Perencanaan dan Strategi Komunikasi dalam Proses Pengambilan Keputusan di DPR RI : Tinjauan terhadap Proses Komunikasi Politik dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang
Komunikasi politik dalam proses pembahasan RUU sampai dengan pengambilan keputusan pengesahannya menjadi UU membutuhkan proses yang panjang yang tidak selamanya berjalan secara lancar. Benturan kepentingan dari para pihak bukan hal yang mustahil. Proses pembahasan UU sejatinya merupakan wujud dari komunikasi negosiasi multipihak yang terdiri dari Presiden selaku pemerintah – dalam hal ini diwakili menteri terkait atau pejabat lain yang ditunjuk – fraksi-fraksi sebagai representasi kekuatan politik di DPR, dan para pemangku kepentingan terkait lainnya. Upaya setiap fraksi supaya kepengannya diakomodasi dalam ketentuan dan pasal-pasal dalam UU yang dibahas membutuhkan keandalan strategi komunikasi politik.
Institusi negara maupun yang berbasis masyarakat bekerja untuk memperoleh capaian atau target pada kurun waktu tertentu guna mencapai tujuan (goal) final yang hendak dicapai pada saat masa tugasnya berakhir. Hal itu juga terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yang masa tugasnya selama lima tahun. Dalam upaya mencapai tujuan akhir perlu dirancang strategi berikut pentahapannya. Dalam menjalani tugas dan fungsinya, sudah barang tentu DPR RI yang “turun mesin” sekali dalam lima tahun itu memiliki tujuan akhir. Sebagai lembaga negara yang semua anggotanya berasal dari partai politik yang terplih melalui pemilu, menetapkan tujuan yang disepakati bersama tentu bukan perkara mudah. Untuk itu diperlukan musyawarah mufakat untuk menyetujui keputusan, bila hal itu sulit dilakukan, keputusan berdasarkan suara terbanyak perlu diambil – sesuai dengan kaidah demokrasi.
Perlu komunikasi yang intens untuk mencapai kesepakatan bersama dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang intens itu bisa terjadi melalui debat dalam rapat, komunikasi antarpribadi sesama anggota – baik dalam fraksi maupun lintas fraksi – maupun komunikasi kelompok dengan berbagai unsur internal DPR RI, mapun dengan berbagai pemangku kepentingan terkait, termasuk yang berasal dari luar DPR RI. Sosialisasi sikap partai melalui fraksi di DPR RI acap kali diamplifikasi melalui komunikasi publik, seperti melalui talkshow televisi, radio podcast, belakangan juga populer podcast melalui aplikasi YouTube, maupun komunikasi massa dalam acara nasional memeringati hari-hari besar tertentu – baik hari besar nasional maupun hari besar keagamaan. Komunikasi yang terjadi di seputaran DPR RI bisa dikelompokkan sebagai komunikasi politik, karena pelakunya adalah aktor politik, institusi DPR juga representasi kekuatan-kekuatan politik, dari materi pembicaraan di dalamnya juga terkait langsung atau tidak langsung dengan politik.
Komunikasi yang baik akan membuat pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Sebaliknya, sistem komunikasi yang kurang tertata dan terprogram dengan baik akan berdampak terjadinya komunikasi yang riuh-rendah dan bising (noisy). Komunikasi politik yang kurang baik akan berdampakpada kegaduhan politik. Hal-hal yang seharusnya terselesaikan dengan baik di dalam ruang rapat, acapkali meLuber keluar dan menjadi bola liar konsumsi publik.
Atas dasar pertimbangan itu, dalam mengendalikan komunikasi di ruang rapat di DPR RI, setiap fraksi perlu membekali kemahiran berkomunikasi bagi para anggotanya sebelum menjalani tugas sebagai wakil rakyat. Selain itu setiap fraksi harus menyiapkan beberapa alternatif strategi komunikasi, mengingat setiap isu yang dibahas dalam rapat memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya setiap pembahasan isu membutuhkan strategi yang bersifat khusus.
Strategi yang berbeda-beda dibutuhkan karena sikap partai terhadap isu yang berbeda sangat mungkin juga berberda. Untuk itu setiap kali fraksi harus menyusun strategi khusus yang hanya digunakan satu isu tertentu, untuk isu atau kasus yang lain dibutuhkan strategi yang berbeda lagi. Dengan kata lain, strategi komunikasi setiap fraksi dalam membahas isu atau kasus itu bersifat tailored made dan belum tentu kompatibel sebagai strategi komunikasi dalam membahas isu atau kasus yang lainnya. Meskipun strategi komunikasi yang dipakai berbeda-beda, tetapi tetap tidak boleh melenceng dari garis perjuangan partai. Paling tidak itu yang berlaku bagi anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan.
Meski kedaulatan berada di tangan anggota, setiap anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan diikat oleh ideologi, garis perjuangan partai, dan disiplin organisasi. Tiga hal tersebut merupakan pedoman yang harus dipenuhi oleh setiap anggota DPR RI yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan, dan tidak boleh dilangkahi atau dilanggar. Semua anggota Dewan memiliki kedudukan yang setara. Ketua DPR RI dan seluruh unsur pimpinan bukan atasan bagi anggota, Pimpinan DPR RI adalah juru bicara tentang produk, kebijakan, dan kinerja lembaga perwakilan rakyat tersebut. Hubungan yang bersifat hirarkis berada dalam tubuh masing-masing fraksi. Fraksi adalah kepanjangan tangan partai politik. Fraksi adalah dirigen orkestrasi para anggotanya dalam menyuarakan kepentingan yang diperjuangkan partai politik tempat para anggota Dewan bergabung sebagai kader-kadernya. Meski anggota DPR memiliki keadualatan, tetapi sebagai anggota fraksi, yang bersangkutan harus patuh terhadap kebijakan yang telah digariskan fraksi.
Untuk mencapai tujuan, tentu saja diberlakukan prinsip GPA (Goal, Plan, Action) seperti yang yang dikemukakan Dillard (Dillard, 2004). Artinya tujuan tersebut akan dicapai melalui perencanaan, dan diwujudkan dalam indakan atau aksi. Salah satu perencaan strategis yang menjadi peretas jalan untuk mencapai tujuan adalah melalui perencanaan komunikasi yang dalam praktik dilaksanakan ole para anggota Dewan, tentu saja sesuai dengan penugasannya di Komisi, dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) lainnya.
Sesuai dengan asal kata parlemen yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani parle’ yang artinya bicara, maka sudah menjadi kewajiban bagi anggota Dewan untuk berbicara. Para anggota Dewan memang bekerja untuk menyuarakan kepentingan rakyat melalui partai politik. Hal itu berarti bahwa hampir seluruh pekerjaan anggota Dewan adalah berkomunikasi Komunikasi dalam arti menegosiasikan kepentingan masing-masing fraksi. Dalam negosisasi, para pihak yang terlibat berupaya mempertahankan aspirasi dan kepentingannya untuk dijadikan kepentingan bersama.
Saya adalah sedikit di antara anggota DPR RI pasca Reformasi yang memiliki pengalaman panjang. Saya terpilih sebagai anggota DPR RI selama empat pemilu berturut-turut, yakni Pemilu 204, 2009,2014, 2019. Dalam DPR RI periode 2019 – 2024, saya memasuki masa bakti keempat sebagai anggotanya. Sebagai anggota DPR RI, saya pernah menjadi bagian dari opisisi selama 10 tahun, dan pendukung pemerintah dari 2014 hingga saat ini. Saya ingin membagikan pengalaman dalam berkomunikasi dalam berbagai macam rapat di DPR RI – baik ketika berada menjadi oposisi selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, maupun enam tahun terakhir ketika menjadi bagian dari pengusung dan pendukung pemerintahan Joko Widodo.
Fungsi DPR dalam Sistem Kenegaraan
Fungsi DPR I sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut,
- Pasal 20A
- DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
- Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
- Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal ian UUD ini, setiap anggota DPR mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
- Ketentuan lebih lanjut tentang hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Untuk melaksanakan amanat konstitusi tentang lembaga rakyat, jabaran tentang tugas pokok dan fungsi, serta hak dan kewajibannya, diatur melalui UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD juncto UU No. 42 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No. 17 Tahun 2014, juncto UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua terhadap UU No, 17 Tahun 2014, juncto UU No. 13 tentang Perubahan Ketiga terhadap UU No. 17 Tahun 2014. Selanjutnya ketentuan dalam UU No 17 Tahun 2014 beserta perubahan-perubahannya dijabarkan dalam Peraturan Tata Tertib DPR RI Tahun 2019.
Tugas dan wewenang DPR RI adalah sebagai berikut :
Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang:
- Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
- Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
- Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah)
- Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD
- Menetapkan UU bersama dengan Presiden
- Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU
Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang:
- Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden)
- Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama
- Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK
- Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara maupun terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara
Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah
- Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama)
Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:
- Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat
- Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk: (1) menyatakan perang ataupun membuat perdamaian dengan Negara lain; (2) mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial.
- Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal: (1) pemberian amnesti dan abolisi; (2) mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar lain
- Memilih Anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD
- Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung yang akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden
- Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk selanjutnya diajukan ke Presiden
Selain fungsi, DPR juga memiliki hak antara lain:
1. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3. Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
- kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
- tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau
- dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam menjalankan tugas, setiap anggota DPR memiliki hak dan kewajiban, antara lain:
Hak Anggota DPR terdiri dari:
- hak mengajukan usul rancangan undang-undang;
- hak mengajukan pertanyaan;
- hak menyampaikan usul dan pendapat;
- hak memilih dan dipilih;
- hak membela diri;
- hak imunitas;
- hak protokoler;
- hak keuangan dan administratif;
- hak pengawasan;
- hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan dapil;
- hak melakukan sosialisasi undang-undang.
Kewajiban Anggota DPR adalah:
- memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
- melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
- mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
- memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
- menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
- menaati tata tertib dan kode etik;
- menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
- menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
- menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
- memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Implementasi tugas DPR dijalani melalui berbagai jenis rapat. Jenis rapat di DPR seperti yang diatur dalam Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib pasal 2355 adalah sebagai berikut:
- Rapat paripurna
- Rapat paripurna luar biasa
- Rapat pimpinan DPR
- Rapat konsultasi
- Rapat Bamus
- Rapat komisi
- Rapat gabungan komisi
- Rapat Baleg
- Rapat Badan Anggaran
- Rapat BAKN
- Rapat BKSAP
- Rapat MKD
- Rapat pansus
- Rapat panja
- Rapat kerja
- Rapat dengar pendapat
- Rapat dengar pendapat umum
- Rapat fraksi.
Kekuatan dan Posisi Politik di DPR
Agregasi kepentingan setiap fraksi disampaikan dalam rapat-rapat, dan disampaikan melalui pembicaraan para anggotanya masing-masing. Perjuangan kepentingan untuk mencapai tujuan menjadi strategi komunikasi dari masing-masing fraksi.
Dalam sistem presidensial seharusnya tidak ada kubu pemerintah dan kubu oposisi, sebagaimana layaknya yang berlaku di negara-negara parlementarian. Sistem presidensial tetapi dengan sistem multipartai yang kompleks atau ekstrim seperti yang berlaku di Indonesia pasca 1998 sebenarnya bukan padanan yang komplementer. Padanan sistem presidensial adalah sistem dwipartai, atau multipartai sederhana. Oleh karenanya, dalam sistem presidensial yang telah mapan seperti yang berlaku di AS, tidak dikenal adanya oposisi, tetapi kelompok dengan kepemilikan kursi mayoritas dan kelompok dengan kepemilikan kursi minoritas – baik di DPR maupun Senat. Adakalanya partai tempat presiden berbeda dengan mayoritas kursi di lembaga perwakilan rakyat, sehingga terjadi kohabitasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Dalam sistem presidensial yang mapan seperti di AS, berlaku bipartisanisme, sehingga Presiden bisa memilih menteri yang berasal dari kubu seberang. Sedangkan apa yang terjadi di Indonesia bisa dianggap sebagai anomali presidensialisme, terkait dengan dengan multipartai yang kompleks. Sebagai akibatnya di DPR terjadi pembelahan kekuatan antara kelompok partai pendukung pemerintah dan kubu yang berada di luar pemerintahan atau populer sebagai kubu oposisi. Dalam sistem presidensial, pemerintah tidak bertanggungjawab kepada parlemen, sehingga kubu oposisi tidak bisa menjatuhkan presiden sebelum masa jabatannya berakhir. Pemakzulan presiden juga bukan bukan perkara yang mudah, karena membutuhkan prosedur yang rumit menuju terselenggaranya Sidang Istimewa MPR dengan agenda khusus pemberhentian jabatan presiden.
Karena sistem yang tidak komplenter tersebut, sering terjadi kebisingan komunikasi politik (political communication noisy) yang berawal dari masalah-masalah yang bersifat sepele. Jumlah halaman yang berbeda-beda dari RUU Cipta Kerja lebih disoal dan menggema di media tradsional dan media baru, ketimbang hal-hal yang bersifat substantial tentang terobosan investasi dan pemberdayaan posisi tenaga kerja. Kubu oposisi di DPR memupuk resistensi terhadap UU Cipta Kerja di masyarakat yang berimbas terjadinya demo penolakannya yang meluas dan berujung pada anakrisme di ibukota dan beberapa daerah. Dengan memanfaatkan peringatan terhadap hari penting dan bersejarah, demo penolakan terhadap UU Cipta Kerja terus terjadi.
Sebagai partai senior yang memiliki jam terbang panjang, baik ketika menjadi kelompok pengusung dan pendukung pemerintahan maupun ketika berada di luar pemerintahan, PDI Perjuangan selalu konsisten sebagai partai nasionalis yang ideologis dengan karakter petarung. Sebagai partai nasionalis ideologis, ketika berada di kubu yang berada di luar pemerintah selama kurun waktu 2004 – 2009 dan 2009 – 2014, PDI Perjuangan memainkan peran sebagai oposisi secara konstruktif dan sebagai oposisi yang loyal terhadap keutuhan bangsa dan negara, serta tidak pernah sedikitpun untuk berupaya menggoyang-goyang kekuasaan. PDI Perjuangan konsisten berjuang untuk dapat meraih kekuasaan dalam koridor konstitusional secara demokratis dengan cara memenangi pemilu yang terselenggara secara relatif jujur dan adil. Meskipun ketika memenangi Pemilu 2014, PDI Perjuangan tidak dapat menempatkan kadernya untuk duduk sebagai Ketua DPR maupun ketua dan unsur pimpinan AKD, karena ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat secara tidak proper dan cacat demokratis. Belakangan dilakukan tiga kali perubahan terhadap UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, guna mengakomodasi unsur PDI Perjuangan dalam unsur pimpinan Dewan dan pimpinan AKD.
Pengalaman sebagai “oposisi” selama 10 tahun dan sejak 2014 hingga saat ini sebagai partai pengusung dan pendukung pemerintah, telah menjadikan PDI Perjuangan sebagai kekuatan politik yang tidak hanya besar, matang, tetapi juga solid. Pengalaman panjang sebagai bagian dari PDI Perjuangan di DPR RI, terutama dalam bidang komunikasi politik merupakan pengalaman tak ternilai, yang sayang kalau hanya disimpan sebagai pengalaman pribadi semata. Pengalaman berkomunikasi dalam rapat di DPR selama lebih dari 16 tahun akan saya paparkan sebagai bagian dari pembelajaran demokrasi dalam praktik dalam rangka pematangan dan konsolidasi demokrasi. Pada ranah akademis, pengalaman saya tersebut bisa menjadi sumbangsih bagi pengembangan ilmu komunikasi, lebih lagi komunikasi politik Indonesia kontemporer.
Analisis Kekuatan dan Strategi Komunikasi
Sejak Pemilu 2004 hingga pemilu berikutnya pada 2009, 2014, dan 2019, komposisi keanggotaan DPR dalam konfigurasi yang terbelah antara kubu parati – partai pendukungan pemerintah, dan kubu partai yang berada di luar pemerintah. Pada DPR hasil Pemilu 1999, konfigurasi kekuatan yang terbelah itu belum tampak benar, meski ada kelompok quasi koalisi yang menamakan diri Poros Tengah yang berhasil menggagalkan keterpilihan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI terpilih oleh MPR. Tetapi hanya dalam waktu dua tahun Presiden Abdurrahman Wahid diturunkan oleh anasir kelompok yang sama dan menempatkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI yang kelima . Dalam Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri, semua anasir kekuatan politik memiliki menteri di kabinet.
Ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI, maka terjadi kekosongan jabatan wakil presiden. Untuk mengisi jabatan itu, MPR menggelar acara pemilihan wakil presiden. Dalam pemilihan tersebut, terpilih Hamzah Haz sebagai wakil presiden. Dalam membentuk kabinet, Presiden Megawati mengangkat para calon wakil presiden yang tidak terpilih menjadi menteri. Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menko Polsoskam dan Agum Gumelar sebagai Menteri Perhubungan. Pada pemilihan presiden langsung oleh rakyat yang digelar untuk pertama kalinya 2004 , Presiden Megawati Soekarnoputri ditantang oleh wakil presidennya dan beberapa menteri anggota Kabinet Gotong Royong, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla.
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang relatif pendek (tiga tahun) telah menorehkan legacy besar dalam praktik penyelenggaraan negara demokrasi, yakni pemilihan presiden langsung oleh rakyat. Legacy yang lain adalah dalam bidang penegakan hukum, utamanya pemberantasan korupsi. Keberadaan Komisi Pembernatasan Korupsi (KPK) lahir pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Ketika pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla memenangi Pilpres 2004, Megawati Soekarnoputri berkeputusan partai yang dipimpinnya – PDI Perjuangan – berada di luar pemerintahan. Di DPR periode 2004 – 2009, PDI Perjuangan menjadi partai oposisi, sementara Partai Golkar dan PPP, mitra dalam Koalisi Kebangsaan pengusung pasangan Megawati Soekarnoputri menyeberang, dengan mengirimkan kadernya sebagai menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Keputusan menjadi kekuatan oposisi di parlemen berlanjut pasca Pilpres 2009.
Selama menjadi kekuatan oposisi di DPR selama 10 tahun, PDI Perjuangan telah mengembangkan tradisi demokrasi yang baik, yakni menjadi kekuatan oposisi yang konstruktif dan oposisi yang loyal. Sebagai kekuatan oposisi yang konstruktif, PDI Perjuangan akan mendukung kebijakan pemerintah yang pro rakyat, dan akan menentang kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sebagai kekuatan oposisi yang loyal, PDI Perjuangan akan menghormati pemegang kekuasaan sampai akhir masa jabatan dan tidak ingin melakukan perebutan kekuasaan di tengah jalan secara inkonstitusional. Kekuasaan akan direbut melalui jalan konstitusional, damai, demokratis, dan terhormat, yakni dengan cara memenangi pemilu.
Selama menjadi kekuatan oposisi, PDI Perjuangan tidak asal menentang kebijakan pemerintah. PDI Perjuangan menentang kebijakan pemerintah yang membebani rakyat seperti penaikan harga BBM, dan kebijakan impor beras pada saat panen raya. Ketika upaya untuk menggagalkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat melalui berbagai upaya komukinasi secara persuasif dalam rapat-rapat di parlemen menemui jalan buntu dan berjung kalah dalam voting dalam pengambilan keputusan, beberapa kader PDI Perjuangan yang duduk sebagai anggota Dewan turun kejalan untuk menyampaikan sikap menentang kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat tersebut. Sementara dalam menolak kebijakan impor beras, PDI Perjuangan melakukan komunikasi nonverbal yang efektif. Seluruh anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, hadir dalam rapat paripurna dengan memakai caping bertuliskan , “Tolak Impor Beras”. Caping melambangkan kepentingan petani.
Ketika menjadi kembali menjadi partai pemenang Pemilu 2014 dan berhasil mengantar pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla memenangi Pilpres 2014, PDI Perjuangan mengalami hal yang tidak mengenakkan karena “jebakan demokrasi” , uttamanya ketentuan tentang sistem paket dalam pemilihan pimpinan MPR dan DPR yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2014. Undang-undang tersebut dibuat pada saat injury time ketika pemenang pemilu sudah diketahui, tetapi masih menjadi kekuatan oposisi di DPR. Sebagai kekuaatan oposisi, PDI Perjuangan berusaha menggagalkan ketentuan sistem paket yang hanya diberlakukan di DPR saja, tetapi tidak untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Upaya penggagalan ketentuan yang inkonsisten melalui berbagai saluran komunikasi, melalui lobby dan debat dalam rapat berbagai rapat-rapat hingga kalah dalam voting dalam pengambilan keputusan pengesahan undang-undang tersebut. PDI Perjuangan juga memilih jalan konstitusional dan terhormat melalui pengajuan uji materi tentang ketentuan yang tidak konsisten dan bertentangan logika demokrasi tersebut melalui MK. Ketika permohonan uji materi tersebut ditolak, PDI Perjuangan menghormati keputusan itu.
Dalam pemilihan pimpinan MPR dan DPR, koalisi partai pendukung pemerintah atau lebih dikenal sebagai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang terdiri atas PDI Perjuangan, PKB, Nasdem, Hanura, gagal mendapatkan kursi pimpinan, sementara PKPI tidak lolos ambang batas pemilu sehingga tidak memiliki kursi di parlemen. Pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo harus melakukan kohabitasi dengan gabungan kelompok partai yang memiliki suara terbesar yang sebelumnya bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KIH) yang mendukung Prabowo Subianto. Dalam perjalanannya, terjadi penyebarangan anggota KMP ke kubu pendukung pemerintah, seperti Partai Golkar, PAN, dan PPP. Golkar mendapat jatah dua menteri, PPP dan PAN, masing-masing mendapat satu menteri. Pergeseran kekuatan tersebut berimbas ke DPR, sehingga UU No.17 tahun 2014 tersebut tiga kali mengalami perubahan, demi memberi ruang bagi PDI Perjuangan untuk dapat mendudukkan kadernya dalam kursi pimpinan MPR dan DPR, serta kursi pimpinan AKD. Konfigurasi kekuatan yang berubah tersebut membuat komunikasi dalam pengambilan keputusan di DPR lebih lancar. Menjelang pemilu serentak 2019, PAN kembali menyeberang ke kubu pendukung Prabowo Subianto.
Pasca pemilu serentak 2019, Gerindra merapat ke pemerintah dan mendapat jatah dua kursi menteri. Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Bergabungnya Gerindra telah menjadikan kubu pendukung pemerintah di DPR sangat kuat. Partai yang berada di luar kubu pendukung pemerintah hanya Partai Demokrat dan PKS. Hal tersebut akan menjadikan komunikasi antarfraksi pendukung pemerintah di DPR menjadi lebih lancar dan pengambilan keputusan menjadi lebih mudah. Meski demikian perlu dilakukan strategi komunikasi dan kehumasan yang lebih terkoordinasi dalam rangka mengurangi potensi resistensi keputusan -keputusan yang ditetapkan oleh DPR. Jika demikian halnya, distorsi informasi yang mengakibatkan menguatnya resistensi terhadap UU Cipta Kerja tidak perlu terjadi.
Perencanaan dan Strategi Komunikasi dalam Proses Pengambilan Keputusan
Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Prolegnas disusun oleh DPR, DPD, dan pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan UU. Skala prioritas urgensi dan urutan pembahasan UU dalam Prolegnas ditetapkan melalui keputusan Baleg.
Strategi komunikasi dalam proses legislasi dimulai dari Baleg ihwal penyusunan program Prolegnas dan prioritas pembahasan RUU yang didahulukan. Inisiatif RUU bisa datang dari Presiden, DPR, dan DPD. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali RUU APBN, Perppu, serta RUU Pemcabutan UU dan Pencabutan Perppu.
RUU yang bisa diajukan DPD hanya yang terkait dengan masalah otonomi daerah, hubungan antara pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengeloaan SDA dan SDE, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. RUU Insiatif DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Baleg. RUU yang diajukan Presiden disertai dengan Surat Presiden kepada Pimpinan DPR sebagai isyarat bahwa pembahasan RUU di DPR bisa dimulai.
Pembahasan UU berlangsung dalam dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Baleg, rapat panja, rapat pansus, sesuai dengan ruang lingkup dan urgensinya menyesuaikan dengan materi dan permasalahan yang terdapat dalam RUU. Kegiatan dalam rapat-rapat pembicaraan tingkat I meliputi, pengantar musayawarah, pembahasan Daftar Inventarisi Masalah (DIM), dan penyampaian pendapat mini dari masing-masing fraksi.
Tahapan berikutnya adalah pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR dengan isi pembahasan sebagai berikut :
- Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD (bila menyangkut masalah otonomi daerah beserta turunannya, serta SDA dan SDE), dan hasil pembicaraan tingkat I.
- Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan aggota DPR secara lisan yang diminta dan diatur oleh pimpinan rapat.
- Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugasi.
- Pengambilan keputusan untuk penetapan pengesahkan dengan mengupayakan musyawarah untuk mufakat. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, pengambilan keputusan dilakukan melalui suara terbanyak.
RUU yang telah disepakati untuk disahkan selanjutnya dikirim kepada Presiden untuk ditandatangani, , diberi nomer , diundangkan dalam Lembaran Negara, dan dimuat dalam Berita Negara.
Strategi komunikasi dibutuhkan dalam proses legislasi dari RUU menjadi UU, dimulai pada saat pembicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II. Mengikuti alur GPA, maka dirumuskan apa target dan capaian yang ingin dipenuhi oleh fraksi sebagai kepanjangan tangan partai. Rumusan tentang tentang target atau capaian tersebut diurai dalam DIM fraksi untuk diperjuangkan agar dapat diakomidasi dalam ketentuan dan pasal-pasal dalam RUU yang dibahas. Perjuangan supaya DIM fraksi dapat diakomodasi dalam RUU, perlu dibuat perencanaan komunikasi yang matang. Perencanaan tersebut kemudian diimplementasikan dalam tindakan komunikasi. Proses pembicaraan dalam pembahasan RUU menjadi UU pada dasarnya adalah negosiasi multipihak, antara fraksi-fraksi di DPR, pemerintah, dan para pemangku kepentingan lainnya.
Sebelum aksi atau tindakan dibuat peta kekuatan antarfraksi dan ke arah mana sikapnya dalam merumuskan berbagai permasalahan dalam RUU. Peta tersebut perlu dibuat tentang kubu yang mendukung dan yang menolak serta mereka berada di kelompok mana atau terjadi pengelompokan baru (analisis pengelompokan berdasar sikap support vs protest). Mengetahui secara pasti keberadaan kelompok yang tidak satu kubu tetapi memiliki pandangan yang selaras (alignment) dan kelompok atau individu dalam kelompok yang memiliki kecenderungan yang selaras dengan kubu lawan. Sikap seperti itu tetap dijaga supaya tidak terjadi pembelokan sikap (realignment).
Pembicaraan dalam rapat-rapat yang membahas RUU pada dasarnya adalah negosiasi kepentingan multipihak secara persuasif. Dalam strategi komunikasi dibtuhkan pengendalian situasi antara anggota fraksi yang berada sebagai pimpinan rapat, dan para anggota di floor yang menjadi pasukan tempur. Untuk itu dibutuhkan pasukan tempur yang memiliki kualifikasi sebagai political persuader yang andal. Para political persuader tersebut bertugas untuk mengubah sikap para persuadee dari protes atau kontra menjadi support atau pro, atau paling tidak mengubah pandangannya menjadi selaras (alignment). Dalam situasi seperti ini jangan sampai terjadi mereka yang berada dsebagai persuaders di garda depan justru menjadi objek yang digarap sebagai persuadee oleh persuaders dari kubu lawan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses komunikasi persuasif guna mencapai tujuan seperti yang telah direncanakan, yakni :
- Identitas atau presentasi diri sebagai refleksi bagaimana para persuaders atau negosiator dipersepsikan atau dipahami oleh kubu yang bersberangan (ramah, garang, angkuh, rendah hati, kukuh, lembek , dan sebagainya).
- Faktor relasional. Faktor relasional antara lain para komunikator, negosiator, dan persuader mampu menjaga dan memperkuat hubbungan, dalam hal ini sesama anggota Dewan, dan mitra kerja lainnya. Untuk mencapai supaya tujuan dibutuhkan penguatan dan pengembangan relasional, tetapi dalam diplomasi yang lebih luas tidak hanya penguatan dan pengembangan relasi saja yang dibutuhkan, tetapi juga perenggangan dan penjauhan relasi, bahkan dalam hubungan antarnegara yang memburuk kadang-kadang terjadi pemutusan hubungan diplomatik.
- Faktor instrumental. Instrumen atau alat bantu dalam proses komunikasi politik guna mencapai tujuan tertentu. Alat bantu tersebut bisa berupa data dan fakta pendukung, opini dari pakar dan orang-orang penting dan berpengaruh (prominent person) di bidangnya. Dalam beberapa hal faktor yang bersifat nonverbal, seperti penggunaan atribut atau symbol tertentu sebagai deterrent effect (efek penggentar) untuk mengubah sikap dan perspektif lawan perlu dilakukan. Seluruh anggota Fraksi PDI Perjuangan pernah menggunakan atribut caping sebagai symbol kepentingan petani dalam rapat paripurna tentang impor beras. Fraksi PDI Perjuangan menolak impor beras dengan menggunakan atribut caping sebagai perwujudan pembelaan terhadap kepentingan petani.
Faktor identitas, relasional, dan instrumental merupakan perangkat penting yang menentukan dalam menuju tercapainya suatu tujuan (bandingkan dengan Samp & Solomon, 2005, dan Samp, 2016). Selain itu beberapa faktor yang bersifat afektif, emosional, dan suasana hati juga memberi sumbangan besar dalam keberhasilan komunikasi politik (Crigler & Just, 2016 dalam Semetko dan Scamell, 2016 : 385 -402).
Dalam “pertempuran” di ruang rapat. diusahakan mengedepankan hal-hal yang bersifat rasional dengan pendekatan yang bersifat afektif dan persuasif. Hal-hal yang bersifat emosinal dan kontrontatif sebisa mungkin dijauhi. Hal serupa baru bisa digunakan dalam hal yang bersifat mendesak, genting, dan memaksa. Untuk itu dibutuhkan konduktor atau dirigen yang mengatur lalu-lintas komunikasi para anggotanya. Para anggota juga harus tegak lurus terhadap komando dirigen, tidak boleh membuat agenda sendiri yang kadang-kadang bisa mengganggu kelancaran komunikasi dan merugikan kepentingan fraksi tempatnya bernaung.
Dalam rangka mencapai target atau sasaran tujuan dalam pembahasan RUU, beberapa hal hal teknis yang harus diperhatikan.
- Posisi tempat duduk yang terpencar perlu diatur sedemikan rupa.. Ibarat bermain dalam suatu game, untuk memenangi pertempuran perlu dilakukan serangan dari berbagai arah. Seorang pengendali komukasi bisa mengatur mengatur serangan melalui penyampaian opini dan interupsi dari segala arah. Strategi semacam itu hanya bisa dilakukan pada pembicaraan tingkat I. Pada pembicaraan tingkat II dalam dalam rapat paripurna, hal semacam itu tidak bisa dilakukan karena pengaturan posisi tempat duduk telah diatur dan dikelompokkan ssua fraksi maupun.
- Pengaturan urutan penyampaian opini dan (atau) interupsi secara terkendali di bawah satu komando. Strategi model interogasi polisi baik dan polisi buruk (good cop and bad cop strategy) ala film Hollywood kadang perlu dimainkan. Kapan seorang anggota bersikap galak dan anggota lainnya bersikap lembut perlu dimainkan guna mencapai tujuan yang dikehendaki.
- Strategi gas dan rem (throttle and brake strategy) perlu ditempuh dalam rangka mendominasi pembicaraan dalam rapat. Untuk itu ritme penyampaian opini dan interupsi harus diatur sedemikian rupa, termasuk melakukan disrupsi ketika pihak lawan sedang bicara. Untuk itu dibutuhkan teknik pengendalian mikropon yang andal. Para anggota di lapangan harus tahu kapan dirinya mendapat giliran atau kesempatan berbicara, dan kapan tombol mikropon harus ditekan secara bersamaan guna merusak mood lawan yang sedang bicara. Hal itu dibutuhkan dan menguntungkan bagi fraksi yang memiliki jumlah anggota yang banyak. Seluruh mikropon akan mati mendadak bila lima tombolnya atau lebih ditekan secara bersamaan.
- Anggota harus displin untuk hadir dalam rapat-rapat penting tentang pengambilan keputusan Jumlah suara menjadi penting dalam pengambilan keputusan ketika musayawarah mufakat tidak berhasil dilakukan. Dalam pengambilan keputusan melalui voting harus diusahakan secara terbuka dengan cara berdiri. Hal itu dapat digunakan untuk mengetahui ada anggota yang mbalelo atau tidak.
Dalam melakukan komunikasi politik, para anggota harus memperhatikan tatakrama atau adab, antara lain harus mengedapankan sikap yang afektif, persuasif, proaktif, dan promotif dengan mengedapankan kepentingan rakyat banyak. Hal-hal yang bersifat moral hazard tidak boleh dilakukan. Pengendalian emosi serta tatakrama dalam berkomunikasi harus diutamakan. Selain itu kinerja seorang anggota aharus transparan dan akuntabel serta jauh dari perilaku koruptif di bidang apa saja.
Penutup
Paparan tersebut di atas merupakan pengalaman pribadi saya selama 16 tahun dipilih dan dipercaya rakyat untuk mengemban amanat sebagai anggota DPR RI. Saya berharap pengalaman ini berguna bagi upaya penguatan dan pematangan dan konsolodasi demokrasi sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pembangunan politik dalam bingkai NKRI yang berdasar Pancasila, UUD 1945 dan menjunjung tinggi semangat Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu dalam ranah akademis, saya berharap paparan ini dapat menjadi pemantik bagi kajian komunikasi politik kontemporer dan penguatan peran lembaga perwakilan rakyat dalam menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat dalam konteks kekinian.
Dibuat oleh Aria Bima, sebagai tugas mata kuliah ‘Strategi Komunikasi’ dengan dosen pengajar Dr. Atwar Bajari pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2020
Bacaan terpilih
Cigler, Ann, N dan Just, Marion, R. 2016. Mengukur Afek, Emosi, dan Suasana Hati dalam Komunikasi Politik. dalam Semetko, Holli, A dan Scammell, Margaret. (eds.)2016. Handbook Komunikasi Politik (terj.). Bandung : Nusa Media.
Dillard, I,P. 2004. The Goals – Plan – Action Model of Interpersonal Influence. dalam Seiter, J. S, dan Gass, R, H (eds.). 2004. Perspectives on Persuasion, Social Influence, and Compliance Gaining. Boston : Allyn & Bacon.
Hendri, Ezi.2019. Komunikasi Persuasif Pendekatan dan Strategi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Samp, J, A., dan Solomon, D,H., 2005. Toward A Theoretical Account of Goal in Microlevel Message Features, dalam Communication Monographs. 72.
Samp, Jennifer, A., 2016. Communication Goal Theories. dalam Littlejohn, Stephen, W. dan Foss, Karen, A. (eds), 2016. Ensiklopedia Teori Komunikasi (terj.). Jakarta : Kencana. jilid 1.
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD juncto Undang Undang No. 42 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap Undang Undang No. 17 Tahun 2014, juncto Undang Undang No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua terhadap Undang Undang No, 17 Tahun 2014, juncto Undang Undang No. 13 tentang Perubahan Ketiga terhadap Undang Undang No. 17 Tahun 2014.
Undang Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Prraturan Perundang-Undangan juncto Undang Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan terhadap Undang Undang No.12 tahun 2011.
Peraturan DPR No. 1 tahun 2020 tentang Tata Tertib.