Tampil sebagai salah satu narasumber dialog ‘Kabar Petang TV One, Senin, 23 November 2020’ bersama Wasekjen DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon dan pengamat politik Effendi Gazali pandu duo host Alfath Taufid dan Tysa – Tysa Novenny.
Segmen talk show Kabar Petang ini menanggapi pernyataan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang mengingatkan bahaya propaganda dan separatisme melalui media sosial, termasuk adanya upaya memecah belah rakyat melalui politik identitas, perang urat syaraf, serta ancaman separatisme dari dunia maya.
Media sosial memilik banyak aspek positif, di antaranya sebagai sumber informasi, agen perubahan, dan membangun demokrasi partisipatif. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata apa untuk memahami apa yang disampaikan oleh Panglima TNI.
Bahwa media sosial bisa menjadi alat propaganda dan tumbuh suburnya benih-benih separatisme juga bukan ungkapan tanpa dasar.
Ini kita lihat sebagai suatu fakta. Jangan mengabaikan pengalaman baik secara nasional maupun dunia internasional, bahwa media sosial pernah menjadi alat kehancuran suatu bangsa dan negara. Ketika informasi dan hokas menyangkut ujaran kebencian ditumpahruahkan, maka terpecahlah bangsa itu, seperti pengalaman Suriah, Yaman dan negara-negara lain. Dari perpecahan di dunia virtual, kemudian meletup jadi pertempuran di dunia faktual.
Kita harus melihat dengan lebih jernih. Integrasi bangsa ini dilihat dari dua proses, yakni apakah faktor yang membuat integrasi bangsa ini tetap utuh dan bersatu, dan membuahkan narasi-narasi keindonesiaan, wawasan kebangsaan, wawasan pesatuan tampak menguat? Atau justru faktor-faktor yang menyulut disintegrasi dengan narasi-narasi perpecahan terlihat dominan. Kuat mana?
Jangan sampai media sosial kita tiap hari diproduksi dan diamplifikasi dengan konten-konten yang memberi penguatan pada berkembangnya faktor disintegrasi. Kita memang belum mengalami disintegrasi bangsa, tapi di sini sudah terjadi disintegrasi sosial. Terjadi konflik-konflik sosial karena amplifikasi konten-konten semacam itu di medsos.
Panglima TNI Hadi Tjahjanto tepat mengingatkan bahwa jika saat ini narasi publik mulai lebih menampilkan wajah kesukuan, keagamaan, ujaran kebencian, dan sejenisnya, maka akan sangat mungkin terjadi potensi penguatan disintegrasi.
Saat konten-konten informasi yang berpotensi membuat sebuah bangsa terpecah menguat, saat itu juga harus diimbangi penguatan terhadap narasi-narasi yang membuat rukun, serta mengangkat nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa.
Kita tak usah naif. Banyak konflik politik di sejumlah negara barbarian dimulai dari penggunaan medsos terkait penggunaan propaganda separatisme.
Kalau media sosial digunakan untuk menyebarkan informasi-informasi positif, tak mungkin dibelenggu pemerintah. Sekarang saja di medsos, orang tidak hanya mengkritik, bahkan mencaci maki pemerintah saja bisa, bebas.
Yang menjadi kewaspadaan kita, jika perasaan berbineka kita akhir-akhir ini melemah, akan dimanfaatkan kelompok-kelompok separatis yang dengan mudahnya ‘menimpali’, karena mereka memang menginginkan bangsa kita tidak rukun, terbelah dan bahkan pecah.