Program Talk Show Dua Arah Kompas TV bersama Liviana Cherlisa, Effendy Choirie, Andre Rosiade, Herzaky Mahendra Putra dan Feri Amsari
Sekarang ini seolah-olah berkembang persepsi publik bahwa navigasi menyangkut pertemuan, kerja sama, dukung-mendukung diarahkan ke Presiden Joko Widodo Padahal, perhitungan-perhitungan parpol itu didasarkan pada kalkulasi pileg dan pilpres yang semuanya diarahkan pada dampak elektoral masing-masing. Bisa keliru sendiri kalau seolah-olah diarahkan di belakangnya ada Pak Jokowi. Nanti kalau sudah keliru, jangan salahkan Pak Jokowi juga.
PKB keluar dari Gerindra untuk mendukung Anies, itu urusan PKB sendiri. Demokrat kemudian mendukung Prabowo masuk kerja sama Gerindra – Prabowo ya itu ya antara Prabowo-AHY dan SBY. Harus dipertegas tidak ada peran Pak Jokowi dalam kaitan peran Demokrat menggabungkan diri dengan Prabowo.
Soal data intelijen, jelas bahwa selaku kepala negara, Presiden Jokowi setiap hari mendapat brief informasi intelijen. Data dan analisis intelijen yang diterima Presiden itu tentang apa saja, termasuk perkembangan politik domestik. Juga misalnya kalau ada data mengenai keinginan dari luar yang menginginkan kekacauan menumpang kontestasi politik di Indonesia. Sejauh mengganggu keamanan negara, mengganggu persatuan dan kesatuan negara, boleh-boleh saja data intelijen itu diketahui Presiden.
Saya sepakat bahwa Jokowi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara bernavigasi berdasar data yang ada dengan analisis intelijen. Sebagai presiden, Jokowi tidak bisa tidak selalu mendapat informasi parpol dan harus mengamankan situasi negara terutama jika ada keinginan campur tangan asing melalui aktor-aktor politik.
Tapi, di sisi lain saya percaya, sebagai kepala negara, Presiden Jokowi tidak ikut cawe-cawe dalam kepentingan politik praktis parpol apalagi di era kontestasi saat ini. Saya menolak kalau kepala negara memainkan kartu-kartu politik terhadap kegiatan politik praktis.
Selengkapnya di