Program Inspirasi Sahur PDI Perjuangan Episode 18: Kitab Tafsir Al-Azhar Buya Hamka
Terminologi mengenai surga dan neraka lazim digunakan oleh penceramah di masjid, atau di surau tempat mereka menyampaikan ilmu agama. Biasanya diterangkan bila orang Islam akan masuk surga dan sebaliknya dengan orang nonmuslim akan masuk neraka. Namun hal tersebut dibantah oleh Buya Hamka dalam kitab tafsirnya yang sangat masyhur berjudul Tafsir Al Azhar.
Pemaparan itu disampaikan oleh Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, profesor peneliti di Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN) saat membedah Kitab Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka pada program “Inspirasi Sahur” yang ditayangkan oleh akun Youtube BKN PDI Perjuangan pada Minggu (9/4/2023) dipandu oleh Sari Prihatin.
Dalam Kitab Tafsirnya, Buya Hamka mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua muslim bisa masuk surga, dan tidak semua nonmuslim masuk neraka, karena pada akhirnya yang dihitung adalah amal kebaikan. “Jadi kalau kita ingin masuk surga harus memiliki amal kebaikan yang cukup. Hal in juga berlaku juga bagi orang nonmuslim,” terang cendekiawan Muhammadiyah tersebut.
Najib memaparkan, kitab Tafsir Al-Azhar pada dasarnya merupakan kumpulan dari ceramah dan tulisan Buya Hamka yang disampaikan dalam kurun waktu hanya dua tahun, dari Januari 1962 hingga Januari 1964, dan diterbitkan juga dalam majalah Gema Islam. Karena ceramah tersebut disampaikan di masjid Al-Azhar, maka kemudian dinamailah kumpulan tulisan tersebut menjadi Kitab Tafsir Al-Azhar.
Sebagai seorang yang juga dikenal sebagai sastrawan, tentu saja nafas-nafas sastra dapat kita rasakan dalam kandungan tulisan Buya. Hal tersebut dapat tercermin dari bagaimana Buya Hamka menuliskan Tafsir Al-Quran dengan bahasa yang indah, enak dibaca dan cukup ringan untuk didengar, sehingga lebih mudah dipahami bagi orang awam. “Meskipun tidak dimaksudkan untuk menjadikan kitab ini menjadi kitab sastrawi untuk menafsirkan Al-Qur’an,” pria kelahiran Blitar ini.
Perihal kaitan antara Buya Hamka dan sastra tersebut, Najib Burhani menambahkan bahwa sebagai seorang sastrawan tentu saja nafas satrawi tetap melekat dalam tulisan beliau hanya saja hal tersebut digunakana semata-mata agar karya tafsir bisa berkomunikasi dan dicerna dengan baik oleh masyarakat Indonesia.
Sebagai karya fenomenal, Kitab Tafsir Al-Azhar menarik minat peneliti-peneliti luar dari berbagai universitas untuk meneliti tafsir karangan Buya Hamka ini, seperti dari Rotterdam University, hingga Washington University. “Kitab tafsir ini sampai sekarang masih menjadi bahan kajian di beberapa kampus tak hanya di Indonesia, namun juga negara-negara tetangga juga mencetak dan mempelajari kitab ini sejak tahun 1960an,” sambung Najib Burhani.
Kitab ini, lanjut Najib juga bisa menjadi rujukan dalam membangun sikap nasionalisme bagi masyarakat Indonesia. Di era sebelum kemerdekaan sangat sulit menemukan kitab tafsir yang juga membahas tentang persatuan bangsa. Hal tersebut bisa terjadi karena Buya Hamka dikenal sebagai ulama reformis kosmopolitan, yang menjunjung nilai-nilai, kesatuan bangsa, serta toleransi antar umat beragama.
Sebagai anak muda, kita bisa meneladani Buya Hamka sebagai seorang pemikir yang tak hanya memikirkan soal agamanya saja, namun beliau juga memikirkan tentang persatuan bangsa dan toleransi. “Selain itu hal lain yang dapat kita contoh adalah ketekunan dan keteguhan hati beliau yang tetap istiqomah, meskipun menghabiskan waktu kurang lebih duantahun dalam berkarya menuliskan kitab tafsir ini,” tandasnya.
Selengkapnya di