Program Inspirasi Sahur Badan Kebudayaan Nasional PDI Perjuangan Episode 24 Buku Lahirnya Pancasila| Dr. Sukidi.
Ada hal yang berbeda dalam pembahasan buku-buku bersejarah pada Inspirasi Sahur Ramadan Badan Kebudayaan Nasional PDI Perjuangan Episode 24, Sabtu, 15 April 2023. Secara khusus, pemikir kebangsaan Sukidi membedah buku ‘Lahirnya Pancasila’ bersama Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari, puteri Ketua DPR RI Puan Maharani yang lulusan International Relations and Affairs SOAS University of London.
Sukidi memaparkan, dalam buku ini kita memperoleh pandangan brilian tentang konsep negara itu sendiri. Pertama-tama memang kemerdekaan memiliki makna sebagai kemerdekaan politik (politic independence), bahwa Indonesia terbebas dari kolonialisme, tetapi kemudian Bung Karno menyampaikan pikiran tentang negara yang masih relevan akhir-akhir ini.
“Bung Karno memberikan spirit bahwa negara Indonesia bukanlah negara untuk satu orang. Bukan negara untuk satu golongan, misalnya golongan kaya saja. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu,” kata Sukidi.
Pidato 1 Juni 1945 merupakan pandangan sangat brilian dan maju, karena Bung Karno memberkan penekanan bahwa negara Indonesia didirikan untuk semua golongan. Sebuah pandangan yang sangat inklusif, universal dan mengandung prinsip kesetaraan, sehingga menjadi satu kesatuan yang solid dan kokoh.
“Kita mampu bertahan sebagai bangsa terutama karena fondasi yang diletakkan oleh Bung Karno dengan gagasan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kekal dan abadi berdasarkan Pancasila,” kata intelektual muda Muhammadiyah ini. Pancasila itu menjadi pilar bangsa, dasar negara, ideologi negara, pandangan hidup bangsa, dan bintang penuntun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Doktor lulusan Harvard University ini menguraikan bahwa prinsip yang Bung Karno ingin letakkan dalam konteks negara yang kekal dan abadi berdasarkan Pancasila adalah prinsip ketuhanan. “Karena itu, Bung Karno seringkali menyebut bahwa negara yang Ia inginkan adalah Negara Berketuhanan. Kesadaran bahwa Tuhan selalu hadir dan berpihak untuk kemerdekaan Indonesia mendarah daging pada diri Bung Karno, seorang yang religius taat dan juga nasionalis sejati.” Ungkapnya.
Sukidi menekankan, ketuhanan yang dimaknai oleh presiden pertama Republik Indonesia ini bukan ketuhanan eksklusif, melainkan ketuhanan yang lapang, yang dapat menampung semua masyarakat Indonesia untuk menghayati Tuhan sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Dalam Negara Berketuhanan ini, prinsip yang ingin diletakkan Bung Karno yakni ‘mutual respect’, yaitu sikap saling menghormati satu sama lain.
“Dalam pidatonya, Bung Karno menyampaikan hendaknya yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Almasih, yang Islam menyembah Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad, orang Budha menjalankan agama menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tapi marilah semua kita bertuhan. Hendaklah Negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa,” ujar Sukidi. Leluasa yang dimaksud Bung Karno yakni mengandung makna lapang, kebebasan, mengandung spirit yang inklusif, yang menampung sikap untuk saling memberikan penghormatan satu sama lain, karena berangkat dari satu kesadaran bahwa kita semua adalah setara.
Bung Karno berangkat dari pemikiran ‘we are all equal’, adanya prinsip kesetaraan antar umat manusia. Penghormatan yang dilakukan Bung Karno kepada mereka yang berbeda paham, etnis, suku, dan bangsa kita karena kita adalah sesama manusia yang memiliki dignity, kehormatan, dan sebagai makhluk Tuhan yang layak untuk dihormati secara setara. Prinsip kesetaraan antar umat manusia merupakan pegangan Bung Karno, sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 yang menyebutkan bahwa kita diciptakan bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling mengenal satu sama lain.
“Itulah sebabnya Bung Karno memberikan respek kepada siapapun,” kata pemilik gelar master dua gelar master, yakni master of the art (M.A) dari Ohio University (2004) dan master of theological studies (M.T.S) dari Harvard Divinity School, Harvard University, (2006).
Bung Karno juga mengajarkan, dalam beragama kita harus berpegang teguh pada etika kerendahan hati. Hal inilah yang dapat membuka kesadaran semua orang bahwa semua orang setara dan dapat menumbuhkan sikap saling menghormati satu sama lain. Saling menghargai juga terlihat dari spirit toleransi yang juga diajarkan oleh Bung Karno. “Kala negara diwarnai praktik-praktik intoleransi, kita perlu menengok kembali ajaran Bung Karno bahwa cara terbaik untuk merawat kesetaraan itu dengan memberikan respek setara satu sama lain,” jelasnya.
Tak hanya berpidato, Bung Karno menunjukan sikap saling menghormati dalam kehidupan yang ditunjukkan melalui pergaulan lintas agama, bahkan hingga mancanegara. Sikap itu tergambar dari keris milik Bung Karno yang hingga kini tersimpan rapi di Museum John F. Kennedy di Boston sebagai bentuk penghormatan keluarga Kennedy terhadap persahabatan begitu dekat antara Bung Karno dan JFK.
Satu prinsip lagi dari Bung Karno yang masih relevan untuk kehidupan berbangsa saat ini yakni ‘social justice for all’, keadilan untuk semuanya. “Saat menghadapi jutaan rakyat miskin, stunting, dan kekurangan gizi, di sinilah kita harus kembali menjiwai, mempraktikkan, dan menunaikan ajaran untuk membela kaum miskn, fakir, dan mereka yang tak seberuntung masyakarat lain. Jadi, sebenarnya Bung Karno sudah mengantisipasi apa yang kemudian terjadi sekarang,” kata anak petani asal Sragen, Jawa Tengah ini.
Akhirnya, Sukidi mengulang pidato Bung Karno, “Apakah negara ini untuk kaum kapital atau mereka yang punya modal besar saja? Tidak. Negara ini untuk semua rakyat Indonesia!”
Ia menegaskan, semua sama di mata negara, semua sama di mata Bung Karno. “Kesetaraan itu harus dijunjung tinggi. Bahwa kita semua diciptakan setara, memperoleh hak yang setara, dan karena itu berhak diperlakukan secara adil dan setara,” pungkasnya.
Selengkapnya di