Makalah Komunikasi Aria Bima: Kebebasan Media dalam Demokrasi Kita

Tentang kebebasan media. Dalam praktik politik dan penyelenggaraan negara modern dikenal adanya empat pilar penyangga demokrasi (four estates of democracy), yakni eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kebebasan pers. Tiga pilar pertama adalah penyelenggara negara, sedang pilar keempat (the fourth estate) adalah kebebasan pers (freedom of the press) yang menjalankan fungsi kontrol terhadap tiga pilar lainnya selaku penyelenggara negara.  Kredo tentang empat pilar penyangga demokrasi, tampaknya harus dikaji ulang karena pers dan media siaran kini bukan lagi gate keeper yang memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengendalikan arus  informasi seiring dengan dengan revolusi teknologi komunikasi dan informatika.

Kehadiran media jenis baru, utamanya yang menumpang pada saluran internet (internet mediated media) seperti media sosial dan media online yang telah menjadikan arus informasi bersliweran tanpa kendali dan tidak terbatasi ruang dan waktu maupun teritori kedaulatan suatu negara. Dan jika ada pertanyaan apakah media sekarang dalam posisi yang bebas? Pasca Reformasi, media di Indonesia memasuki masa kebebasan, bahkan ada yang menyatakan sebagai kebablasan. Pers telah mengalami deregulasi yang menjadikannya mengalami kebebasan konten berita, tidak ada lagi persbredidel alias pembredelan pers, dan kemudahan mendirikan usaha penerbitan pers juga tidak dipersulit seperti semasa rezim Orde baru yang pernah membarlakukan SIT (Surat Izin Terbit) yang dikeluarkan Departemen Penerangan, SIC (Surat Izin Cetak) yang dikeluarkan oleh penguasa perang setempat dalam hal ini Pangdam, maupun SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sebagai pengganti SIT dan SIC. Sedangkan untuk media siaran karena menggunakan frekuensi yang kapasitasnya terbatas masih diperlukan peraturan penggunaan kanal frekuensi.

Media didirikan dengan tujuan apa? Di era media sebagai industri informasi, tujuan pertama tentu mendapatkan keuntungan. Mereka yang berusaha di bidang media adalah pemburu keuntungan (profit seeker). Berikutnya tentu sebagai penghantar arus informasi, media memiliki kepentingan tersendiri. Dari sisi konten menurut jenisnya tentu memiliki ciri khasnya masing-masing. Untuk media cetak berkala antara harian, mingguan, atau bulanan tentu berbeda, baik dari sisi kedalaman dan sudut pandang (angle) yang berbeda. Begitu pula format terbitan berupa surat kabar, majalah, dan (atau) tabloid tentu juga beda. Segmentasi audience juga akan berpengaruh pada perbedaan konten dan angle berita atau informasi yang berbeda. Hal serupa juga berlaku bagi media siaran. Radio dan televisi memilik audience yang sangat segmented, baik dari sisi status sosial ekonomi, maupun usia, dan lokasi tempat tinggal – antara rural dan urban misalnya. Media cetak dan media siaran yang bersifat umum tentu berbeda format dan angle informasi dengan media yang bersifat khusus. Media cetak ada yang bersifat umum, ada yang bersifat khusus. Radio dan televisi juga memiliki segmentasi khusus sesuai dengan target audience yang dituju.

Untuk media baru seperti media sosial dan media online, mereka tidak mengenal batasan tentang waktu terbit dan waktu siaran, kapan saja bisa mengunggah informasi berita kapan saja. Media baru yang bertumpu melalui internet tidak harus dikelola oleh perusahaan atau badan usaha tertentu, tetapi  perseorangan juga bisa, dan isi konten sangat bebas.

Konten media tradisional seperti media cetak dan media siaran, memiliki ciri khusus baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus, masing-masing memiliki perbedaan dan sifat yang khusus tetapi penyajiannya bersifat ajeg secara periodik. Sementara bagi media baru yang bertumpu pada internet, konten yang disajikan sangat bervariasi  dalam spektrum yang sangat luas.

Target audience atau khalayak  sasaran memiliki kebebasan untuk memilih media apa yang disukai atau dilanggani (subscribe). Pilihan terhadap media sangat tergantung pada, literasi terhadap media dan informasi, status sosial ekonomi, interest atau minat, serta lingkungan pergaulan, dan kemampuan untuk  membayar (purchasing power parity) untuk membeli paket pulsa internet.

Soal profesionalisme pengelola media. Pertanyaan seperti itu selalu muncul dari waktu ke waktu, karena sipapun bisa berkecimpung dalam dunia jurnalistik tanpa harus melalui pendidikan khusus maupun bekal keahlian yang khusus, meski telah ada sekolah komunikasi yang membidangi jurnalisme untuk mencetak jurnalis atau pewarta profesional. Sengkarut ihwal profesi pewarta itu sampai saat ini masih menjadi masalah. Saat ini banyak pewarta yang secara instan bekerja tanpa paham prinsip dasar jurnalisme seperti cover both side, verifikasi dan konfirmasi kebenaran informasi  sebelum diturunkan menjadi berita, dan yang paling penting patuh dan menjunjung tinggi etika profesi seperti tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Masalah profesionalisme menjadi pertanyaan besar bagi media baru, seperti media sosial, dan media online. Hoaks (berita bohong), fake news (berita palsu), dan ujaran kbencian (hate speech), terus berkeliaran di dunia maya tanpa kendali. Keberadaan media baru di satu sisi bisa menjadi saluran informasi langsung oleh dan untuk warga melalui jurnalisme warga (citizen journalism), pada sisi yang lain memunculkan kabar bohong, kabar palsu, dan ujaran kebencian, maupun informasi yang bersifat abu-abu, alias informasi yang patut diragukan kebenarannya karena belum terkonfirmasi dan terverifikasi.

Ihwal audience apakah aktif dalam memilih konten media secara selektif? Jawabnya tergantung pada kepemilikan literasi informasi dan literasi media. Selain itu masalah interest atau minat seseorang terhadap sajian media. Ibu rumah tangga yang banyak berdiam di rumah tentu akan memilih stasiun televisi yang memutar serial Drama Korea ketimbang talk show politik yang sama-sama disiarkan pada jam tayang primer. Hal itu juga yang menjadikan infotainment yang sarat akan gosip artis dan selebritas banyak disirakan pada saat pagi hingga siang hari, saat para ibu rumah tangga bergelut pada kegiatan rutinnya di rumah.

Apakah konten media berpengaruh, terutama  pada perilaku audience, jawabnya memiliki pengaruh yang signifikan. Hal itu bisa ditandai melalui obrolan para ibu (women talks) tentang Drama Korea, dan gosip artis. Hal yang sama juga terlihat pada besaran pengaruh hoaks yang diamplifikasi  dan diviralisasi oleh para admin media tertentu, utamanya media sosial  dan media online dengan tujuan menghasut. Dan, hasutan itu sering ditangkap audience yang memiliki fanatisme tertentu yang berujung pada terjadinya gerakan sosial  dalam wujud demonstrasi, misalnya.

Saat ini kepemilikan media di Indonesia  terkonsentrasi pada kelompok-kelompok usaha besar tertentu. Kelompok usaha media besar tersebut mengusahakan media secara terkonsolidasi dan terintegrasi. Kelompok usaha media besar terkonsolidasi dan terintegrasi mengusahakan media secara paripurna mulai dari media cetak nasional dan koran daerah berjejaringan, jejaringan radio siaran komersial, stasiun televisi nasional dan siaran berjejaringan antardaerah, jejaringan siaran televisi berbayar internasional, e-suratkabar, situs berita online, konten vlog youtube, situs infotainment, situs belanja online.

Beberapa pemilik media memiliki afiliasi politik tertentu. Surya Paloh, pemilik Media Group adalah Ketua Umum Partai Nasdem, Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC Group adalah Ketua Umum Partai Perindo, Aburizal Bakrie pemilik Vivanews Group adalah mantan Ketua Umum Partai Golkar dan mantan menteri era SBY periode pertama. Chairul Tanjung pemilik CT Corp, mantan menteri SBY, dan SBY adalah salah satu komisaris perusahaan CT Corp, Erick Thohir, pemilik Mahaka Group, menteri Jokowi dan Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin, Dahlan Iskan, pemilik JPNN, mantan menteri SBY. Adalagi Kompas Gramedia Group (KG) dan Lippo Group pemilik stasiun televisi Berita Satu dan Harian Suara Pembaruan, Keluarga Sariatmaja pemilik Elang Mahkota Group. KG, Lippo, dan Elang Mahkota, orientasi politiknya abu=abu, meskipun bisa ditandai condong ke arah mana. Kepemilikan media oleh politisi telah melahirkan media partisan. Prinsip editorial independency acapkali kalah oleh kepentingan politik dan komersial para pemiliknya.

Dalam negara demokrasi idealnya relasi antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif berlangsung dalam mekanisme checks and balances, dan pers (baca media) menjadi alat kontrol terhadap penyelenggara negara. Pengalaman legislative heavy pada masa demokrasi konstituional (parlementarian) dan executive heavy pada masa Orde Lama dan Orde Baru terbukti menghambat konsolidasi demokrasi. Pasca Reformasi, media bisa memainkan fungsinya sebagai alat kontrol pemerintah secara efektif. Dalam kenyataannya media sering berlebihan dalam menjalankan fungsi kontrolnya.

Pada kondisi saat ini sulit rasanya membedakan antara kritik media sebagai kontrol dan serangan terhadap pemerintah dan penyelenggara negara lainnya. Banyak informasi media yang dibungkus kritik itu sebenarnya menyerang dan menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Pemberitaan informasi hoaks tentang Presiden Joko Widodo harus meminta maaf atas putusan PTUN  yang dimenangi Rachmawati Soekarnoputri terhadap PKPU tentang penetapan pemenang Pilpres yang tidak memiliki pengaruh hukum terhadap kemenangan pasangan Jokowi-Amin, dan tidak terdapat dalam amar putusan perkaranya, tetapi diberitakan oleh 19 situs media online besar tanpa check and recheck serta verifikasi dan konfirmasi kebenaran informasi. Oleh karenanya  19 situs media online dijatuhi sanksi Dewan Pers. Tindakan ceroboh tersebut tentu dapat menurunkan kredibilitas media sekaligus kelompok media besar tempat situs-situs online tersebut bernaung.

Dibuat oleh Aria Bima sebagai Tugas Kuliah ‘Kajian Media dan Politik’ dengan Dosen Pengajar Dr. Erni Maryani, Dr. Dadang Rahmat Hidayat, Kunto Adi Wibowo PhD pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *