ekonomi pertama di dunia. Posisi ketiga ditempati Jepang, keempat India, dan kelima Indonesia. Semua asumsi itu hanya dihitung berdasarkan PDB. Kita semua tahu bahwa PDB dihtung dari seluruh nilai pasar barang dan jasa yang diproduksi pada suatu negara – termasuk keuntungan yang mengalir keluar negeri – minus impor. Untuk mendekati proyeksi WEF 2024 tersebut, ternyata bukan perkara mudah. Sampai pada poin ini, sebagai pimpinan konfenderasi organisasi buruh, kami sepakat dengan dengan argumen pemerintah.
Dalam kenyataan, untuk mencapai proyeksi WEF tersebut ternyata bukan perkara mudah. Dalam naskah akademis RUU Cipta Kerja, PDB per kapita, riel 2018 tercatat sebesar Rp 39,4 juta , dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rerata dalam satu dasawarsa pada kisaran 5,4%. Perhitungan kenaikan PDB perkapita sebesar 100% dari Rp 39,4 juta menjadi menjadi Rp 78,4 juta per tahun membutuhkan waktu 13 tahun. Untuk menuju PDB per kapita per tahun sebesar Rp 390 juta, membutuhkan waktu kurang lebih 40 tahun. Kami yakin dengan upaya pemerintah bahwa untuk mewujudkan cita-cita menjadi kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia, Presiden Joko Widodo berupaya memperpendek waktu tempuh yang mendekati empat dasawarsa itu.
Waktu tempuh yang panjang tersebut diharapkan bisa diringkas dengan memangkas berbagai faktor penghambatnya. Kami yakin baik bapak/ ibu juga mengetahui bahwa aturan yang menghambat itu ada pada faktor peraturan perundang-undangan yang selain ruwet dan tumpang tindih, dan harus melalui rantai birokrasi yang panjang. Selain itu tidak ada jaminan berapa lama urusan perizinan usaha dapat diselesaikan. Artinya upaya ketidakpastian hukum dan rantai birokrasi menjadi penghambat investasi, baik yang datang dari dalam negeri, asing maupun joint-venture.
Kami menghargai itikad Bapak/ Ibu Anggota Dewan sekalian yang sudah bekerjakeras menyusun undang-undang Omnibus Law yang diharapkan menjadi senjata sapujagad sinkronisasi dan harmonisasi terhadap 76 undang-undang yang memiliki aturan yang terbagi dalam 11 klaster tersebut dengan harapan dapat memperpendek waktu tempuh tadi. Tapi kami menyayangkan bahwa dalam proses penyusunannya, para perancang undang-undang justru abai terhadap kualitas sumberdaya manusia pekerja, yang sebagian besar berpendidikan SMP. Belum lagi fakta bahwa asupan gizi dan fasilitas penunjang kesehatan yang kurang memadai masih menghantui masa depan generasi muda kita di masa mendatang. Angka anak Indonesia yang masuk kategori tengkes (stunting) masih lumayan besar, yakni 30,8%. Organisasi kesehatan Dunia (WHO) memberi batas toleransi tengkes sebesar 20%.
Angka Human Capital Index (HCI) atau Indeks Modal Manusia Indonesia pada 2018 berdasar data Bank Dunia 2019 sebesar 0,53 pada urutan ke 87 dari 157 negara. Kondisi seperti itu menurut kami tentu sangat mengkhawatirkan. Seandainya UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja tersebut berhasil menarik investor, kami yakin bahwa yang dimanfaatkan adalah upah buruh murah untuk industri padat karya dan polutif yang sudah memasuki senjakala (sunset industry) yang sudah tidak mungkin diusahakan di negara asalnya. Sementara jumlah buruh terdidik dan terampil (skilled labor) di Indonesia jumlahnya terbatas, itupun terancam disrupsi sebagai seiring perubahan teknologi komunikasi dan informatika yang begitu cepat sebagai bagian dari Revolusi Industri Keempat (Industry 4.0).
Artinya Indonesia masih memiliki PR besar dalam perbaikan Indeks Modal Manusia dan mencetak sumberdaya manusia yang terdidik dan terampil dan mampu bersaing di pasar kerja. Selain itu,perlu kami sampaikan data lain terkaitrendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang ditandai dengan rendahnya skor dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan sains bagi pelajar. Pada 2018, skor rata-rata kemampuan membaca pelajar Indonesia hanya 371, jauh lebih rendah dari skor rata-rata 489. Skor untuk kemampuan matematika hanya 378, di bawah skor rata-rata 489. Dengan melihat fakta-fakta tersebut, tentu kami lebih memilih preferensi perbaikan kualitas manusia tenaga kerja Indonesia secara bertahap, daripada mengundang investasi secara dadakan yang akan menjadikan Indonesia sebagai tempat sampah sunset industry yang kami yakin hanya dimanfaatkan untuk eskploitasi buruh dengan upah murah sebagai comparative advantage.
Perlu kami tekankan bahwa upah murah tidak akan meningkatkan kualitas produk, karena hanya sekadar menampung pengganguran . Upah murah akan membuat diskrepansi atau jurang pendapatan yang makin lebar antara pengusaha dan pekerja. Upah murah juga tidak berkorelasi langsung kepada peningkatan kesejahteraan pekerja selain sekadar bertahan hidup saja. Sebaliknya bagi kami, kualitas sumberdaya manusia pekerja yang tinggi, justru menjadikannya memiliki daya saing yang tinggi dan posisi tawar pengupahan dan hak normatif pekerja lainnya menjadi relatif lebih baik. Buruh atau tenaga kerja terampil malah memiliki keahlian tertentu yang kompatibel dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, tentu akan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Tenaga kerja dengan kemampuan seperti itu akan dibutuhkan oleh industri manufaktur yang menghasilkan produk dengan teknologi tinggi. Data Bank Dunia 2018 menunjukkan bahwa persentase ekspor produk berteknologi tinggi dari Indonesia hanya sebesar 8%, lebih rendah dari India sebesar 9%, Thailand 23,8%, Vietnam 41,4%, dan Malaysia 52,8%.
Data tersebut menunjukkan bahwa Indonesai jauh tertinggal dari negara tetangga dari kawasan IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand – Growth Triangle), seperti Thailand, dan Malaysia, serta Vietnam. Untuk bisa naik kelas menjadi negara berpenghasilan tinggi seperti yang diharapkan dalam Visi Indonesia 2045, Indonesia harus bekerja keras meningkatkan persentase jumlah penduduk berpendidikan tinggi, menghasilkan produk berteknologi tinggi, dan merapatkan jarak ketimpangan pendapatan. Kebijakan jalan pintas dan instan seperti yang ditempuh melalui UU Cipta Kerja, dengan mempermudah izin usaha, mendapatkan lahan lokasi usaha, dan upah buruh murah, menurut kami malah lebih banyak menguntungkan pengusaha ketimbang pekerja. Upah buruh murah tidak menjamin hidup pekerja menjadi sejahtera. Tenaga kerja murah karena tidak memiliki keterampilan dan keahlian dalam perkembangannya akan digantikan oleh mesin, seiring dengan kemajuan teknologi robotika. Atas berbagai kemungkinan tersebut, kami pun bertanya-tanya, buat apa lapangan kerja bertambah, tetapi para pekerjanya tidak beranjak sejahtera.
Inventarisasi Masalah yang Harus Ditolak dari UU Cipta Kerja
Penolakan kami terhadap UU Cipta Kerja pada klaster ketenagakerjaan, utamanya berfokus pada hal-hal yang menyangkut penghapusan dan pengurangan hak-hak normatif pekerja atau buruh yang sebelumnya telah diatur pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hak Normatif pekerja atau buruh meliputi,
- hak ekonomi (upah, upah lembur, dan beberapa tunjangan seperti THR),
- hak yang bersifat politis, seperti membentuk dan (atau) bergabung dengan serikat pekerja atau serikat buruh, mogok kerja,
- hak yang bersifat medis seperti kesehatan dan keselamatan kerja, seperti aturan penggunaan alat keselamatan kerja atau alat pelindung diri, dan aturan tentang waktu istirahat.
- hak yang bersifat sosial, seperti cuti kawin, cuti hamil, cuti haid, libur resmi pemerintah sesuai kalender nasional. Jaminan sosial dan dana pensiun.
- selain beberapa hak tersebut, terdapat aturan tentang hubungan kerja yang mengikat buruh secara perdata seperti status, dan perjanjian ikatan kerja, apakah pekerja tetap, pekerja dengan waktu tertentu atau waktu tidak tertentu (kontrak), dan alihdaya (outsourcing)
Beberapa hal krusial yang telah diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 terkait dengan hak normatif pekerja atau buruh adalah sebagai berikut :
- Upah
Upah merupakan penghargaan dalam bentuk uang yang diberikan pengusaha kepada buruh setelah buruh menyerahkan tenaga dan pikirannya dalam proses produksi. Ada tiga komponen upah, yaitu: upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Upah minimum adalah upah yang ditetapkan oleh Gubenur/Bupati/Walikota atas usulan Dewan Pengupahan berdasarkan penghitungan minimum kebutuhan hidup minimum perbulan. Upah Minimun dibagi menjadi dua yaitu Upah Minimum Kabupaten / Kota (UMK) atau Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK); Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) besarannya ditentukan Dewan Pengupahan di masing-masing kota, atau kabupaten, atau provinsi. Upah minimum dibayarkan per bulan, namun dapat diberikan per dua minggu jika ada kesepakatan.
Komponen penghasilan/upah memang tidak diatur secara khusus dalam Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, undang-undang tersebut lebih memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan upah antara lain:
Tidak boleh membayar upah lebih rendah dari upan minimum provinsi/kabupaten/kota (UMP/UMK) yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota.
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Pengusaha tetap membayar upah bila pekerja tidak masuk karena sakit, dll. Penetapan komponen penghasilan/upah diatur sendiri oleh perusahaan dan biasanya dicantumkan dalam peraturan perusahaan
- Upah Lembur
Upah lembur adalah upah yang diberikan ketika buruh bekerja melebihi waktu kerja yang telah diatur dalam peraturan perburuhan (lebih dari 8 jam sehari untuk 5 hari kerja atau 7 jam sehari untuk 6 hari kerja atau jumlah akumulasi kerjanya lebih dari 40 jam seminggu).
Peraturan yang dipakai untuk menghitung upah lembur adalah Kepmen 102 Tahun 2004. Menghitung upah lembur agak rumit bagi yang belum biasa menghitungnya, berikut rinciannya:
Untuk menghitung upah sejam adalah: 1/173 X upah sebulan.
- Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja biasa: Untuk jam lembur pertama dibayar sebesar 1,5 x upah sejam.
- Untuk jam lembur selebihnya dibayar sebesar 2 x upah sejam.
- Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 hari kerja seminggu maka: (a) Perhitungan upah kerja lembur untuk 7 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam (b) Jam kedelapan dibayar 3 kali upah sejam (c) Jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 kali upah sejam.
- Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, perhitungan upah lembur 5 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam, jam keenam 3 kali upah sejam, dan jam lembur ke tujuh dan ke delapan 4 kali upah sejam.
- Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 hari kerja seminggu maka: (a) Perhitungan upah kerja lembur untuk 8 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam (b) Jam kesembilan dibayar 3 kali upah sejam (c) Jam kesepuluh dan kesebelas 4 kali upah sejam.
- Karyawan mendapat uang makan apabila lembur dilakukan selama minimal 3 jam (di luar waktu istirahat 1 jam).
- Istirahat Kerja dan Cuti
Cuti dan istirahat kerja adalah hak buruh yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2003, dan klasifikasinya adalah sebagai berikut:
- Cuti tahunan (selama 12 hari kerja), diberikan pada buruh yang telah bekerja selama 12 bulan berturut-turut;
- Cuti Haid, diberikan pada buruh perempuan yang merasa sakit pada hari pertama dan kedua saat haid;
- Cuti Hamil/Bersalin/Keguguran, diberikan pada buruh perempuan 1,5 bulan sebelum dan setelah melahirkan;
- Cuti Karena Alasan Mendesak.
Pasal 79 UU 13 Tahun 2003 mengatur: Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:
- Istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
- Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
- Cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
- Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
- Cuti Hamil dan Melahirkan
Cuti hamil dan melahirkan adalah hak untuk cuti dari pekerjaan, untuk persiapan melahirkan, melahirkan dan merawat anak sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh peraturan ketenagakerjaan. Cuti melahirkan ini di setiap negara berbeda. Kalau di Indonesia, berdasarkan UU ketenagakerjaan, cuti melahirkan diberikan selama 3 bulan termasuk masa persiapan melahirkan. Tetapi, ada beberapa lembaga atau perusahaan yang membolehkan cuti melahirkan ini diambil selama 6 bulan karena ingin berpartisipasi melaksanakan program pemerintah yang digembor-gemborkan yaitu pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. WHO merekomendasikan agar bayi yang baru lahir mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan. ASI adalah nutrisi terbaik bagi bayi dengan kandungan gizi paling sesuai untuk pertumbuhan, perkembangan kecerdasan otak dan fisik secara optimal. Sekitar 80 persen sel penyusun ASI adalah sel pembentuk antibodi yang membunuh bakteri, fungi, dan virus. Karena ASI adalah faktor penting bagi tumbuh-kembangnya bayi, maka bayi mempunyai hak dalam perolehan ASI eksklusif selama 6 bulan. Tumbuh-kembang anak secara optimal dilindungi dalam Konvensi Hak-Hak Anak 1990.
- Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Seperti diketahui, PT. Jaminan Sosial Tenagakerja atau disingkat PT. Jamsostek berubah menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan pertanggal 1 Januari 2014 sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 62 ayat (1) UU BPJS. Terkait dengan peralihan ini, dalam Pasal 62 ayat (2) huruf d UU BPJS disebutkan bahwa BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan hari tua, dan program jaminan kematian yang selama ini diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero), termasuk menerima peserta baru, sampai dengan beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 29 sampai dengan Pasal 38 dan Pasal 43 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, paling lambat 1 Juli 2015. Perlu diketahui, pasal dalam UU SJSN yang mengatur khusus tentang Jaminan Kecelakaan Kerja adalah Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 UU SJSN.
- Hubungan Kerja
Hubungan kerja yang mengatur status pekerja berikut hak perdatanya diatur mulai dari Pasal 50 hingga Pasal 66.
III. Poin-poin Keberatan
Dengan memerhatikan beberapa ketentuan pada UU No.13 Tahun 2003 dan naskah RUU Cipta Kerja, maka, saya mengajukan keberatan tentang beberapa hal yang menurut saya sangat merugikan buruh/pekerja, yaitu :
- Keberatan tentang aturan perjanjian kerja dengan waktu tertentu dan perjanjian kerja dengan waktu tidak tertentu atau pekerja kontrak dalam UU No.13 Tahun 2003 ternyata tidak dihapus tetapi malah memperkuat posisi pemberi kerja. Dengan kondisi seperti itu maka buruh dimungkinan menjadi tenaga kerja kontrak seumur hidup.
- Hal serupa juga terjadi pada pekerja alih daya (outsourcing) yang tidak memiliki hak-hak normatif buruh yang hidupnya tidak lebih seperti budak yang diperjualbelikan oleh perusahaan penyedia alihdaya. Bila tenaga kerja alihdaya kehilangan pekerjaan, maka dirinya tidak akan mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagaimana diatur dalam naskah RUU Cipta Kerja.
- Perusahaan pemberi kerja dapat mempekerjakan tenaga kerja tidak tetap (kontrak dan alihdaya) dari 70 hingga 80% menjadi 85 hingga 95%. Artinya perusahaan tetap bisa berjalan dengan hanya 5% jumlah pekerja tetap, sehingga tanggung jawab dan kewajiban sosial terhadap pekerja menjadi sangat kecil, hal itu tentu jauh dari prinsip keadilan sosial
- Ketentuan tentang upah minimum sektoral menurut saya masih diperlukan, mengingat beban kerja dan risko kerja pada sektor tertentu yang membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan dan keahlian tertentu tentu tidak sama dengan tenaga kerja dengan kererampilan rendah di sektor padat karya. Dengan pagu upah minimum yang disamakan tentu akan merugikan pekerja di sektor tertentu yang mensyaratkan kepemilikan dan keahlian tertentu. Sebagai pemimpin serikat buruh tingkat nasional , saya akan terus memperjuangkan tetap adanya Upah Minimum Sektoral Provinsi UMSP)dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota. (UMSK) Hal itu harus diperjuangkan karena tingkat kebutuhan hidup di ibukota provinsi tentu beda dengan tingkat kebutuhan hidup di kota dan di kabupaten.
- Pengurangan nilai pesangon perlu ditinjau ulang, karena nilainya menjadi lebih kecil. Apalagi jika pesangon kelak dibayarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan seluruhnya, lantas dananya berasal dari mana?
- Jumlah jam kerja, cuti, dan cuti panjang sebaiknya dikembalikan pada ketentuan UU No. 13 Tahun 2003
IV. Kepentingan Buruh yang Harus Diperjuangkan Melalui Negosiasi Dengan Stakeholder Ketenagakerjaan Lainnya (Pemerintah, Pemberi Kerja, dan Asosiasi Pemberi Kerja, dan Serikat Buruh lainnya)
- Memperjuangkan hak-hak normatif buruh menuju ke arah yang lebih baik, terutama soal status pekerja dengan membatasi batas waktu perjanjian kerja dengan waktu tertentu dan perjanjian kerja tanpa waktu tertentu. Adanya batasan waktu tersebut akan memperjelas status yang beralih dari pekerja kontrak beralih menjadi pekerja tetap. Hal serupa juga tentang status sebagai tenaga alihdaya menjadi pekerja dengan status yang lebih jelas.
- Ketentuan tentang sistem pengupahan tidak hanya mengacu pada Upah Minimum Provinsi, tetapi dikembalikan lagi pada ketentuan tentang sistem pengupahan pada UU No.13 Tahun 2003 dengan mengembalikannya pada Upah Miniimum Sektoral Tingkat Kabupaten/Kota. Dengan demkian upah minimum tidak dipukul rata seperti yang tercantum pada RUU Cipta Kerja. Karena tiap jenis pekerjaan secara sektoral memiliki kesulitan dan risiko yang berbeda.
- Mengembalikan aturan tentang jam kerja, istirahat, dan cuti pada ketentuan UU No.13 Tahun 2003
- Mengembalikan aturan pesangon dan jaminan sosial pada ketentuan UU No.13 Tahun 2003
V. Menegosisasikan Aspirasi dan Kepentingan Buruh Penolak UU Cipta Kerja dengan Anggota DPR RI Pendukung UU Cipta Kerja
- Posisi pemimpin buruh penolak UU Cipta Kerja berusaha kepentingan buruh diakomodasi dalam rumusan-rumusan pasal UU Cipta Kerja dengan tujuan kepentingan buruh terwadahi dan terakomodasi.
- Posisi anggota DPR RI pendukung UU Cipta Kerja tentu tidak hanya memikirkan kepentingan buruh semata, tetapi juga memikirkan kepentingan fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik pemerintah yang memiliki kepentingan terhadap keberlangsungan program pemerintahan yang diusung dan didukungnya berjalan lancar. Anggota DPR RI pendukung UU Cipta Kerja tentu juga memikirkan kepentingan dunia usaha. Tidak mungkin pengusaha akan membiarkan labor cost akan membebani dunia usaha. Jadi harus ada keseimbangan kepentingan yang harus diakomodasinya, kepentingan pengusaha dan kepentingan buruh secara berimbang. Selain itu banyak juga anggota DPR RI pro UU Cipta Kerja yang memiliki kepentingan bisnis atau memang berlatar belakang pengusaha.
- Negosiasi bisa dilangsungkan melalui forum resmi RDP maupun melalui lobi.
- Untuk mengimbangi Anggota DPR Pro UU Cipta Kerja, hendaknya ketua Serikat Buruh penolak UU Cipta Kerja juga mempersiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sendiri sebagai materi tandingan yang memuat kepentingan buruh secara detil sebagai bahan yang dinegosiasikan.
- Target negosiasi adalah DIM Serikat Buruh dapat diakomodasi dan dimasukkan dalam DIM Fraksi tempat anggota DPR RI tersebut berasal.
- Supaya masalah yang diperjuangkan Serikat Buruh dapat dimasukkan dalam DIM fraksi, maka komunikasi dan pengawalan terhadap kepentingan tersebut harus terus dilakukan sebagai bagian dari strategi negosiasi secara keseluruhan.
- Kontrol sebagai alat penekan dilakukan dengan memuat setiap aktivitas negosiasi di sampaikan progressnya melalui pengunggahan di media sosial, media online, dan wawancara dengan media tradisional – cetak dan siaran – secara terus menerus sampai kepentingan tersebut diakomodasi. Hal ini dimaksudkan sebagai strategi negosiasi di luar panggung yang bersifat tidak langsung tetapi berfungsi sebagai deterrent effect (efek penggentar) sehingga lawan yang bernegosiasai dapat menerima dan menyetujui usulan Serikat Buruh.
- Terus melakukan komunikasi dan pengawasan terhadap sikap Anggota DPR RI tersebut supaya dapat membawa aspirasi Serikat Buruh diakomodasi fraksi tempatnya berasal.
- Terus mengawasi akomodasi kepentingan dalam pembicaraan tingkat I dan tingkat II di DPR RI merupakan bagian tak terpisahkan dari strategi negosiasi.
Lampiran – 1
PENJABARAN UU NO. 13 TAHUN 2003 YANG MEMBAHAS SOAL HUBUNGAN KERJA
Pasal 50 Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Pasal 51 (1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Pasal 52 (1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a. kesepakatan kedua belah pihak; b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. (2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan. (3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53 Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha. Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Pasal 54 (1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat : a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; c. jabatan atau jenis pekerjaan; d. tempat pekerjaan; e. besarnya upah dan cara pembayarannya; f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. (2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. (3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 55 Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
Pasal 56 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas : a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Pasal 57 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. (3) Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
Pasal 59 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman. atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. (4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. (6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 60 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. (2) Dalam masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Pasal 61 (1) Perjanjian kerja berakhir apabila : a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. (2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. (3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hakhak pekerja/buruh. (4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri per-janjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. (5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/ buruh berhak mendapatkan hak haknya se-suai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 62 Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Pasal 63 (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. (2) Surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang kurangnya memuat keterangan : a. nama dan alamat pekerja/buruh; b. tanggal mulai bekerja; c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah.
Pasal 64 Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65 (1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pem borongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. (2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung. (3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum. (4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimak-sud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syaratsyarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. (6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. (7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59. (8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. (9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).
Pasal 66 (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Lampiran – 2
PENJABARAN PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2003 PADA RUU CIPTA KERJA YANG TERKAIT HUBUNGAN KERJA
Pasal 56 (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas: a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. (3) Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. (2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. (2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.
Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; c. pekerjaan yang bersifat musiman; d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Perjanjian kerja berakhir apabila: a. pekerja/buruh meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. selesainya suatu pekerjaan tertentu; d. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau e. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. (2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. (3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. (4) Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. (5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61A (1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh. (2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 64 dihapus.
Pasal 65 dihapus.
Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66 (1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu. (2) Pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya. (3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada. (4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 (1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana 348 dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. (3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 79 (1) Pengusaha wajib memberi: a. waktu istirahat; dan b. cuti. (2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. (4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 (1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. (3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. upah minimum; b. struktur dan skala upah; c. upah kerja lembur; d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; e. bentuk dan cara pembayaran upah; f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal 88E sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88A (1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja. (2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. (3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan. (4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. (5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. (7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. (8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam pembayaran upah. Pasal 88B (1) Upah ditetapkan berdasarkan: a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 88C (1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi. (2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. (3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. (4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. (5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi. (6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 88D (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum. (2) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 88E (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan. 351 (2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
Pasal 89 dihapus.
Pasal 90 dihapus.
Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 90A dan Pasal 90B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90A Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan. Pasal 90B (1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Kecil. (2) Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan. (3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 91 dihapus.
Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 (1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. (2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Di antara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 92A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92A Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 (1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. (2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur. (3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Pasal 96 dihapus.
Pasal 97 dihapus.
Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98 (1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan. (2) Dewan pengupahan terdiri atas unsur Pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, pakar, dan akademisi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja dewan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151 (1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. (2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. (3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. (4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Di antara Pasal 151 dan Pasal 152 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 151A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151A Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha dalam hal: a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri; b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu; c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 152 dihapus.
Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153 (1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan: a. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; b. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. menikah; e. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan; g. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; dan j. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. (2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154 dihapus.
Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 154A (1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan: a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh; b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian; c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun; d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur). e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang; f. perusahaan pailit; g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut: 1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh; 2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturutturut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu; 4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh; 5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau 6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja; h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja; i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat: 1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; 2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan 3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri; j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja 355 atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis; k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; l. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana; m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan; n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau o. pekerja/buruh meninggal dunia. (2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditetapkan alasan pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 155 dihapus.
Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 156 (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. (2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah; b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah; d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah; e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah; f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah; g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; 356 h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah; i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. (3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah; b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah; d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah; e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah; f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah; g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah; h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah. (4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja; c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 45.
Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157 (1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja terdiri atas: a. upah pokok; dan b. tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya. (2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikalikan upah sehari. (3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. (4) Dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari upah minimum, upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah upah minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan.
Di antara Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 157A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157A (1) Selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya. (2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh. (3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.
Pasal 158 dihapus.
Pasal 159 dihapus.
Ketentuan Pasal 160 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 160 (1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, pengusaha tidak wajib membayar upah, tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh lima persen) dari upah; b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh lima persen) dari upah; c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat puluh lima persen) dari upah; d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50% (lima puluh persen) dari upah. (2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. (3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud 358 pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali. (5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 161 dihapus.
Pasal 162 dihapus.
Pasal 163 dihapus.
Pasal 164 dihapus.
Pasal 165 dihapus.
Pasal 166 dihapus.
Pasal 167 dihapus.
Pasal 168 dihapus.
Pasal 169 dihapus.
Pasal 170 dihapus.
Pasal 171 dihapus.
Pasal 172 dihapus.
Pasal 184 dihapus.
Dibuat oleh Aria Bima, sebagai tugas mata kuliah ‘Negosiasi’ berperan sebagai tokoh perburuhan nasional dengan dosen pengajar Dr. Hadi Suprapto Arifin pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2020