Harga Kedelai Melonjak, Pengusaha Tempe Mengeluh ke Komisi VI DPR RI

Komisi VI DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (DPC Hipmikindo) Kabupaten Bekasi dan Pengusaha Tempe berskala kecil dan menengah membahas mengenai harga kedelai yang terlampau tinggi di ruang rapat Komisi VI DPR, Senayan, Jakarta.

Menanggapi naiknya harga, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Aria Bima mengatakan pihaknya mencatat semua aspirasi yang disampaikan DPC Hipmikindo Kabupaten Bekasi sebagai pendamping pengusaha tempe berskala kecil dan menengah. “Kami akan membahas ini saat rapat dengan mitra kerja komisi VI. Terkait ketersediaan kedelai di lapangan kami akan meminta Kementerian Perdagangan dan Bulog untuk memantau ketersediaan kedelai di lapangan,” ujarnya.

Sementara untuk membantu keberlangsungan UMKM yang sempat gulung tikar, Ia menyarankan DPC Hipmikindo Kabupaten Bekasi membuat koperasi yang menaungi pengusaha tempe berskala kecil dan menengah. “Kami akan dukung dan damping bapak dan ibu mengakses Dana Bergulir untuk sektor Koperasi UMKM untuk membantu permodalan pengusaha tempe,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (DPC Hipmikindo) Kabupaten Bekasi, Eko Parmono menyampaikan, pengusaha tempe berskala kecil dan menengah mengeluhkan harga kedelai yang terlampau tinggi. Mereka (pengusaha tempe berskala kecil dan menengah) berharap harga kedelai bisa stabil dan kembali seperti sebelum pandemi Covid-19. “Harapan dari mereka harga seperti yang dulu, artinya sampai Rp8.000 (per kg). Kalaupun seumpamanya ada kenaikan, itu mereka berharap maksimal Rp90.000,” terangnya.

Pasalnya, Eko menambahkan, tingginya harga kedelai membuat pengusaha tempe berskala kecil dan menengah kesulitan mengejar biaya produksi. “Kalau yang kami tangkap dari teman-teman di lapangan, harga sekarang (kedelai) masih cenderung tinggi sehingga mereka tidak bisa mengejar biaya produksi dan menyebabkan daya jual mereka menurun,” katanya.

Dia menjelaskan, sebelum pandemi melanda, harga kedelai hanya berkisar Rp700.000 per kuintal. Namun, pada Agustus 2022 harga kedelai melonjak jadi Rp 1,4 juta per kuintal. “Hari ini mereka baru belanja bahan tadi pagi, Rp 1,2 juta per kuintal, masih nggak ngejar biaya produksi,” sebutnya.

Pada kesempatan yang sama, salah seorang pengusaha tempe, Siti Tohiroh bercerita, dia sempat gulung tikar karena tidak kuat lagi membeli bahan baku. Dia bahkan terpaksa harus meminjam modal ke bank keliling dengan bunga yang sangat besar demi dapat produksi kembali. “Modal boleh pinjam dari bank keliling, bunganya sampai 30 persen. Misalnya pinjam Rp1 juta kembalinya jadi Rp 1,3 juta,” ucap Siti.

Dia sangat berharap harga bahan baku kedelai bisa segera stabil agar para pengusaha tempe skala kecil dan menengah bisa mendapatkan keuntungan yang layak. Sebab jika harga kedelai masih tinggi, maka pengusaha sepertinya kebingungan untuk mengambil langkah seperti apa. Selain itu, Ia juga berharap ada keberpihakan negara untuk mereka (pengusaha tempe berskala kecil dan menengah) dari sisi modal dan alat produksi modern. “Dikecilkan (ukuran tempe) enggak laku, digedein nggak dapat apa-apa,” ujar Siti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *