Dalam Webinar Nasional yang digelar Universitas Muhammadiyah Prof. Dr HAMKA bertema ‘Polemik Impor Beras Mencari Solusi Kedaulatan Pangan Nasional dan Arah Kebijakan Pemerintah’, ada beberapa poin perlu digarisbawahi.
Kita bersyukur jadi rakyat Indonesia dengan negeri yang subur dengan sumber daya alam luar biasa. Sebanyak 33,4 juta petani yang bergerak di semua sektor komoditas pertanian terus bekerja sungguh-sungguh di masa pandemi melayani 270 juta rakyat Indonesia yang mayoritas mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Jumlah angkatan kerja kita 137,91 juta jiwa, 24 persen di antaranya bermata pencaharian sebagai petani.
Konsumsi beras terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Di sinilah, ketersediaan beras dituntut untuk harus selalu tercukupi, agar tidak terjadi persoalan, baik ekonomi maupun sosial.
Presiden Jokowi menginginkan ketahanan dan kemandirian pangan di Indonesia hingga masuk dalam program prioritas Nawacita. Meskipun Indonesia belum 100 persen mewujudkan ketahanan pangan, karena permintaan tidak seimbang dengan produksi, cita-cita tersebut masih bisa diraih asalkan didukung dengan komitmen bersama antara pemerintah, dunia usaha, petani, dan konsumen.
Sebagai partai pengusung pemerintah, PDI Perjuangan akan tetap kritis. PDI Perjuangan membela pemerintah dengan cara yang benar. Kami tak hanya mengusung orang, tapi juga mengusung visi dan ideologi yang harus diterjemahkan dalam bentuk kebijakan.Kita sangat berharap, Pemerintahan Presiden Jokowi menjadi tonggak dalam mewujudkan kedaulatan pangan, agar ketahanan pangan kita kuat. Menyandarkan pada produksi pangan nasional dan tidak menyandarkan pangan kita pada impor.
Cara untuk mewujudkan ketahanan pangan antara lain:
– Diversifikasi dari beras ke makanan pangan lainnya. Kita harus berusaha mengurangi konsumsi beras masyarakat melalui kampanye seperti ‘satu hari tanpa beras’, dan juga mempromosikan konsumsi makanan pokok lain.
– Mendorong para petani untuk meningkatkan produksi dengan inovasi teknologi.
– Berbagai bantuan pemerintah dalam meningkatkan produktivitas pertanian harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Kita bukan lagi bangsa produsen pangan, tapi sudah jadi predator pangan. Tak hanya beras, tapi juga item-item lain. Dalam konsep Nawacita, konsep pengendalian pangan jadi program prioritas pemerintah.
Tahun 2014, Indonesia menjadi produsen beras terbesar di dunia setelah China dan India. Tetapi beberapa tahun terakhir, Indonesia mengimpor beras, terutama dari Thailand dan Vietnam untuk mengamankan cadangan beras negara.
Alasan Indonesia perlu impor beras:
– Tingkat konsumsi beras orang Indonesia sangat tinggi, rata-rata mencapai 154 kg per tahun. Bandingkan dengan China yang hanya 90 kg per tahun, India 74 kg per tahun, serta Thailand dan Filipina 100 kg per tahun
– Lahan pertanian semakin sempit, terkonversi menjadi lahan non pertanian.
– Perhitungan jumlah produksi kurang akurat. Akurasi data lemah sehingga ongkos kebijakan menjadi sangat mahal, baik secara ekonomi maupun politik. Contoh klasik: Impor beras dilakukan saat data resmi menunjukkan surplus produksi dalam negeri relatif besar.
Baik Kementerian Pertanian maupun BPS menyebutkan neraca beras pada 2021 masih aman. Produksi beras sampai April lalu mencapai 14 juta ton, sementara kebutuhannya sekitar 10-11 juta ton. Artinya, terdapat kelebihan/surplus sebanyak 4 juta ton.
Karena itulah, walaupun sebagai partai pemerintah, PDI Perjuangan getol sekali untuk menolak impor beras.
Kebijakan impor beras sebenarnya salah, namun jika hal itu terpaksa harus dilakukan, maka harus memperhatikan empat hal.
Pertama, memperhitungkan kebutuhan riil yang ada dan tepat. Di sinilah integrasi data antar lembaga sangat penting.
Kedua, memperhatikan kebiasaan rakyat. Ini karena jenis beras yang disukai di tiap provinsi berbeda-beda.
Ketiga, diumumkan pada waktu yang tepat. Pengumuman saat panen merugikan petani. Sebagai komoditas bahan pokok yang sudah diperpreskan Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2020, untuk melakukan kebijakan impor harus melalui rapat koordinasi antar kementerian.
Keempat, memperhatikan dampak terhadap petani. Jaminan pasokan dan stabilisasi harga harus ada untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen dan untuk melindungi pendapatan produsen.
Akhirnya, supply dan demand harus menjadi pedoman dalam mengambil keputusan. Impor beras bukan keputusan latah untuk sekadar mengikuti rente di belakang pengambil kebijakan. Impor beras pun bukan ritual tahunan yang harus dilakukan.
Di sinilah pemerintah harus hadir sebagai harapan umat dalam setiap kebijakan untuk menguntungkan dan menyejahterakan rakyatnya.
Selengkapnya di