Jejak Pena Sukarno, Sang ‘Raja Konten’

Podcast Bung Karno Series BKN PDI Perjuangan Bulan Bung Karno 2023 Episode 19 bersama penulis dan dokumentator Warung Arsip Muhidin M. Dahlan.

Di luar sosoknya sebagai pemimpin karismatik dan orator ulung, jangan lupakan sisi lain Bung Karno sebagai penulis andal dan tokoh pers perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Sukarno menulis sejak duduk di bangku HBS setara SMP, di kos-kosannya Peneleh Tujuh, Surabaya. Kebiasaan menulis itu berlanjut, hingga salah satu tulisannya yang terkenal yakni essay berjudul ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’ terbitan Suluh Indonesia Muda di tahun 1926 atau kala Soekarno berusia 25 tahun.

“Jurnal Suluh Indonesia Muda merupakan gabungan dari studi klub tiga kota besar: Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Di situlah Sukarno menulis essay yang saya sebut sebagai essay yang berkaki, essay yang punya infrastruktur,” ungkap penulis dan sastrawan Muhidin M. Dahlan dalam Podcast Bung Karno Series bersama host Fahrudin yang tayang di akun Youtube BKN PDI Perjuangan, Senin (19/6/2023).

Menurut Muhidin, ‘Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme’ menjadi tulisan pertama Bung Karno yang sangat indah dan kuat. Tulisan ini menjadi puncak pikiran dari setiap paham dan setiap golongan yang kemudian diambil intisari dan sari patinya oleh Bung Karno, diperas dan difungsikan menjadi satu kekuatan untuk mencapai Indonesia merdeka. Di situ, Bung Karno sadar bagaimana menggunakan teknologi sebagai kendaraan untuk menyampaikan gagasannya.

“Bung Karno tahu betul caranya menunggangi teknologi, yang tercanggih saat itu adalah melalui media cetak. Radio dan televisi kan belum ada saat itu. Sebagai ‘raja konten’, Sukarno tahu platform surat kabar harus digunakan secara maksimal sebagai kendaraan untuk menyampaikan gagasan menjangkau orang banyak,” kata Muhidin

Banyaknya gagasan yang ingin dituangkan Bung Karno dalam tulisan mendorongnya membuat koran yang diberi nama ‘Persatuan Indonesia’ dan berdiri pada tahun 1927. Nama ini sama persis dengan sila ketiga Pancasila yang Ia perjuangkan sampai mati. Koran kemudian dijadikan sebagai koran resmi Partai Nasional Indonesia (PNI). Saat itu, semua aktivis pergerakan punya koran sebagai alat perjuangan dan kendaraan ideologis.

Muhidin melanjutkan, koran ini tak bertahan lama, lalu bubar dikarenakan Bung Karno dipenjara. Namun hal ini tak menyurutkan semangat perlawanannya. Setelah keluar dari penjara, ia kembali membuat koran yang diberi nama Fikiran Ra’jat, terbit pada tanggal 15 Juli 1932 dengan Bung Karno sebagai pimpinan redaksinya. Hal yang sama terjadi, karena tulisan yang begitu keras, Sukarno kembali diasingkan.

Namun, tradisi menulis itu begitu melekat pada Bung Karno. Walaupun ia diasingkan tak menyurutkan semangatnya untuk menulis. Di tempat pengasingan lahir sebuah tulisan besar yang masih kita kenal sampai saat ini yaitu ‘Indonesia Menggugat’.

“Setelah ia diasingkan ia tetap menulis. Contoh yang paling dramatis yaitu pidato fenomenalnya yang lahir dari sel berukuran 2 x 3 meter di LP Banceuy, Bandung. Bung Karno menulis di atas toilet, menutup lobang kakus dengan kaleng makanan dan jadilah ‘Indonesia Menggugat;,” tutur Muhidin

Muhidin menegaskan bahwa penggunaan media sebagai kendaraan untuk menyampaikan gagasan tetap digunakan saat Bung Karno menjadi Presiden. Televisi hadir kali pertama era kepemimpinan Bung Karno. Sebagaimana kita tahu, proklamasi Indonesia tersebar melalui radio, sementara TVRI lahir saat Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games 1962. “Ketika ia jadi presiden, kita harus punya televisi, ini dimaksudkan Bung Karno promosi kepada dunia tentang kecanggihan Indonesia. Dan ini terjadi di era Sukarno semua. Ia tahu karena ia orang pers, ia gunakan kekuasaan dengan menghadirkan teknologi media secara massif sebagai kendaraan gagasan dan penyambung lidahnya,” terangnya.

Pria 45 tahun kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, ini pun mengisahkan bagaimana para pemimpin harian ‘Bentara’ menghadapnya lalu diubah namanya menjadi ‘Kompas’ oleh Bung Karno. Meskipun saat Bung Karno tumbang, Kompas melawannya habis-habisan,” ceritanya.

Setelah era Sukarno, wajah media berubah. Dulu “panglima koran” adalah politik, kini bergeser jadi ekonomi dalam industri yang begitu komersial. “Sejarah pergerakan itu dibangun dengan titian media, khususnya koran. Semua anggota pergerakan itu adalah pemimpin redaksi surat kabar. Demikian pula dunia kebudayaan, menjadi menggelegar di era Sukarno lewat media, seperti lomba cipta lagu RRI, dan lain-lain,” katanya.

Muhidin Dahlan memungkasi, kalau kita mengikuti jalan Bung Karno, seharusnya Indonesia tidak mungkin memiliki tingkat literasi rendah. “Mestinya kita didgaya soal literasi. Karena jika mengikuti jalan Sukarno, partai itu bertanggungjawab terhadap minat baca anggota dan keluarganya. Setiap partai punya koran, punya penerbitan buku. Merekalah yang memasok bacaan kepada keluarga, ke seluruh konstituen di Indonesia,” pungkasnya.

Selengkapnya di

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *