Makalah Komunikasi Aria Bima: Transformasi Menuju Demokrasi Substantial, Tantangan dan Pengalaman Indonesia untuk Dunia

Resume Artikel Dinna Wisnu. 2019. Demokrasi dan Tantangannya, dalam Dinna Wisnu. 2019.

Populisme, Politik Identitas dan Erosi Demokrasi Abad ke 21 Refleksi dari Forum Masyarakat Sipil dan Media Bali 2018.  Jakarta : Friedrich Ebert Stiftung

Overview

Artikel  berjudul Demokrasi dan Tantangannya karya Dinna Wisnu – yang sekaligus editor buku Populisme, Politik Identitas dan Erosi Demokrasi di Abad Ke 21 Refleksi dari Forum Masyarakat Sipil dan Media Bali 2018 – merupakan semacam kunci pembuka bagi tulisan-tulisan berikutnya dalam buku bunga rampai yang merupakan refleksi dari pertemuan Forum Demokrasi Bali (Bali Demokrasi Forum) yang diperluas bagi pemerintah dari negara-negara pesertanya saja, tetapi juga mengikutsertakan kalangan masyarakat sipil dan media.  Forum Demokrasi  Bali adalah prakarsa Indonesia dalam rangka membangun dialog komprehensif di antara negara-negara dan masyarakat tentang demokrasi demi perkembangan demokrasi yang lebih baik bagi generasi masa depan pada saat akhir termin pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau tetaptanya pada 2018. Menteri Luar Negeri saat itu dijabat oleh Nur Hasan Wirayudha. Pada termin kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program BDF terus dilanjutkan sebagai program tahunan di bawah Menteri luar Negeri Marty Natalegawa.

Prakarsa BDF dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, di bawah kendali Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Pada masa pemerintahan Presiden joko Widodo BDF berkembang dengan dibukanya cabang BDF di Tunis, Tunisia (2017) dan Berlin, Jerman(2018). Tidak hanya itu, selain pertemuan antar pemerintah, BDF juga dibuat parallel dengan pertemuan antarsesama masyarakat sipil dan antarmedia yang dikenal sebagai Bali Civil Society and Media Forum (BCSMF),atau Forum Masyarakat Sipil dan Media Bali. Buku yang disunting Dinna Wisnu dan diterbitkan oleh Friedrich Ebert Stiftung. BDF di era pemerintahan Presiden Joko Widodo membahas topik yang menjadi isu sentral bagi keberlangsungan demokrasi menuju masa depan yang baik. BDF ke 11 yang berlangsung di Bali Desember 2018 bertema Demokrasi untuk Kesejahteraan yang memiliki alur kesinambungan dengan tema  BDF Cabang Berlin Demokrasi dan Migrasi  yang diselenggarakan pada September 2018.

Banyak kalangan yang mengkhawatirkan terjadi erosi demokrasi dengan menguatnya populisme, politik identitas, penyebaran hoaks di pelbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.  Menyikapi hal itu, dalam sambutan pada BDF Cabang Berlin September 2018, Menteri luar Negeri Retno Marsudi menyatakan: Tidak ada demokrasi yang imun terhadap risiko kemunduran – bahkan negara demokrasi yang sudah dewasa menghadapi bahaya kemunduran terhadap praktik-praktik mereka. Implementasi demokrasi di kawasan yang berbeda, menghadapi tantangan yang berbeda pula. Karena stakeholders demokrasi bukan hanya penyelenggara negara saja, dalam BDF ke 11 juga diselenggarakan BCSMF dengan peserta yang berasal dari kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan media, termasuk kalangan mahasiswa dan generasi muda.  Khusus untuk mahasiswa diselenggarakan dalam forum tersedndiri yakni Konferensi Mahasiswa Demokrasi Bali.  Dengan kata lain BDF ke 11 merupakan forum diplomasi trek 1,5, yang bukan hanya melibatkan utusan negara, tetapi juga melibatkan utusan non negara – atau yang dikenal sebagai diplomasi publik.

Masalah yang diperbincangkan dalam forum multipihak bertajuk Demokrasi untuk Kesejahteraan itu berkisar pada kelenturan dan ketahanan demokrasi sebagai wahana menuju kesejahteraan, menghadapi tatantangan yang terus-menerus menggerus sistem penyelenggaraan kekuasaan berdasar daulat rakyat tersebut. Pertemuan BCSMF 2018  yang diikuti kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan media tersebut fokus membahas tantangan demokrasi dalam menghadapi maraknya populisme, penggunaan dan eksploitasi politik identitas, hoaks, sensasionalisme, dan bias politik. Topik ini muncul dari keprihatinan yang lebih besar bahwa demokrasi di seluruh dunia sedang mengalami kemunduran: demokrasi di negara maju dengan perekonomian yang mapan terus menggunakan proteksionisme dan partai politik ekstrem, orang-orang mereka menjadi semakin tidak toleran terhadap perbedaan, cenderung beralih ke sensasionalisme dan hoaks alih-alih mengedukasi publik tentang kebenaran, dan juga penggunaan dan eksploitasi politik identitas yang tidak proporsional yang memecah belah masyarakat (Wisnu. 2019 : 15).

Meski demokrasi merupakan pilihan terbaik, implementasi juga tidak memberi kepastian bagi terwujudnya kesejahteraan atau kemakmuran sebagai keniscayaan. Tren migrasi yang terus meningkat dengan tujuan Eropa Barat dan Skandinavia yang merupakan welfare state (negara kesejahteraan) mengganggu kemapanan demokrasi yang makin mantap pasca Perang Dunia II. Gelombang migrasi yang terus meningkat dari orang-orang non Eropa telah menjadikan negara-negara Eropa yang relatif makmur, sebagai tujuan, telah mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap para migran.

Buku yang membahas tentang perkembangan dan tantangan demokrasi populisme dan politik identitas, sebenarnya merupakan concised proceedings atau prosiding ringkas (padat) dari topik-topik yang dibahas dalam BCSMF 2018. Buku ini membahas erosi demokrasi terkait dengan kecenderungan penguatan populisme dan politik Identitas. Bagaimana hoaks,  sensasionalitas, dan bias politik, dapat dijinakkan dalam sistem demokrasi? Tugas untuk mengikis habis faktor-faktor yang erosive bagi demokrasi tersebut sebenarnya bukan hanya tugas negara saja, tetapi juga menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat sipil, akademisi, dan media.

Dinna Wisnu sebagai editor buku, mencoba melakukan elaborasi seputar demokrasi dan berbagai tantangannya di era kekinian. Dimulai dari definisi demokrasi menurut Joseph Schumpeter yang menekankan pada institusionalisasi demokrasi melalui pemerintahan yang dibentuk oleh pemilihan umum yang diselenggarakan secara teratur dan bebas. Perubahan atau pergantian kekuasaan yang teratur melalui pemilihan umum. Selama pemilihan umum berjalan kompetitif dapat dilahirkan pemimpin yang kompeten melalui proses demokrasi. Itulah proses demokrasi yang per definisi bisa disebut minimlalis karena hanya melihat dari sisi kelembagaan.

Untuk melengkapi pengertian demokrasi ala Schumpeter yang minimalis, editor mengutip Pzeworski (2004) tentang demokrasi terbentuk karena ada kesepakatan dari kelmpok-kelompok untuk saling tidak sepakat. Kesepakatan untuk tidak sepakat itu kemudian diadu dalam pemilihan umum sehingga didapatkan siapa yang bakal berkuasa dan siapa yang akan menjadi oposisi mellalui proses yang demokratis. Mereka yang berkuasa akan dikontrol oleh oposisi. Untuk menuju proses mencapai kekuasaan secara demokratis, para pihak yang bersaing harus menyepakati dulu aturan mainnya dan semuanya harus tunduk pada aturan main tersebut.

Pembicaraan pada BCSMF 2018 ternyata masih terjebak pada pemahaman demokrasi sebatas prosesdural, yaitu  penyelenggaraan kompetisi merebut kekuasaan melalui pemilihan umum yang jujur dan adil (freea and fair), tingkat partisipasi sebagai ukuran, kesetaraan, inklusi, kebebasan berpendapat dan menggunakan hak pilih dan sebagainya. Jika yang dikemukakan hanya sebatas itu, maka demokrasi dimaknai hanya sebatas sarana menuju kekuasaan, dan setelah rangkaian pemilu berjalan secara paripurna sesuai dengan peraturan, maka proses demokrasi selesai. Padahal, demokrasi adalah denyut nadi sekaligus pengejawantahan kekuasaan oleh rakyat. Oleh karenanya dibutuhkan pengawasan kepada penguasa secara terus-menerus sepanjang periode kekuasaannya.

Indonesia sebagai negara demokrasi dengan populasi terbesar ketiga di dunia – setelah India dan AS – mengalami eksperimentasi politik politik yang panjang. Dua kali perubahan sistem demokrasi melalui maklumat atau dekrit dan dua kali pergantian kekuasaan melalui penggulingan. Maklumat Wakil Presiden No.X 16 Oktober, Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 telah mengubah sistem presidensial menjadi sistem parlementarian tanpa mengubah UUD 1945. Begitu pula Dekret Presiden 5 Juli 1945, yang memberlakukan kembali UUD 1945 yang menganut sistem presidensial dengan membatalkan berlakunya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementarian.

Perpindahan kekuasaan dari Presiden Sukarno – yang kenudian disebut Orde Lama – ke tangan Soeharto – yang kemudian menamakan dirinya sebagai pemimpin Orde Baru – juga tidak berjalan secara mulus. Didahului dengan perstiwa berdarah Oktober 1965, dan SP 11 Maret 1966, dan penolakan pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno – Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara – oleh MPRS, banyak dimaknai sebagai kudeta merangkak (the creeping coup) yang dirancang secara sistematik melalui putusan-putusan lembaga perwakilan rakyat (memorandum DPRGR dan Ketetapan MPR) tentang pencabutan mandat MPRS kepada Sukarno dari jabatan Presiden RI.

Selama memegang kekuasaan Soeharto berlaku otoriter. Soeharto dapat berkuasa secara otoritarian selama 32 tahun. Pemerintahan otoritarian yang mendalam disertai dengan perilaku korup telah mendorong perlawanan terhadap Rezim Orde Baru cum Soeharto yang dimotori oleh gerakan mahasiswa. Tuntutan untuk mengadakan Reformasi terhadap pemerintahan Orde Baru telah berhasil melengserkan Soeharto.

Pasca Reformasi, Indonesia memasuki masa transisi dari demokrasi prosedural menuju demokrasi yang lebih substantial melalui empat kali amandemen konstitusi dan kelahiran lembaga negara-lembaga negara baru sebagai bagian dari pendalaman demokrasi dan penghormatan terhadap supremasi hukum – termasuk penegakan hukum.

Konsolidasi demokrasi dilakukan melalui pembukaan kran pendirian partai politik, kebebasan berekspresi, dan berserikat, berkumpul, serta keberadaan pers yang bebas. Menginjak tahun ke 21 konsolidasi demokrasi, banyak kelompok yang membanfaatkan demokratisasi sebagai kesempatan untuk mengimpun kekuatan berbasis agama yang eksklusif yang berujung pada penguatan populisme. Pilkada DKI 2017 merupakan contoh bagaimana gerakan politik populisme mengaduk-aduk kontestasi bernasis demokrasi yang insklusif dengan tekanan massa yang masif dan eksklusif dan rasisme. Saatnya negara hirau terhadap menguatnya populisme yang bersifat ekskluisif, intoleran berbasis primordialisme memiliki arena bermain di Indonesia majemuk, inklusif dan toleran

Sementara di bidang politik luar negeri, Indonesia tetap konsisten dengan politik luar negeri bebas aktif  yang tidak berpihak. Prakarasa Indonesia dalam menggagas sekaligus pelaksana KAA 1965 yang telah melahirkan deklarasi monumental Dasasila Bandung. Indonesia juga merupakan salah satu pemrkarsa Gerakan Non Blok pada 1961 sebagai gerakan-gerakan negara dan bangsa baru di luar Blok Barat yang kapitalis dan Blok Timur yang sosialis-komunis saat Perang Dingin berlangsung. Indonesia juga terus berperan aktif di berbagai fora dunia mulai dari PBB, Asean,  IORA, OKI, RCEP, dan sebagainya. Hal itu sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yakni ikut melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karenanya sudah tepat kiranya apabila Presiden Joko Widodo mengangkat isyu kemerdekaan Palestina di hadapan Sidang Majelis Umum PBB 22 September (23 September, waktu Indonesia) 2020. Hal itu perlu dikemukakan Presiden Joko Widodo bahwa dari seluruh peserta KAA 1955, hanya Palestina sendiri yang belum merdeka.

Selanjutnya artikel Dinna Wisnu mengantar pada bahasan berikutnya dalam buku ini seperti :

  • Populisme: Dampak Ekonomi dan Politiknya yang Ambivalen oleh Andreas Ufen
  • Media, Populisme dan Era Pasca-Kebenaran oleh Andina Dwifatma
  • Kemana Arah Organisas Masyarakat Sipil oleh  Indrasari Tjandraningsih
  • Menyongsong Masa Depan  oleh Dinna Wisnu

Catatan Pelengkap

  1. Demokrasi yang menjadi pijakan dalam BCSMF 2018 masuh berada dalam tataran prosedural dan belum mengalah ke demokrasi subtansial. Demokrasi yang secara gamblang dikemukakan Abraham Lincoln, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tetapi bagaimana mewujudkan jargon Lincoln tersebut dalam kehidupan nyata, tentu bukan perkara mudah. Suapaya pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat bisa efektif, maka rakyat perlu menentukan siapa yang dapat mewakili kepentinganya dalam pemerintahan. Untuk itulah perlu diadakan pemilihan umum yang jujur dan adil. Hal itu perlu diwujudkan karena hakekat demokrasi adalah efektivitas representasi atau perwakilan.  Oleh karenanya  muncul jargon All modern democracy is representative. Nuri Soeseno dalam Representasi Politik : Dari Ajektiva ke Teori (2013), menyoal representasi tersebut dengan mengutip pendapat Hanna Pitkin yang membaginya menjadi representasi formal, represeentasi simbolik, representasi deskriptif, dan reprsentasi substantif. Representasi formal adalah perolehan otoritas melalui pemilu dan akuntabilitas dalam eksploitasi otoritas tersebut. Representasi simbolik terkait dengan respon dan ikatan emosional  terhadap daerah pemilihan yang diwakilinya. Representasi deskriptif adalah kesamaan diri seorang wakil rakyat dengan sebagian besar kalangan dari daerah pemilihannya, misalnya seorang buruh akan bangga bila ada wakil rakyat dari kalangan buruh. Dengan demikian para buruh sudah merasakan bahwa dirinya hadir di lembaga perwakilan rakyat. Representasi substantif diwujudkan melalui kegiatan wakil rakyat atas dasar kepentingan yang diwakilinya. Seorang wakil rakyat bisa memainkan seluruh model representasi itu, satu persatu secara bergantian, atau dua, dan tiga secara bersamaan tergantung derajat pembicaraan dan urgensi topik yang dibicarakan.
  • Erosi demokrasi menjadi pemicu menuju negara gagal. Rezim otoritarian yang korup menjadi penyebab terjadinya negara gagal di era modern. Despot modern seperti, Robert Mugabe di Zimbabwe, Siaka Stevens di Sierra Leone, Islam Karimov di Uzbekistan, dan Kim Jong Un di Korea Utara telah membawa negarannya menuju negara gagal. Jaminan sumberdaya alam tidak menjadi jaminan bahwa negaranya akan selamat. Penguasa dengan pemerintahan ala totaliter tersebut telah membawa bangsanya menuju negara gagal, meski hidupnya secara pribadi penuh kemewahan dan kelimpahruahan, sementara rakyatnya berada di jurang kemiskinan (Acemoglu dan Robinson.2020 : 429-469).
  • Soal populisme dan politik identitas. Politik identitas merujuk pada orientasi politik yang dibangun di sekitar orientasi sosial (yang sudah ada atau melekat sebelumnya) Dengan kata lain identitas tersebut sudah ada dan melekat, sebelum yang bersangkutan masuk dalam arena proses, atau aktivitas politik (Richard Thomson Ford.2005. dalam Bakry.2020 : 158-159). Istilah politik identitas dalam penggunaan secara umum mengacu pada identitas yang melekat pada diri seseorang atau kelompok dan bersifat primordialistik seperti SARA (suku, agama, ras, dan antragolongan), status sosial-ekonomi, gender, dan orientasi seksual. Identitas tersebut bisa menjadi perekat bagi orang-orang untuk berkelompok secara eksklusif. Politik identitas memiliki kecenderungan menjadi gerakan populis dengan menolak pluraliisme dan multikulturalisme. Membanjirnya imugran di Eropa telah menguatkan gerakan ultrakanan yang ultranasionalis anti kelompok migran, xenophobia, dan cenderung rasis. Di AS, meskipun mendapat kritik dan cemooh dari banyak kalangan dan aktivis HAM, ucapan dan rencana kebijakan Presiden Donald Trump mendapat dukungan dari kelompok populis yang berasal dari ras kaukasoid. Di Indonesia populismme berbasis agama melalui Gerakan 411, dan 212 telah mengobarkan politik identitas dalam Pilkada DKI 2017. Politik identitas sering menjadi pemicu timbulnya prasangka tidak baik terhadap kelompok tertentu yang berpotensi menjadi pemantik terjadinya konflik sosial (Liliweri, 2018).
  • Dalam politik post-truth (pasca kebenaran), kebenaran tidak didasarkan pada fakta objektif, melainkan pada aspek-aspek emosional, dan hal-hal yang dianggap cocok serta dapat mendukung gagasan personal… Tapsell (2017)  dalam artikelnya tentang post-truth di Asia Tenggara menyatakan bahwa dalam situasi disrust, sumber-sumber informasi asal bukan pemerintah menjadi lebih mudah dipercaya dan dimobilisasi oleh publik (Gunawan dan Ratmono.2020). Hoaks atau berita bohong sebagai politik ancaman  adalah musuh demokrasi, maka hoaks pada dasarnya adalah musuh bersama masyarakat Indonesia yang sedang beruapaya menuju demokrasi substantial ( Nugroho dalam Gunawan dan Ratmono. 2020 : xi)

Dibuat oleh Aria Bima, sebagai tugas kelompok bersama Risa Mariska dari dosen pengajar Dr. Suwandi Sumartias pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2020

Referensi

Acemoglu, Daron, dan Robinson, James A. 2020. Mengapa Negara Gagal Asal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan. Jakarta : Elex Media Komputindo. cetakan keenam.

Bakry, Umar Suryadi. 2020. Multikulturalisme & Politik Identitas dalam Teori dan Praktik. Depok : Raja Grafindo Persada. cetakan kesatu.

Gunawan, Budi, Barito, Mulyo Ratmono. 2020. Kebohongan di Dunia Maya Memahami dan Praktik-praktiknya di Indonesia. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.  cetakan kedua.

Liliweri, Alo. 2018. Prasangka, Konflik & Komunikasi Antarbudaya. Jakarta : Prenadamedia Group Divisi Kencana. cetakan kesatu.

Soeseno, Nuri. 2013.Representasi Politik : Dari Ajektiva ke Teori. Depok: Puskapol Fisip UI.

Wisnu, Dinna. 2019. Populisme, Politik Identitas dan Erosi Demokrasi Abad ke 21 Refleksi dari Forum Masyarakat Sipil dan Media Bali 2018.  Jakarta : Friedrich Ebert Stiftung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *