SU-KARNO. Dua kata itu amat umum dalam masyarakat Jawa. Karno adalah tokoh pewayangan yang menghibahkan dirinya pada negara Astina. Sedangkan Su bermakna Baik. Tetapi janganlah lupa, itu adalah nama kedua. Nama aslinya yang sejak lahir tersemat adalah Kusno.
Ya, Bung Karno pernah berganti nama. Persisnya saat balita. Kakeknya, Harjo, yang memberi nama Karno itu. Sudah jadi rahasia umum di Jawa: anak kecil kok sering sakit-sakitan? mengganti nama adalah solusinya. Untung saja kala itu sigap berganti nama menjadi Sukarno dan akhirnya dia hidup berumur panjang, jauh lebih panjang dari manusia kebanyakan. Karena kita akan selalu mengenangnya. Jika Sukarno atau Kusno masih hidup jasadnya, maka hari ini dia genap berusia 121 tahun.
Roso Daras, penulis buku Total Bung Karno, memotret hal tersebut secara apik di dalam Talkshow Bung Karno Series bersama BKN PDI Perjuangan tahun 2021 lalu. “Pada 1907 dimasukkan SD di Blitar oleh kakeknya, nah itu sudah pakai nama Karno. Artinya, sekitar balita telah berganti nama dari Kusno,” ujarnya.
Karno kecil, atau yang saat itu masih diberi nama Kusno, lahir pada 6 Juni 1901. Alam menyambutnya dengan mesra sekaligus menggelegar. Ia lahir saat fajar menyingsing. Oleh karenanya Kusno mendapat julukan Putra Sang Fajar. Kala itu Gunung Kelud baru saja meletus hebat pada penghujung Mei 1901. Orang Jawa memberi tafsir heroik meskipun Kusno sakit-sakitan. Dia ditakdirkan menjadi orang besar: lahir saat fajar berarti takdirnya secara utuh telah ditentukan Sang Hyang Widi Wasa, ditambahkan gunung meletus yang berarti lahirnya sosok tokoh besar.
Meski begitu elok tafsirannya, Kusno tumbuh seperti anak kebanyakan. Apakah Sukarno kecil adalah anak yang baik dan manis? Rupanya tidak juga. Sama seperti anak kecil kebanyakan yang juga usil dan nakal. Tetapi, meminjam istilah Anak Jaksel: Nakalnya Sukarno ini Next Level.
Karno tidak mau kalah. Kreativitas apapun dicarinya untuk menang. Karno juga dianggap Roso Daras sebagai bocah yang Kemlinthi (Jawa, Red. Sok Banyak Tingkah).
Saat bermain gasing: jika Sukarno kecil hampir kalah, maka gasing lawannya dia ambil dan dibuang jauh-jauh. Saat memanjat pohon: jika temannya naik setara rumah lantai dua, maka ia harus mencapai ranting setara lantai tiga.
“Ini Kemlinthi. Maka tak heran, saat ranting patah, Sukarno akan terbanting paling keras diantara teman-temannya,” kata Roso Daras.
Tetapi, sekali lagi, itu baru nakalnya. Dalam catatan Sastrawan Im Yang Tjoe, rupanya rasa welas asih dan kesetiakawanan yang paling menonjol dalam diri Karno kecil. Catatan itu diterbitkan sebagai biografi Sukarno pada 1933.
Bung Karno kecil tidak pernah “memberi pelajaran” nyamuk sampai mati. Bagi dia, manusia tidak punya kewenangan membunuh sesama makhluk Tuhan. Nyamuk cuma cari makan.
Itu belum terlalu ekstrem. Sukarno muda akan selalu berada di garis depan saat kawan-kawannya diganggu anak-anak Belanda saat masih bersekolah. Dia selalu pasang kuda-kuda untuk berkelahi melawan mereka. Ya, Sukarno seorang yang setiakawan. Apakah dia menang? Atau malah berakhir di selokan saat menerima bogem mentah dari anak-anak Belanda? Simak tayangan selengkapnya.