Apa yang disebut Anies sebagai ketimpangan itulah yang diselesaikan Presiden Jokowi dalam 10 tahun terakhir. Mengapa ada konsepsi Indonesia Sentris, ada interkoneksitas dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, disambung jadi satu dengan pembangunan jalan tol, jalan trans, pelabuhan, bandara, listrik 35 ribu watt, dan juga infrastruktur telekomunikasi, sehingga produktivitas tak hanya Jawa Sentris, bahkan Jakarta Sentris.
Narasi itu kelihatannya logis tapi tidak realistis dalam mengkontekskan negara kepulauan sebesar Indonesia. Dalam negara demokrasi, kritis itu perlu, tapi sikap kritis baiknya argumentatif, konstruktif, dan solutif. Pendapat Anies ini kritis, tapi argumentasinya lemah, karena hanya melihat dari posisi sebagai capres yang mengambil kue dari sisi tidak puas pada pemerintahan Presiden Jokowi, padahal saat ini kepuasan pada pemerintah mencapai 85 persen.
Soal pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara bukan hanya visi Presiden sebagai kepala pemerintahan, tapi visi Jokowi sebagai kepala negara melihat Indonesia 100 tahun ke depan, bagaimana ketimpangan itu tidak hanya dengan pernyataan mengatasinya, tapi harus disikapi dengan kebijakan. IKN ini merupakan navigasi ekonomi agar pendulum ekonominya bergerak tidak hanya berat di barat, tapi bergerak ke arah timur dan barat.
Demikian juga kebijakan pemerataan lain seperti BBM Satu Harga, di era Presiden Jokowi harga BBM di Papua dan Jawa sama. Di era Presiden Jokowi inilah pintu-pintu masuk perbatasan negara yang dulu jadi beban ekonomi sekarang menjadi tempat pariwisata yang produktif.
Presiden Jokowi memberikan fondasi ekonomi sehingga ke depan orang tak tertarik lagi ke Jakarta, Surabaya, Semarang, karena massifnya pembangunan infrastruktur membuat kota-kota di wilayah kabupaten seluruh Indonesia relatif lebih produktif. Ditambah lagi arus dana fiskal melalui Dana Desa, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, menjadikan geliat ekonomi tumbuh di bawah.