Independensi media merupakan masalah yang sering dibicarakan dalam berbagai forum mulai dari tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional. Independensi – yang pernah menjadi semacam keramat – bagi media kini banyak dipertanyakan keberadaannya. Hal itu tidak terlepas dari kemajuan pesat teknologi komunikasi dan informatika. Kemajuan teknologi komunikasi dan informatika telah mengantar media tradisional – cetak dan siran – memasuki masa senjakala dan keberadaan media baru yang menumpang pada internet yang tumbuh seperti pembiakan virus yang tak terbendung. Ketika media jenis baru seperti media online dan media sosial tumbuh pesat, problema independensi bagi media menjadi semakin kompleks.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam peringatan Hari Pers Nasional 2018 di Padang, mengungkapkan data tentang situasi dan kondisi media massa. Indonesia merupakan negara dengan jumlah media massa terbesar di dunia, yakni berada pada kisaran 47.000. Dari 47.000 media massa tersebut, terdapat 2100 media cetak, 674 radio, 523 televisi (nasional dan lokal sisanya adalah media dalam jaringan (daring)). Artinya terdapat kurang lebih 43.000 media daring. Dari sekitar 43.000 media daring tersebut hanya 164 yang profesional (tempo.co, 10 Februari 2018). Dalam kesempatan itu Prasetyo juga mengungkapkan di antara sekitar 47.000 media massa, hanya terdapat 14.000an wartawan yang memiliki kompetensi yang tersertifikasi.
Data tersebut menunjukkan bahwa situasi dan kondisi media massa di Indonesia sebagian besar dikelola secara tidak profesional – utamanya media daring yang menumpang pada saluran intenet. Ketidakprofesionalan media tersebut berimbas pada hal yang paling pokok pada sendi manajemen redaksi media massa, yakni profesionalisme. Esensi independensi merupakan roh dari 9+1 elemen jurnalisme Bill Kovach dan Tom Rosentiel (Kovach dan Rosentiel, 2007). Selain independensi, kebenaran dan kesahihan informasi merupakan hal yang harus menjadi etos kerja pewarta. Oleh karenanya verifikasi dan konfirmasi akan kesahihan informasi harus menjadi jaminan sebelum diturunkan menjadi berita.
Masalah profesionalisme, independensi manajemen berita, dan pewarta, serta kesahihan informasi yang disajikan, telah menjadikan media massa – utamanya media daring yang tidak profesional – menjadi kanal bebas tanpa hambatan bagi penyebaran hoaks, berita palsu,ujaran kebencian, serta menjadi alat propaganda yang efektif bagi kelompok atau golongan tertentu.
Independensi pers (media) selalu dikaitkan dengan politik dan kekuasaan. Oleh karenanya pers yang bebas dan independen dikatakan sebagai pilar keempat demokrasi, bersama tiga pilar demokrasi yakni, eksektif, legislatif, dan yudikatif. Dalam konteks Indonesia, ihwal kebebasan pers mengalami pergeseran makna tergantung dari sudut mana kita memandangnya.
Tafsir pers yang independen di masa penjajahan tentu sangat berbeda, bila ditinjau dari kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun sudut pandang para pejuang yang mulai melakukan rintisan dalam rangka meretas jalan menuju kemerdekaan, Sikap non kooperatif para pejuang tentu dianggap sebagai pengganggu bagi pemegang otoritas kekuasaan kolonial, sementara bagi para pejuang hal itu disebut sebagai sikap mandiri, merdeka, dan independen. Untuk mengurangi serangan dari kalangan pejuang melalui artikel dalam pers, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberlakukan persbreidel dan pasal tentang hatzaai artikelen (penghinaan terhadap penguasa).
Ketika dalam pendudukan militer Jepang, terjadi kontrol ketat terhadap pers dan radio. Isi pemberitaan pers lebih digunakan sebagai propaganda kepentingan Jepang dalam Perang Pasifik. Kontrol terhadap pesawat penerima radio dilakukan dengan menyegel gelombang, supaya siaran media dari negara-negara Sekutu tidak bisa ditangkap. Dengan demikian arus informasi melalui media massa dapat dikendalikan.
Pada awal kemerdekaan hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dunia pers di Indonesia diwarnai dengan pers partisan. Seluruh partai politik memiliki surat kabar afiliasi yang menjadi mengafone untuk mengamplifikasi kepentingan politiknya. Meskipun bukan merupakan organ politik partai secara langsung, tetapi sudah menjadi rahasia umum bila Suluh Indonesia adalah corong politik PNI, Abadi adalah corong politik Masyumi, begitu pula Duta Masyarakat bagi NU, dan Harian Rakyat bagi PKI. Hal serupa juga berlaku bagi Pedoman dan Indonesia Raya selalu menyampaikan haluan politik Partai Sosialis Indonesia (PSI), walaupun Rosihan Awar dan Mochtar Lubis selaku pemilik-pemiliknya tidak pernah akur.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, pers partisan masih berjalan, tetapi dibayang-bayangi ketentuan tentang pembredelan dan UU Antisubversif. Masa awal Orde Baru, pers dikontrol dengan ketat serta campur tangan militer secara langsung. Untuk dapat terbit dan beredar, setiap surat kabar harus memiliki Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetakk (SIC) yang dikeluarkan oleh penguasa militer setempat, dalam hal ini Pangdam selaku Laksus Pangkopkamtibda.
Ketika peran militer dalam urusan izin cetak dihapus, pemerintah Orde Baru memberlakukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dengan syarat-sayarat yang berat, sehingga hanya mereka yang bermodal kuat saja yang mampu mengusahakan penerbitan pers. Keberadaan SIUPP menjadi tonggak media memasuki era industri. Dalam era industri, memang tidak ada pembredelan pers, tetapi penabutan SIUPP merupakan pembunuhan pers yang hakikatnya sama dengan pembredelan. Hal itu pernah dialami oleh Tempo, Editor, dan Detik yang mati karena dicabut SIUPPnya.
Sesuai dengan amanat Reformasi, pemerintahan Presiden BJ Habibie memberlakukan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan dan independensi pers. Dalam UU tersebut diatur tentang keberadaan Dewan Pers yang sama sekali berbeda dengan Dewan Pers pada masa Orde Baru. Dewan Pers menurut UU No. 40 tahun 1999 adalah lembaga negara yang mengatur dan bertanggungjawab tentang penyelenggaraan pers. Untuk menjamin kebebasan dan independensi, pers memiliki tiga hak istimewa yakni, hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ merupakan rambu-rambu yang mengatur kerja pewarta supaya bekerja secara profesional dan bertanggungjawab.
Menurut Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, independensi dalam jurnalisme di era demokrasi adalah memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan hati Nurani, tanpa campurtangan orang lain. Media yang independen adalah media yang mandiri, merdeka, dan tidak tergantung kepada pihak manapun, serta memiliki sikap mandiri dalam mempertahankan kebenaran. Independensi dilihat mendekati hal-hal yang bersifat faktual. Kebenaran jurnalistik bukan bersifat faktual, tetapi fungsional (Tempo Media Week, 2016).
Dalam praktik, independensi media sering terhambat pada tiga hal, yakni kemampuan untuk menjaga jarak dengan kekuasaan, netral dalam pemberitaan, dan mandiri terhadap tekanan dan kehendak pemilik modal. Tiga hal tersebut merupakan kelindan masalah yang memiliki imbas terhadap hal yang terkait dengan ekonomi dan politik. Hal itu diperkuat dengan kcenderungan kepemilikan media oleh para politisi atau mereka yang memiliki afiliasi politik tertentu. Sulit rasanya bagi redaksi untuk memertahankan editorial independency tanpa mengindahkan kepentingan ekonomi dan politik para juragan media.
Saat ini tercatat ada tiga kelompok usaha media raksasa yang dimiliki oleh para politisi. Media Group dimiliki Surya Paloh, ketua umum Partai Nasdem, Vivanews Group dimiliki Aburizal Bakrie, politisi dan mantan ketua umum Partai Golkar, CT Corp dimiliki oleh Chairul Tandjung, meski bukan politisi tetapi memiliki kedekatan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI keenam yang juga menjadi komisaris utama salah satu usaha dalam CT Corp. Usaha yang dimiliki para politisi tersebut adalah usaha media terkonsolidasi secara paripurna, mulai dari media tradisional cetak dan siaran, hingga media daring berupa media online, hingga situs jual-beli online.
Independensi Media dan Perebutan Kekuasaan
Di negara demokrasi, perebutan kekuasaan secara damai diatur sedemikian rupa secara berkala melalui pemilu. Pemilu dilakukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat (legislatif) – baik untuk tingkat daerah maupun nasional – dan memiliki kepala eksekutif penyelenggara pemerintahan, untuk Indonesia mulai dari presiden hingga kepala daerah (gubernur, bupati/walikota).
Dalam penyelenggaraan pemilu, peranan media sangat vital mulai dari saat pencalonan, kampanye, hingga hasil penghitungan suara yang menentukan siapa yang bakal menjadi pemenangnya. Pemanfaatan media dalam pemilu pasca runtuhnya Orde Baru, 1999,2004, 2009, 2014, dan 2019 untuk mendongkrak popularitas telah menjadi hal yang lumrah di era kebebasan pers (media).
Dibanding dengan pemilihan anggota lembaga perwakilan rakyat, pemilihan presiden lebih mendapat perhatian dari masyarakat. Pemilihan presiden mendapat perhatian yang lebih karena akan mengerucut pada satu individu sebagai pemenang yang akan menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan. Pemanfaatan media dalam kampanye menjadi vital karena menjadi arena praktik politik dalam rangka menggalang dukungan untuk menambah perolehan suara supaya dapat memenangi kontestasi pemilu. Keberhasilan pemenangan pemilu tidak terlepas dari campur tangan media (Louw, 2005).
Menjaga independensi dalam pemberitaan ihwal pemilu merupakan hal sulit dipenuhi oleh media, apalagi saat fenomena konsentrasi kepemilikan media berada di tangan para politisi, dan pengusaha yang dekat dengan kekuatan politik tertentu. Selain media resmi – tradisional dan daring – yang merupakan produk jurnalisme profesional sampai dengan produk pseudo jurnalisme. Kasus tabloid Obor Rakyat pada Pilpres 2014, membuktikan bahwa produk pseudo jurnalisme yang sangat tidak profesional merupakan produk kampanye hitam yang pernah terjadi di erah demokrasi dan keterbukaan. Isi tabloid Obor Rakyat adalah hoaks, berita palsu, ujaran kebencian, dan hasutan.
Di era digital, pemanfaatan media tradisional, terutama cetak mulai berkurang. Hal itu terjadi karena masalah sirkulasi dengan jaungkauan yang terbatas, serta kehangatan isu yang disajikan kalah dengan media daring. Sedangkan televisi masih mendapat porsi yang lumayan karena debat antarkandidat disiarkan melalui televisi.
Pengawasan terhadap independensi media daring profesional seperti media online masih bisa dilakukan, sehingga bila terjadi complain atau sengketa terkait dengan pemberitaannya bisa diselesaikan melalui mediasi Dewan Pers. Masalah akan menjadi pelik terkait dengan konten yang berisi tentang hoaks, berita palsu, ujaran kebencian, dan hasutan melalui media sosial. Sesuai dengan sifatnya yang merupakan percakapan sosial antarpribadi melalui dunia siber, sudah barang tentu tidak mengenal apa yang disebut independensi media dan tanggung jawab atas konten terletak pada individu pemilik akun.
Perang tweet terjadi pada platform Twitter yang menjadi tagar trending topics sering diikuti oleh media online dan media tradisional untuk dijadikan headline atau kepala berita. Meski tidak seintens Twitter, arus informasi yang berisi informasi negatif juga mengalir melalui Facebook,Instagram dan YouTube. Yang paling sulit diawasi keberadaannya adalah informasi negatif yang mengarah pada propaganda yang disebar melalui platform tertutup seperti WAG. Hal seperti itu sangat mengganggu bagi kelangsungan demokrasi.
Perang informasi negatif tersebut telah melahrkan julukan-julukan baru di dunia siber seperti influencer (pemengaruh), buzzer (pendengung atau pembising), dan Social Justice Warrior (SJW) julukan pendekar keadilan sosial memiliki konotasi pejoratif bagi mereka yang seolah-olah menjadi pejuang bagi kepentingan tertentu. Para pembuat konten negatif dalam media sosial dapat dijerat melalui UU ITE. UU ITE akan sulit diterapkan apabila pembuat konten tidak berlokasi dalam wilayah Indonesia – baik oleh WNI maupun WNA.
Dibuat oleh Aria Bima, sebagai tugas mata kuliah ‘Orientasi Politik Media’ dengan dosen pengajar Dr. Dadang Rahmat Hidayat, S.Sos., S.H., M.Si pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2020
Referensi
Kovach, Bill. & Rosentiel, Tom. 2007. The Elements of Journalism, What Newspeople Should Now and the Public Should Expect. New York : Crown Publisher.
_________________________. 2012. BLUR : Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi. Jakarta : Dewan Pers dan Yayasan Pantau.
Louw. Eric, P. 2005. The Media and The Political Process. London : SAGE Publication.
Yuniar, Ririt. 2019. Pilpres dan Jurnalistik Hitam Putih. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Berita
tempo.co. 10 Februari 2018
Tempo Media Week 2016. Seminar Inovasi dan Independensi Media di Era Digital, Jakarta 18 Mei 2016
Hukum dan Perundang-undangan
UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers