Teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) berpeluang menjadi paradoks bagi Indonesia. Negeri ini tengah menghadapi bonus demografi 22 tahun mendatang, namun arus zaman menghendaki penyusutan jumlah tenaga kerja. Di sisi lain, hal ini juga berpeluang menjelma sebagai ujian paling berat bagi Indonesian Way of Life: Pancasila.
“Kita harus menghilangkan dampak buruk teknologi misalnya ketika orang menjadi semakin individual dan tak lagi membangun kohesivitas sosial, dan sebaliknya malah mengakibatkan segregasi sosial,” kata Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani dalam Podcast Seri Kemerdekaan yang dipandu oleh host Yonatan Napu di channel youtube BKN PDI Perjuangan.
Kehadiran teknologi super canggih, kata Jaleswari, justru akan menjadi ancaman yang tidak disadari di tengah masyarakat. Maka dari itu harus ada regulasi yang mengatur penggunaan teknologi. Hal itu berguna untuk menyiapkan sumber daya manusia yang akan mengelola, mengawasi serta mengevaluasi itu.
Hal tersebut, lanjut Jaleswari, juga tidak terlepas dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang yang mencapai 85,6 persen.
“Maka menjadi penting untuk membangun literasi digital agar 85,6 persen penduduk Indonesia yang pengguna internet bisa menciptakan mekanisme untuk mewaspadai nilai-nilai yang bertentangan dengan keadaban dan norma etika publik,” paparnya.
Selain itu, Jaleswari juga mengatakan bahwa kehadiran kecerdasan buatan seperti Chat GPT juga memberikan dampak terhadap pendidikan. Dampaknya seperti dua mata pisau, bisa positif atau negatif.
Oleh karena itu dia mendorong adanya aturan mengenai AI atau Undang-Undang Keamanan Siber. Menurut dia, jika sementara waktu belum dimungkinkan adanya aturan, maka kita harus menjadi pengguna yang cerdas. Utamanya dalam menciptakan mekanisme atau strategi kelangsungan hidup kita untuk menghadapi persoalan ini.
“Pengaturan-pengaturan itu kita belum punya, apalagi regulasi bagaimana pengaturan soal artificial intelligence atau undang-undang keamanan siber. Harus didorong, kita memang beberapa kali yang mendorong RUU Keamanan Siber,” ungkapnya.
“Dalam konteks pemerintah bagaimana kita menempatkan Pancasila dalam pengarusutamaan pembuatan RUU. Apakah sudah memasukan unsur menghormati HAM? sudah memasukan unsur kemanusiaan? RUU ini memecah belah atau nggak? RUU ini apakah melahirnya RUU untuk personal atau seluruh bangsa Indonesia? Jadi ini harus diutamakan, harus diejawantahkan di semua level,” imbuh Jaleswari.
Deputi KSP yang membidangi Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan dan Hak Asasi Manusia mengingatkan, pandemi yang kita alami selama tiga tahun lalu mengajar bahwa Indonesia punya modal sosial berupa gotong royong yang sangat kuat. Dari kedaruratan Covid-19 kita paham di situlah karakter asli bangsa Indonesia sesuai Pancasila muncul dengan natural. “Bagaimana sikap saling membantu tanpa peduli latar suku, agama terjadi. Relasi-relasi itu menyadarkan kita sekaligus membentuk fakta sosial bahwa pemerintah tak bisa bekerja sendiri tanpa kolaborasi dengan masyarakat,” urainya.
Di sinilah, ia menegaskan bahwa di tengah pesatnya penggunaan gawai dan kemajuan teknologi, relasi kemanusiaan tetap menjadi hal yang sangat penting. “Selain terkait ketuhanan, nilai kemanusiaan paling kuat ada dalam Pancasila. Bertenggangrasa, saling menghormati, menghargai perbedaan dan lain-lain menjadi tindakan nyata yang keren banget untuk dilakukan,” tukasnya.
Jaleswari menggarisbawahi fakta sosial itu menunjukkan bahwa Indonesia bisa melewati masa-masa sulit pandemi karena ada pemimpin dengan navigasi yang sangat kuat. “Jadi, tidak benar kalau dikatakan pertumbuhan ekonomi kita selama dua tahun ini karena negara kita berjalan dengan ‘autopilot’,” ungkap peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini.