Kadar hubungan Mas Gibran dengan Pak Prabowo tak lepas dari statusnya sebagai pembantu Presiden Jokowi, yang mengerjakan banyak hal kinerja Pak Jokowi. Di sisi lain, kehebatan Mas Wali Kota Gibran mampu menavigasi hubungan para pembantu Presiden saat hadir di Solo. Apalagi Solo saat ini menjadi episentrum ekonomi, kuliner, dan lain-lain. Hampir semua tokoh ingin dekat dengan Gibran, yang sangat smart dan wise dalam menerima tamu-tamunya.
Ada komunikasi politik gaya milenial yang dibangun Mas Gibran, tapi terkait sikap partai dalam posisinya sebagai kader partai dan wali kota, saya yakin akan tetap tegak lurus pada partai. Kepada setiap tokoh politik, Gibran berlaku smart dan teduh, misalnya kepada Ketua Umum Partai Golkar, PKB, dan bahkan sempat menyatakan bahwa Ibas Yudhoyono sebagai idolanya. Itu adalah lompatan-lompatan yang tak biasa bagi generasi seperti saya.
Saya kenal betul dengan Mas Wali. Dua pekan lalu ngobrol sejam berdua dan ia punya kemampuan untuk mendengarkan, baik soal politik, ideologis, kebudayaan, kesenian, hingga pengembangan Solo ke depan. Jadi, saya tak melihat pertemuan Gibran-Prabowo dikalkulasi secara politis. Justru aneh kalau Prabowo ke Solo tak bertemu dengan Mas Wali.
Gaya politik Solo itu secara prinsip jelas mana yang prinsip dan tidak prinsip, teguh dalam prinsip dan luwes dalam penampilan cukup mengecohkan kalau dianalisis dengan situasi konten dan konteks saat ini. Pertemuan dua tokoh ini tak bisa dimaknai terlalu jauh. Namanya Politik itu selalu terbuka pada semua kemungkinan, tapi seberapa besar kemugkinan itu terjadi? Bagaimanapun, karena DNA dan darahnya Pak Jokowi dan Gibran itu “darah merah”.