Puasa sebagai ritual agama Islam rupanya telah dikenal masyarakat Jawa jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara (kini Indonesia, Red). Masyarakat telah mengenal sejumlah puasa laku tirakat yang bermacam-macam dengan berbagai tujuan.
Hal tersebut disampaikan Zastrow Al-Ngatawi saat mengisi acara Inspirasi Ramadhan Edisi Sahur di kanal Youtube BKN PDI Perjuangan bersama Kepala BKN PDI Perjuangan Aria Bima dan Host Febriana Nur Hasanah, Minggu dini hari (24/3/2024). “Itu sudah ada di dalam Al Quran Surat Al Baqarah Ayat 183. Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Jadi memang sebelum Islam, sudah ada perintah wajib puasa,” ujarnya.
Kyai yang juga Budayawan ini menjelaskan, di Jawa telah mengenal sejumlah nama puasa dalam rangkaian Laku Tirakat. Misal, kata Zastrow, ada puasa Putih, puasa Pati Geni dan puasa Ngrowot. “Semuanya itu ditujukan untuk mengendalikan hawa nafsu,” terangnya.
Aria Bima lantas meneruskan dengan mengingat perkataan yang sering ia dengar dari para orang tua sebelum era milenium. “Berpuasa itu menahan hawa nafsu, menahan keinginan badan agar meluaskan rongga batin sehingga bisa berkomunikasi dengan Yang Maha Agung,” tuturnya.
Zastrow pun mengangguk setuju sambil melanjutkan, penuturan tersebut memang ‘diimani’ oleh sebagian besar kalangan Jawa yang sudah sepuh. Bahwa, lanjut peraih Doktor Sosiologi Universitas Indonesia itu, puasa dulu telah dikenal dengan nama Upawasa. “Upawasa ini digunakan untuk mencegah dhahar dan guling. Dhahar berarti nafsu badan untuk makan dan minum. Sedangkan Guling bermakna sebagai nafsu seksual. Jadi dhahar dan guling itu perlu dicegah dan dikendalikan,” ungkapnya.
Sebagai ritual, di Jawa, puasa juga dimeriahkan dengan sejumlah tradisi penuh kegembiraan yang bisa diikuti oleh beragam lapisan masyarakat dan lintas agama. Zastrow menyebutkan, ada tradisi Dandangan di kota Kudus sebagai penanda penentuan awal puasa, Dugderan di Semarang yang merupakan Pesta Bedug menjelang awal ramadhan, dan Dul di Solo yang membunyikan meriam kuno sebagai penanda waktu buka puasa tepat saat Adzan dikumandangkan.
“Jadi di Solo juga ada tradisi kerjasama setiap ramadan antara umat Muslim dengan Gereja Kristen Jawa untuk menyiapkan takjil oleh umat Muslim dan umat Kristiani,” cerita Aria Bima.
“Di Magelang juga. Ada Masjid berhadapan dengan Gereja. Gereja tidak mau memulai Kebaktian hingga menunggu adzan selesai, sedangkan Masjidnya menghormati umat kristiani yang sedang kebaktian sehingga adzan tidak digaungkan lewat speaker. Luar biasa perbedaan itu anugerah di Indonesia,” tutur Zastrow.
Fenomena harmonisnya hubungan sosial antar umat beragama di Indonesia memang banyak sekali contohnya. Yang paling baru, media sosial dihebohkan dengan Takjil War atau Perang Takjil.
Warga lintas agama dan umat Muslim berlomba untuk mendapatkan Takjil Terbaik dan Terbanyak di sejumlah spot. Netizen pun berbahagia melihat ‘Perang’ ini sebab, hal ini merupakan ekspresi kerukunan antar umat beragama di Indonesia. “Saat puasa ramadhan, siapapun ikut merayakan ikut merasakan kegembiraan dan ikut bersenang-senang. Ini praktek hidup yang menjadi kebudayaan, puasa menjadi perajut tali batin antar manusia,” tandas Zastrow.