Komunikasi politik terus berlangsung tanpa henti seiring dengan keberadaan penyelenggaraan negara. Komunikasi politik terjadi pada berbagai segmen dan tingkatan dengan berbagai jenis pelakunya. Komunikator politik bisa seorang pejabat negara, politisi, atau orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap politik dan komunikasi politik. Frekuensi komunikasi politik meningkat ketika terjadi peristiwa yang sebenarnya terjadi secara rutin dan berkala, seperti rangakaian penyelenggaraan pemilu dan pilpres beserta peristiwa ikutannya, maupun peristiwa yang memiliki magnitude politik besar.
Filsuf Jerman Martin Heidegger menyatakan ada (Dasein) terletak dalam temporalitasnya.
Struktur menyeluruh Dasein harus dimengerti dalam rangka temporalitas. Itulah konsep dasar tentang Ada dan Waktu yang begitu rumit dan dicoba untuk disederhanakan dalam pengertian populer oleh K. Bertens (Bertens. 2019 : 210-214).
Waktu adalah unsur penting dalam komunikasi. Kita semua hidup dalam waktu. Komunikasi pasti juga dalam waktu juga. Bagi komunikasi, waktu demikan bermakna secara kontekstual – pagi, siang, sore, malam, cepat, lambat, dan sebagainya – kepada pesan komunikasi membawa efek tertentu sebagai konsekuensinya (Mulyana. 2019b: 371). Dengan kata lain, seluruh aspek kehidupan di dunia memiliki ikatan dengan wakt.
Setiap budaya memiliki tafsir dan pemaknaan yang berbeda-beda tentang waktu. Di beberapa daerah terdapat tulisan “Jam belajar 18.30 -21.00” juga “Tamu 1×24 jam wajib lapor RT setempat”. Kedua pesanmenibullkan tanda tanya besar bagi orang asing yang sedang berkunjung ke suatu daerah di Indonesia, apa sebenarnya makna tersirat dari pesan itu. Tetapi ,bagi orang Indonesia, makna pesan itu sangat mudah untuk dimengerti dan dipahami.
Makna tulisan “Jam belajar 18.30-21.00” adalah anak sekolah dilarang berada di luar rumah, harus berada di dalam rumah untuk belajar, dan televisi serta perangkat hiburan lainnya wajib dimatikan pada waktu yang tertera tersebut. Demikian halnya,”Tamu 1×24 jam harus lapor RT”, makana dari pesan itu adalah para tamu yang bermalam harap laopr pengurus RT di wilayah setempat.
Dalam hal gender misalnya, para lelaki berjalan kaki dengan percepatan lebih tinggi ketimbang perempuan. Orang berusia produktif berlalan kaki juga dengan percepatan lebih tinggi ketimbang mannusia lanjut usia.
Dalam upacara yang dimpimpin oleh Presiden atau acara-acara keegaraan yang dihadiri Kepala Negara, alokasi waktu diatur secara ketat dan zakelijk dan mendekati zero tolerance dari menit ke menit. Para tamu undangan diharapkan hadir satu jam sebelum acara resmi dimulai. Dalam setiap acara penting yang dihadiri Presiden, pidato atau sambutan Kepala Negera dialokasikan waktunya sebagai pembicara terakhir. Pasca menutup sambutan atau pidato, biasanya dilanjutkan dengan peresmian atau pembukaan acara oleh Presiden.
Jika pada acara seremonial yang dihadiri Presiden alokasi waktu diatur dengan ketat, sebaliknya pengambilan keputusan politik di DPR seringkali molor dari alokasi waktu yang telah dijadwalkan karena harus melewati beberapa mekanisme terkait adanya perbedaan pandangan antarfraksi. Pimpinan rapat tidak jarang memperpanjang dengan menskors rapat karena terjadi kebuntuan dalam pengambilan keputusan. Rapat diskors untuk waktu tertentu untuk dilanjutkan dengan lobby politik. Alokasi waktu skors acapkali dilewati dan diperpanjang dengan alokasi waktu tambahan. Tidak jarang skorsing baru dicabut pada keesokan harinya. Ketika menjelang reses belum juga dicapai kata sepakat, sehingga skors baru dibuka pada masa persidangan berikutnya.
Paparan di atas menunjukkan bahwa waktu selalu melekat dengan peristiwa komunikasi, baik menurut perjalanan sesuai dengan ukuran kronometer dan tarikh atau satuan menurut durasi seperti jam kerja, jam pelajaran, Ada juga peristiwa alam yang dijadikan penanda seperti waktu, pagi, sore, siang, malam, purnama, yang selalu berulang sesuai dengan waktu edar atau orbit bumi terhadap matahari. Atau penanda waktu yang ditandai dengan terjadinya peristiwa dahsyat ketika terjadi bencana alam, maupun bencana nonalam. Hal itu seperti terdapat dalam prasasti kuno, yang menggunakan penanda waktu seperti purnama ketujuh, atau ketika terjadi wabah.
Selain itu tentang persepsi waktu juga sangat dipengaruhi budaya pada suatu tempat. Orang Jepang misalnya, selalu terobsesi pada ketepatan waktu dalam segala hal. Hal itu ditandai dengan ketepatan waktu perjalanan kereta komuter di Tokyo, baik dari sisi jadwal perjalanan maupun waktu tempuhnya. Jepang kini juga negara penghasil pesawat kronometer yang utama di dunia selain Swiss. Aneka bentuk jam dengan berbagai kegunaan buatan Jepang merupakan produk unggulan. Sebaliknya orang Jawa, selalu dipersepsikan sebagai lamban dan penganut “jam karet”, karenanya ada idiom alon-alon waton kelakon. Meskipun tidak seluruhnya benar, tetapi stigmatisasi dan stereotyping yang sudah terbangun lama itu telah menimpulkan persepsi terhadap orang Jawa yang lelet, lamban, dan kurang menghargai waktu.
Aneka pandangan terhadap waktu tersebut di atas, menunjukkann bahwa dimensi waktu bersifat niscaya dan melekat dalam seluruh aspek kehdupan. Oleh karenanya perisiwa komunikasi juga terkoneksi dengan kerangka waktu.
Ihwal Kronemika
Diskusi tentang makna waktu dalam komunikasi telah dimulai sebelum istilah kronemika lahir. Studi tentang waktu telah dimulai oleh George H. Mead, Harold Innis, Edward T. Hall, Kenneth Burke, dan lain-lain. Istilah kronemika (chronemics) pertama kali dikemukakan oleh Fernando Poyatos – ahli bahasa dan semiotika Kanada – pada 1972.
Poyatos mengemukakan bahwa kronemika berhubungan dengan penanganan waktu sebagai elemen interaksi sosial. Sementara Bruneau menyusun artikel pertama tentang waktu dan komunikasi nonverbal pada 1974, dan berusaha merumuskan definisi kronemika dalam komunikasi dan berusaha menjelaskan karakteristiknya pada 1977 (Bruneau 2016). Selanjutnya studi tentang kronemika dalam komunikasi makin berkembang.
Judee Burgon memaparkan teori baru tentang komunikasi dan hubungannya dengan masa depan, Expectancy and Violations Theory pada 1978, dan paling populer adalah karya Edward T. Hall dalam The Dance of Life: The Other Dimensions of Time (seperti yang diruaikan dalam Mulyana, 2019b : 369-404).
Kronemika adalah kajian tentang konsep dan proses temporalitas atau koneksi waktu yang berkaitan dengan interaksi manusia. Tom Bruneau membagi temporalitas menjadi waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif yang berkaitan dengan waktu sehari-hari dan kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan kewajiban formal dan informal manusia. Sedangkan waktu subjektif adalah temporalitas yang bersifat personal bagi seseorang. Kombinasi antara waktu objektif dan waktu subjektif berhubungan dengan waktu personal bagi individu maupun kelompok yang inheren dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang utama dalam komunikasi dilingkupi oleh waktu yang bersifat teknis (hitungan kronometer, tahun, bulan, hari,jam, menit, detik), waktu personal, dan tempo atau durasi (Bruneau, 2016 dalam Littlejohn dan Foss, 2016 : 115).
Selanjutnya Bruneau menyatakan bahwa temporalitas dalam kehidupan manusia terdiri atas kronemika dari perilaku manusia. Kronemika bisa diukur menurut perjalanan waktu secara serial, maupun menurut atas durasi peristiwa yang berlangsung. Kronemika termasuk bidang baru dalam kajian komunikasi nonverbal. Studi tentang kronemika ini, menghubungkannya dengan seluruh komunikasi nonverbal lainnya.
Semua bentuk pesan komunikasi nonverbal memiliki temporalitasnya sendiri – mulai dari awal hingga akhir, start awal dari 0 detik dan seterusnya, sebelum dan sesudah, cepat dan lambat, dan sebagainya (Bruneau, 2016).
Pesan verbal juga memiliki temporalitasnya sendiri. Komunikasi tidak akan terjadi tanpa temporalitas manusia. Manusia adalah homo temporalis, yang memiliki identitas temporal yang sangat kompleks, yang di dalamnya termuat berbagai jenjang pengalaman waktu yang bersifat personal. Studi tentang kronemika berkembang dari berbagai macam displin ilmu seperti bilologi, anropologi, sosiologi, serta pskologi, dan tentu saja komunikasi – termasuk di dalamnya komunikasi politik yang bersifat lebih spesifik.
Cara Menata Waktu
Seperti telah dikemukakan di atas, Bruneau membagi waktu menjadi waktu objektif dan waktu subjektif. Waktu objektif diukur dengan kronometer (jam dan turunannya) dan tarikh. Ukuran dan satuan waktu dengan awal dan akhir, kedatangan dan kepergian, manajemen atau pengorganisasian waktu dalam perisiwa komunikasi, maupun dalam pengaturan kegiatan dan kemana tujuan kita sehari-hari. Termasuk dalam kelompok waktu objektif adalah kriterium waktu berbasis teknologi dan ilmiah. Sedangkan di dalam waktu subjektif dan personal terdapat kriteria waktu genetik dan biologis, waktu perseptual, waktu psikologis, dan waktu sosiokultural.
Waktu Objektif
Waktu objektif berhubungan dengan bagaimana orang kebanyakan orang merujuk pada waktu, masa, dan tingkat perubahan. Manusia telah berusaha melakukan pengembangan penanda waktu sejak ribuan tahun silam.
Marshall McLuhan mencatat bahwa perangkat penanda waktu merupakan media yang mengubah tugas dan menciptakan kerja serta kekayaan dengan mengakselerasi gerak asosiasi manusia, atau kegiatan komunikasi (Bruneau, 2016 dalam Littlejohn dan Foss,2016 : 115 – 116).
Adanya keteraturan penanda waktu menunjukkan kemajuan peradaban manusia. Penanda waktu yang teratur telah menjadikan adanya standarisasi yang terukur tentang satuan waktu. Adanya keteraturan penanda waktu yang berbagai satuan yang terukur orang akan makin mudah menandai pengalaman yang telah ia capai sepanjang usianya. Adanya keteraturan penanda waktu yang terukur, akan memudahkan orang untuk mengatur waktu pertemuan, perjumpaan dan perpisahan. Adanya keteraturan penanda waktu yang terukur, manusia menjadi objektif dalam tindakan repetitif, rutinitas, kebiasaan-kebiasaan, serta berbagai bentuk aktivitas manusia lainnya. Sebagian besar kehidupan manusia modern berlangsung dalam ikatan penanda waktu yang bersifat reguler dan (atau) rutin dalam siklus hidupnya. Rutinitas dan regularitas itu mengikat dalam aktivitas hidup manusia sehari-hari. Setiap manusia dapat menyusun waktu objektifnya sendiri-sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Perangkat penentuan waktu dibuat sedemikian rupa untuk interval yang masing-masing setara dalam urutan siklus penanda waktu. Banyak orang menghindari terhadap apa yang disebut Lawrence Right sebagai chronarchy dalam kehidupan sehari-hari.
Chronarchy adalah kegiatan yang dilakukan berdasar penananda waktu yang tidak diperhitungkan secara matang. Pihak yang menguasai jam atau pembagian waktu lokal, juga mengontrol ruang atau proxemics dan gerakan dalam ruang atau kinesics.
Waktu objektif akan memudahkan orang menyusul jadwal, tabel waktu – baik secara individual maupun untuk kepentingan kelompok, baik kelompok kerja maupun kelompok sosial. Aktivitas yang diatur berdasar waktu objektif akan memudahkan manusia mengatur dan menyusun kontak komunikasi.
- Waktu Teknologi dan Ilmiah. Waktu ilmiah (scientific) berbasis waktu objektif dengan tingkat akurasi dan presisi yang sangat tinggi. Waktu ilmiah digunakan untuk berbagai kajian yang membutuhkan tingkat kesalahan nol (zero defect) atau mendekati nol. Waktu ilmiah dan teknologi menerapkan satuan pecahan satuan waktu hingga ukuran nano mupun theta yang digunakan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam telekomunikasi adanya jeda waktu pengiriman dan penerimaan pesan sangat mengganggu siaran langsung televisi karena komunikasi antara host dan narasumber yang diwawancarai terganggu akibat adanya impedansi suara karena terjadi jeda waktu pengeriman dan penerimaan, walau hanya sepersekian detik. Dalam dunia olahraga atletik waktu ilmiah berbasis teknologi sangat penting untuk menentukan pemenang lari 100 meter, selisih sepersersepuluh detik bisa menggungurkan kemenangan. Hal serupa juga berlaku dalam balapan sepedamotor Grand Prix MotoGP, maupun balap mobil Grand Prix Formula 1.
Waktu Subjektif atau Waktu Personal
- Waktu Genetik atau Waktu Biologis. Setiap manusia memiliki waktu biologis yang unik dari terwariskan secara turun-temurun dari para leluhur. Kajian kronogenetik memperlihatkan adanya pasokan stabilitas dan waktu transien yang mengindikasikan adanya perubahan demi perubahan yang terus berlangsung dalam kehidupan. Temporalitas genetika berinteraksi dengan setiap kapasitas dari potensi endokrin basal dan metabolik bayi. Stabilitas gen disebut ergens dan transiensi atau perubahan dalam gen disebut chronon.
Sudi tentang biostasionarity dan bioperiodicity disebut chronobiology. Kajian tentang chronobiology menunjukkan bahwa waktu genetik yang menetukan manusia memiliki jam biologis yang masing-masing berbeda. Hal itu ditunjukkan oleh berbagai varian atau perbedaan dalam tempo biologisnya. Variasi waktu biologis itu selalu hadir, walau tanpa disadari dan berpengaruh dalam proses komunikasi baik sebagai pengrim maupun penerima pesan. Studi tentang waktu biologis dipelopori oleh Pierre Lecomte pada 1997 yang dipublikasikan dalam buku Biological Time. Studi Lecomte tersebut telah menjadi peletak dasar kajian tentang communibiology sebagai pelengkap sociobiolgy yang telah berkembang beberapa dasawarsa sebelumnya.
Perbedaan proses biologis dari setiap individu berpengaruh terhadap perhatian interaktif dan persepsi masing-masing individu. Ketika ritme hormonal, biologis, dan metabolisme dalam tubuh tidak sinkron selama berinteraksi, hal itu menunjukkan bahwa dirinya sedang mengalami masalah komunikasi dengan orang lain. Dalam komunikasi, ritme biologis sering mengalami penyesuaian komunikatif. Hal itu terjadi dalam kontak mutual antarpribadi. Upaya sinkronisasi dalam berinteraksi sangat penting, karena jika tidak berhasil bisa menimbulkan kesulitan atau kegagalan komunikasi.
Waktu terasa bergerak semakin cepat dari bayi, kanak-kanak hingga dewasa, dan kemudian kembali menurun di saat tua. Pada saat usia tua, suhu otak pengalami penurunan, jam biologis manusia makin melambat, smentara waktu objektif seolah makin cepat. Sejalan dengan usia yang menua fungsi inderawi juga makin meurun. Dalam kondisi yang menua, warisan jam biologis akan memengaruhi ritme kehidupan, Ada yang selalu merasa was-was dengan kondisi sekitar, sebaliknya ada yang acuh tak acuh. Ada pula yang makin aktif mengisi hari tuanya, sebaliknya ada yang pasrah dan pasif . Dalam berkomunikasi ada yang makin terbuka, sebaliknya juga ada yang menutup diri. Periode waktu biologis sangat membantu kita dalam mengatur dan menentukan karakter perspektif tentang waktu, penentuan waktu dan tempo.
- Waktu Perseptual. Waktu persepual berkaitan erat dengan pemrosesan petunjuk atau isyarat nonverbal. Komunikasi dengan penanda atau perseptual merupakan cara seserorang memahami komunikasi orang lain di dalam otaknya. Jenis komunikasi perseptual juga sering disebut sebagai semiotika, atau bagaimana cara kota memahami atau membawa sinyal komunikasi nonverbal yang berasal dari lingkungan alam, fisik, teknik, dan sosial ke dalam otak. Adanya sinyal komunikasi nonverbal yang masuk kedalam otak, telah menjadikan kita melihat dunia di luar tidak sebagai objek ruang dalam kasus objektivitas, tetapi gelombang ritmis dan bidang energi yang sangat kompleks. Manusia memroses gelombang cahaya (penglihatan), gelombang suara (pendengaran), gelombang tekanan (sentuhan), gelombang biokimia (rasa), dan berbagai masukan stimuli lainnya. Berbagai gelombang tersebut dikonversi dan disalurkan melalui indra dengan cara tertentu sehingga berubah menjadi impuls sinyal ke otak.
Informasi lama yang tersimpan dalam korteks otak disebut déjà vu, sedang informasi yang baru masuk disebut jamais vu. Proses informasi keluar masuk secara simultan, baik yang bersifat top down maupun bottom up. Dalam perkembangganya terjadi akumulasi memori yang teersimpan dalam otak.. Projeksi pada penerimaan informasi tersebut disebut semiosis atau waktu perseptual.
Makna atas pesan yang disampaikan dalam komunikasi nonverbal tidak ditransmisikan secara langsung. Transmisi langsung terjadi pada pesan nonverbal, waktu perseptual, penentuan waktu, dan tempo. Ketika pesan nonverbal atau sinyal diinterpretasikan dan dipresentasikan ulang, maka kita berhadapan dengan makna dan waktu psikologis.
- Waktu Psikologis. Waktu psikologis berkaitan dengan temporalitas objektif dan subjektif, tergantung pada jenis dan mode kesadaran yang sedang bekerja. Otak manusia tidak hanya memerhatikan kode biologis dan kimiawi, komunikasi semiotika dan nonverbal, tetapi juga sistem waktu memori (masa lalu), atensi dan persepsi (saat ini), serta antisipasi dan ekspektasi (masa depan).
Menurut Karl Pribram penggagas teori otak holonomic, terdapat tiga jenis kesadaran manusia Tiga jenis kesadaran itu bekaitan dengan variasi waktu psikologis, dan terdiri atas, kesadaran objektif, kesadaran naratif, dan kesadaran transendental (Bruneau dalam Littlejohn dan Foss, 2016 : 118 – 119).
Kesadaran objektif berhubungan dengan hal-hal yang bersifat linier, serial, sekuensial, unitisasi, logistik, dan hal biasa yang bersifat ordinal. Kesadaran objektif berhubungan dengan kerja dan kinerja otak kiri. Hal tersebut merupakan penataan tentang waktu (timing) yang berada di otak kiri. Timing di otak kiri berhubungan dengan parietal lobe, memori referensial, dengan antisipasi dan ekspektasi yang berada pada frontal lobe. Koneksi otak itu disebut poros otak depan-belakang. Bahasa secara objektif, ditata sedemikian rupa secara linier dan berurutan. Hal itu merupakan konsekuensi atas kertekaitan dengan orientasi tujuan yang disusun secara objektif seperti kemana arah tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan rute yang telah tersusun.
Kesadaran naratif mencakup proses quasi linier di otak kanan, seperti seni, musik, estetika, cerita, metafora, plotting, imajinasi, khayalan, dan sebagainya.
Proses yang berlangsung di otak kanan hal-hal yang bersifat emosional, perasaan, serta hal-hal intuitif seperti empati, memahami persaan orang lain, dan sebagainya. Hal itu terjadi karena adanya interaksi antara otak objektif (otak kiri), dan otak subjektif (otak kanan). Koneksi otak seperrti itu disebut koneksi poros kiri-kanan.
Perbedaan antara monokronik dan polikronik sebagai bagian waktu mikro menurut Edward T. Hall terkait dengan perbedaan antara objektif dan naratif. Menurut Edward T. Hall, monokronik terkait erat dengan kesadaran objektif, dan polikronik berhubungan dengan kesadaran naratif.
Kesadaran transendental adalah kesadaran yang berhubungan dengan proses non linier yang terjadi di otak. Kesadaran transendental tidak terkait dengan kesadaran objektif. Meditasi, dan kontemplasi, adalah proses yang menutup diri terhadap kesadaran objektif. Kesadaran transendental bisa menghilangkan atau menghapus ingatan sesorang atau suatu peristiwa tertentu. Tetapi, melalui kesadaran transendental, sesorang bisa mendapatkan inspirasi atau ilham yang mencerahkan bagi kehidupannya.
- Waktu Sosiokultural. Lingkungan sosiokultural sangat beragam. Oleh karenanya orientasi masing-masing kelompok sosiokultural tentang waktu juga sangat beragam. Ada kelompok yang berorientasi pada masa lalu, sekelompok lainnya berorientasi pada masa kini, dan kelompok yang lain lagi berorientasi pada masa depan. Implementasi waktu objektif pada kelompok yang menguatamakan waktu naratif tentu akan menimbulkan gegar budaya.
Kelompok yang memadang waktu serba relatif dan lebih membaca waktu melalui tanda-tanda zaman tentu akan repot bila harus menggunakan patokan waktu sesuai dengan ukuran kronometer yang serba pasti mulai dari detik, menit, jam hari, bulan dan tahun.
Mengubah kultur temporalitas yang berbasis naratif menjadi objektif tentu bukan perkara mudah karena harus mengubah pandangan tentang waktu, dari yang serba relatif menjadi waktu objektif yang serba pasti. Beberapa pengelompokan sosiokultural sangat dipengaruhi oleh aspek spiritual dan nonlinier serta kesadaran transendental. Ritme lingkungan alam dan ritme lingkungan buatan manusia, serta ritme komunikasi di pelbagai macam lingkungan sosial, semuanya berada dalam waktu sosiokultural.
Edward T. Hall membuat model mandala tentang waktu untuk memetakan pandangan tentang waktu dalam perspektif lintas budaya. Secara garis besar Hall menggambarkan tentang delapan konsep waktu yang berlainan yang diklasifikasikan dalam empat pasang model dan satu konsep waktu yang berada di tengah-tengahnya. Setiap konsep waktu berbeda tidak hanya dengan konsep waktu dalam pasangan lain, tetapi juga dengan konsep waktu dalam pasangan yang sama. Memahami dan menerap konsep waktu tertentu bagi konsep waktu yang lain, jelas merupakan kekeliruan.
Dengan mengacu pada model Hall, Mulyana menguraikan dan memodifikasi penjelasasnnya seabagai berikut (Mulyana.2019b : 373-380) :
- Waktu Biologis (Biliogical Time), waktu yang sejalan dengan irama siklus hidup, seperti rasa lapar yang menjadi penanda waktu untuk makan, dan mengantuk sebagai penanda waktu untuk tidur. Waktu biologis ditunjukkan oleh jam yang merupakan penanda waktu setempat mauupun jam yang menjadi patokan penanda waktu dunia (GMT atau UTC).
Rasa lapar timbul sekitar jam 12 WIB, dan rasa kantuk timbul mulai sekitar jam 22 WIB (Waktu WIB adalah GMT atau UTC +7). Waktu biologis juga dapat dilihat melalui pertanda alam seperti peredaran matahari beserta planetnya dalam tatasurya, pergantian musim, pasang surut air lalut saat purnama dan perbani, kokok ayam jantan yang menandai datangnya pagi hari, siklus haid dan menopause perempuan dan lainnya.
- Waktu Pribadi (Personal Time) mengisyaratkan pengalaman pribadi seseorang yang berlainan tentang waktu. Perbedaan itu sangat dipengaruhi oleh situasi yang situasi, konteks, aktivitas yang dilakukan maupun kondisi emosional dan fisiologi yang dialami oleh seseorang. Waktu pribadi bersifat lebih subjektif ketimbang waktu biologis. Bagi seorang mahasiswa yang kesulitan menjawab soal-soal ujian akhir,tentu merasakan waktu berlalu begitu cepat. Sementara bagi narapida yang meringkuk dalam sel di LP, waktu terasa begitu lama menuju pembebabasan saat hukuman berakhir.
- Waktu Fisik (Physical Time), konsep waktu alami yang diramalkan dan diukur untuk tujuan-tujuan yang bersifat pragmatis dan ilmiah. Ramalan cuaca yang banyak digunakan bagi navigasi pelayaran dan penerbangan untuk menghindari rute-rute dengan wilayah yang kemungkinan bakal terjadi cuaca buruk, kapan bakal terjadi badai siklon tropis dan bakal melalui kawasan mana saja, juga kapan akan terjadi gerhana matahari atau bulan, kapan puasa Ramadan bakal dimulai, dan sebagainya. Juga ramalan tentang pergantingan musim, dan estimasi panen raya, kemungkinan datangnya paceklik sehingga harus menyiapkan stok bahan pangan secara nasional yang memadai sebagai langkah antisipatif.
- Waktu Metafisik (Metaphysical Time). Waktu metafisik bersifat sangat subjektif, seperti saat seseorang mengalami peristiwa mistis, juga saat seseorang mengalami déjà vu atas peristiwa yang pernah ia alami sebelumnya.
- Waktu Mikro (Micro Time). Waktu Monokronik dan Polikronik yang dipengaruhi dan terikat oleh budaya primer. Aturan-aturan tentang waktu mikro hampir seluruhnya berada di luar kesadaran. Waktu mikro merupakan pencerminan karakter bangsa tertentu dalam penghargaan dan pandangannya tentang waktu.
- Waktu Sakral (Sacred Time). Waktu sakral adalah saat tertentu yang secara imajiner bersifat suci. Bagi umat Islam tentu sangat menantikan Lailatul Qadar yang diharapkan datang pada tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Bagi orang Jawa yang masih menghargai tradisi malam 1 Suro adalah saat yang paling tepat untuk melakukan meditasi. Bagi pribadi tertentu ada pula yang menjadikan hari kelahirannya berdasar perhitungan pawukon adalah hari sakral bagi dirinya, misalnya orang itu lahir pada Selasa Legi.
- Waktu Profan (Profan Time). Waktu profan adalah waktu yang dihitung berdasar kronometri, mulai dari detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahum, dekade, abad, millennium.
- Waktu Meta (Meta Time). Waktu meta adalah waktu yang definisi, konsep, model, teori tentang waktu berikut sifat-sifatnya yang dikemukakan oleh filsuf, agamawan, antroplog, dan pakar psikologi. Waktu meta bukan waktu yang sebenarnya, tetapi waktu yang diabstraksikan dari berbagai peristiwa waktu. Definisi dan konsep tentang waktu bisa berlainan dan bertenangan, sangat bergantung pada persepektif yang digunakan.
Konsep waktu mikro yang terkait dengan budaya. Budaya Eropa Barat, Skandinavia, Jepang, dan belakangan Singapura, sangat ketat menghargai waktu. Ketepatan adalah yang utama.
Waktu diartikan bersifat linier yang tidak pernah terulang. Pandangan terhadap waktu yang bersifat linier dikenal sebagai polikronik (waktu- P). Sedangkan pandangan terhadap waktu sebagai daur ulang (siklis) disebut sebagai monokronik (waktu- M) seperti yang berlaku bagi budaya Timur, budaya Arab, budaya Indian Amerika, dan berbagai budaya tradisional Afrika (Mulyana.2019b: 384-397).
Ihwal Komunikasi Politik
Komunikasi politik secara umum dimaknai sebagai komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang tentang politik, mulai obrolan di warung kopi hingga sidang lembaga perwakilan rakyat yang membicarakan konstitusi negara. Komunikator utama komunikasi politik adalah para pemimpin politik atau pejabat pemerintah karena mereka aktif menciptakan pesan politik bagi kepentingan politis mereka. Para komunikator utama politik adalah pols, yakni para politisi yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, pada sisi yang lain adalah warga negara atau vols yang aktif dalam politik secara part time dan sukarela (Wahid.2018 : 19).
Komunikasi politik lebih lazim didefinisikan sebagai proses linier atau suatu sistem. Pendekatan linier berorientasi pada efek atau pengaruh pesan politik, sedangkan pendekatan sistem berorientasi pada kestabilan atau kesinambungan suatu sistem politik. Kedua pendekatan ini memandang realitas komunikasi politik sebagai realitas yang teratur, dan karenanya mudah diramalkan seperti realitas alam yang ditandai dengan hubungan seba-akibat (Mulyana.2013).
Sedangkan Dan Nimmo menggunakan paradigma atau formula Harold Laswell. Menurut Nimmo dalam melakukan analisis komunikasi politik terdapat beberapa unsur penting yang terlibat dalam komunikasi yang terkait dengan hubungan sebab-akibat, yang terdiri atas komunikator politik (siapa), pesan-pesan politik (mengatakan apa), media komunikasi politik (melalui saluran apa), khalayak politik (kepada siapa), dan efek politik (dengan efek yang bagaimana) (Nimmo. 1990 dalam Sobur.2014 :419).
Waktu, Komunikasi Politik, dan Kekuasaan
Komunikasi politik terjadi pada waktu kekuasaan direbut dan dipertahankan. Dalam negara demokrasi, perebutan kekuasaan dilakukan secara damai melalui pemilu. Pemenang pemilu akan menduduki kekuasaan pada kurun waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah disepakati bersama.
Waktu yang mengikat periode pemerintahan sebenarnya adalah batasan durabilitas atau tempo yang yang bersifat tetap, seperti lima tahun yang berlaku di Indonesia, empat tahun untuk masa jabatan Presiden AS, dua tahun untuk anggota House of Representatives, masa jabatan Presiden Filipina selama enam tahun, dan Prancis telah mengubah masa jabatan presden dari tujuh tahun menjadi lima tahun sejak 2000.
Dalam kasus khusus, pemilu bisa dipercepat, sehingga masa periode pemerintahan yang bersifat tetap itu bisa diperpendek karena hal-hal tertentu. Presiden BJ Habibie telah memercepat pemilu dari yang seharusnya terselenggara pada 2002 menjadi pada 1999. Kebijakan itu ditempuh karena pemerintahan hasil Pemilu 1997 telah kehilangan kepercayaan yang kemudian melahirkan Reformasi. Pemilu 1999 juga merupakan Amanat Reformasi untuk membentuk pemerintahan penyelenggara secara demokratis melalui pemilu yang jujur dan adil (free and fair election).
Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi parlementarian, pemilu dapat dipercepat karena dua hal yang bertolak belakang. Pertama, pemerintahan yang berkuasa merasa kuat sehingga percaya diri untuk memercepat pemlu untuk membuktikan kuatnya dukungan rakyat. Kedua, ketika pemerintah yang berkuasa kehilangan kekuatan suara mayoritas di parlemen ketika ada anggota koalisi yang menyeberang ke kubu lain atau keluar dari keanggotaan koalisi. Selain itu pemilu bisa dipercepat karena adanya mosi tidak percaya dari parlemen sehingga pemerintah jatuh dan deminisioner. Untuk membentuk pemerintahan baru perlu diselenggarakan pemilu yang dipercepat.
Pemerintahan penerima mandat rakyat melaksanakan tugasnya dalam batasan waktu tertentu. Bagi negara dengan sistem presidensial, presiden menjalankan mandatnya dalam kurun waktu tertentu dan ada pembatasan. Sementara pagi negara yang menganut sistem parlementarian, seorang perdana menteri dapat memimpin pemerintahan selama partai atau koalisi partai yang dipimpinnya memenangi pemilu. Jabatan Presiden AS dibatasi dua kali masa jabatan (2×4 tahun). Presiden RI pasca amandemen UUD 1945 hanya boleh menduduki jabatan dua kali lima tahun. Presiden Filipina hanya boleh menempati jabatan sekali selama enam tahun. Hal itu menunjukkan bahwa masalah waktu merupakan penanda atau pembatas penting dalam praktik politik serta penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Waktu, Komunikasi Politik, dan Kebijakan Pemerintah
Presiden Joko Widodo telah terpilih sebagai Presiden RI untuk keduakalinya. Sebagai pemegang mandat langsung dari rakyat melalui kemenangan dalam dua kali pilpres, Presiden Joko Widodo menyusun visi dan misi dalam menjalankan penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang dinamai Nawa Cita. Nawa Cita jilid pertama sudah berakhir, kini sedang menjalani Nawa Cita jilid dua yang menjadi peretas jalan menuju Visi Indonesia 2045. Dalam menjalankan fungsi dan peran sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Presiden Joko Widodo dibantu oleh para menteri anggota Kabinet Indonesia Maju pada periode jabatan yang kedua. Selain para menteri kelancaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan , Presiden juga dibantu oleh beberapa lembaga negara penunjang lainnya.
Meskipun hampir semua yang termaktub dalam Nawa Cita jilid pertama dapat terwujud, utamanya dalam percepatan pembangunan infrastruktur, serta program pro rakyat lainnya. Semua program pemerintah yang belum rampung pada periode pertama, terus dilanjutkan pada periode kedua. Dalam masa jabatan yang kedua Presiden Joko Widodo berkonsentrasi pada pembangunan kualitas manusia. Salah satu sasarannya adalah memperkecil jumlah tenaga pengangguran dengan cara membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Pembukaan lapangan kerja dilakukan dengan membuat kemudahan investasi dengan cara menjamin kepastian hukum melalui sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan hambatan birokrasi, melalui undang-undang sapujagad, omnibus law, yang akhirnya final sebagai UU Cipta Kerja.
Program yang sudah tersusun dari sisi waktu dan tahadapan yang hendak dicapai terganggu karena pandemi CoViD-19. Sebagian besar alokasi anggaran dialihkan untuk penanganan pencegahan perluasan wabah CoViD -19 sehingga perlu dibentuk Gugus Tugas dan kemudian menjadi Satgas CoViD -19. Pada tahap awal pandemi, Presiden Joko Widodo mendapatkan serangan dan tekanan dari seluruh penjuru, berbagai kepentingan bermain dalam proses penyerangan dan penekanan terhadap Presiden Joko Widodo. Tekanan dan serangan kepada Presiden tersebut mengerucut pada satu hal mengapa Presiden tidak memilih kebijakan lock-down, tetapi memilih social distancing dan physical distancing, dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Meskipun kebijakan Presiden Joko Widodo terbukti benar dan WHO mengumumkan bahwa kebijakan lock-down tidak efektif dan berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar, bukan berarti serangan terhadap Presiden mereda. Komunikasi politik dan komunikasi publik pemerintah ternyata tidak efektif. Strategi kehumasan juga perlu dikaji ulang.
Dalam penanganan CoViD – 19, kepatuhan untuk patuh terhadap protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan sesering mungkin, belum menjadi dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Perlu strategi komunikasi yang ampuh supaya protocol kesehatan yang menjadi tulang punggung percepatan penanggulangan CoViD -19 bisa dipatuhi secara efektif dalam rangka memasuki era normal baru. Meski tingkat kesembuhan terus meningkat, kepatuhan terhadap protokol kesehatan terus digencarkan untuk dipatuhi tanpa kecuali. Indonesia terus berkejaran dengan waktu menuju kurva penularan yang normal.
Di tengah pandemi yang masih berlangsung pembahasan UU Cipta Kerja terus berjalan. Transparansi pembahasan undang-undang berukuran jumbo yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang meliputi pemerintah, DPR, pengusaha dan pelaku bisnis, serikat buruh, LSM dan aktivis lingkungan, ormas keagamaan, pelaku pariwisata, ternyata tidak terinformasikan dengan baik ke masyarakat. Sebagai akibatnya hoaks bersliweran yang berbuah pada penolakan UU Cipta Kerja secara meluas. Percepatan peluasan penolakan membuktikan bahwa strategi komunikasi pemerintah utamanya di bidang kehumasan tidak bisa berjalan secara efektif dan kalah dalam percepatan untuk memengaruhi khalayak sasaran. Jika strategi komunikasi pemerintah berjalan secara efektif, unjuk rasa yang meluas dan eksesif disertai perilaku anarki dan beringas serta perusakan fasilitas sosial dan fasilitas umum tidak perlu terjadi.
Kita telah membuang-buang waktu dan biaya yang seharusnya tidak perlu, apalagi situasi sedang sulit karena pandemi. Kerumunan para demonstran dalam jumlah besar di pelbagai kawasan Tanah Air juga berpotensi sebagai klaster baru penularan CoViD -19.
Peringatan untuk mengenang terjadinya peristiwa penting dan bersejarah juga diikat oleh waktu. Ada yang memaknainya sebagai waktu sakral, seperti peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang dirayakan setiap 17 Agustus. Tetapi ada pula yang menjadikan waktu tertentu untuk mengemukakan pendapat di muka umum, seperti 20 Oktober 2020, tepat satu tahun pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin memegang kekuasaan, banyak kalangan yang akan melakukan unjuk rasa. Apa yang dilakukan para pengunjuk rasa pada saat peringatan satu tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin adalah menggunakan waktu fisik dalam kategori Hall untuk tujuan yang bersifat pragmatis.
Waktu, Komunikasi Politik, dan Lembaga Perwakilan Rakyat
Lembaga perwakilan rakyat atau parlemen di Indonesia sejak 2004 , terdiri dua kamar (bicameral) yang terdiri atas DPR RI dan DPD RI. Lembaga perwakilan rakyat adalah lembaga yang bekerja dengan komunikasi politik, sesuai dengan asal katanya yang berasal dari bahasa Yunani, parle, yang artinya bicara. Berbicara artinya berkomunikasi. Dengan kata lain lembaga perwakilan rakyat adalah lembaga yang bekerja melalui komunikasi dalam bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan., untuk DPR RI. Sedangkan DPD RI mengurus hal-hal yang terkait dengan pembangunan daerah dan memberi usul dan saran kepada DPR RI terkait dengan masalah implementasi otonomi daerah dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah otonom.
Anggota DPR RI dan DPD RI dipilih oleh rakyat. Anggota DPR RI terpilih merupakan calon terpilih yang diajukan oleh partai politik peserta pemilu yang telah lolos dari ambang batas perolehan suara untuk DPR (parliamentary threshold), sementara anggota DPD terplih adalah calon perseorangan yang mendapatkan suara terbanyak urutan pertama hingga empat untuk setiap provinsi. Mulai Pemilu 2019 penentuan jumlah perolehan kursi yang diraih oleh parpol dan diberikan kepada calon yang mana dari partai politik menggunakan metode Kuota Sainte Lague, pada pemilu-pemilu sebelumnya sistem yang digunakan adalah Kuota Hare. Sedangkan penghitungan kepada siapa kursi anggota DPD diberikan menggunakan sistem distrik berwakil majemuk. Kursi di berikan kepada calon yang mendapatkan perolehan suara nomer satu hingga nomer empat. Jika pada penentuan anggota DPR RI dan DPRD dengan jumlah kursi yang diperebutkan dari daerah pemilihan sesuai tingakatannya. Sementara keterpilihan seorang anggota hanya didasari pada jumlah perolehan suara. Artinya setiap provinsi diwakili empat orang anggota DPD.
Masa jabatan anggota DPR RI dan DPD RI selama lima tahun, tidak ada batasan waktu dan periode selama seorang anggota DPR RI dicalonkan oleh partai politik dan terpilih. Sedangkan bagi anggota DPD RI syaratnya mencalonkan diri dan terpilih.
Aturan waktu kerja di DPR RI dalam waktu satu tahun dibagi menjadi beberapa masa sidang. Di antara masa sidang terdapat masa reses. Aturan tentang masa sidang dan masa reses waktunya diatur menggunakan waktu objektif sesuai dengan jumlah hari kerja efektif, maupun berdasar kalender. Selama reses anggota DPR tidak libur, tetapi kembali ke daerah pemilihan untuk bertemu dengan konstituen. Kunjungan kerja ke daerah atau ke luar negeri secara spesifik sesuai dengan lingkup kerja masing-masing komisi dilaksanakan pada saat reses atau di luar reses jika dipandang perlu berdasarkan alasan tertentu.
Alat Kelengkapan DPR RI terdiri atas Pimpinan Dewan, Badan Musaywarah, Badan Legislasi, Komisi (I sampai XI), Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, Badan Kerjasama Antar Parleemen, Mahkamah Kehormatan Dewan. Komposisi keanggotaan dalam Alat Kelengkapan Dewan, disesuaikan dengan jumlah perolehan kursi. Pengisian anggota Alat Kelengkapan Dewan diserahkan kepada masing-masing fraksi. Fraksi dapat mengatur perputaran penugasan anggotanya dalam anggotanya dalam Alat Kelengkapan Dewan sesuai dengan kebutuhan.
Jam kerja anggota DPR tidak dibatasi waktu seperti bekerja kantoran. Meski ada jadwal berikut alokasi waktu yang telah ditentukan, hal itu tidak lalu membatasi waktu kerja DPR RI. Dalam beberapa pengambilan keputusan penting terutama pengesahan undang-undang atau seleksi anggota lembaga negara yang lain seperti seleksi komisioner KPK dan KPU, tak jarang anggota DPR harus rapat sampai dini hari berikutnya.
Inti dari kerja anggota DPR RI adalah melakukan komunikasi politik – baik berupa komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, dan komunikasi massa, serta komunikasi publik baik dengan sesama anggota fraksi, sesama anggota partai koalisi pendukung pemerintah, dengan kelompok oposisi, dengan berbagai kelompok profesi, kelompok kepentingan, ormas, LSM, dan gerakan sosial, hingga mereka yang berada di akar rumput. Proses komunikasi berlangsung pada sepanjang waktu dalam berbagai kesempatan, baik secara formal, informal, maupun nonformal.
Pengambilan keputusan tentang keputusan tentang pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja melalui rapat paripurna 5 Oktober 2020 menjelang tengah malam, telah digoreng sedemikian rupa, karena DPR “berselingkuh” dengan pemerintah untuk melakukan offside dari alokasi waktu yang telah dijadwalkan. Dalam pengambilan keputusan tentang undang-undang yang lain DPR terkesan lelet dan mengulur-ulur waktu, tetapi untuk pengesahaan UU Cipta Kerja DPR dikesankan bekerja secara terburu-buru guna memenuhi permintaan pemerintah.
Terhadap hal itu, pantas kiranya bila ada analisis yang menyatakan bahwa DPR – dalam hal ini kelompok pendukung pemerintah – terjebak dalam pembingkaian (framing) yang dibangun oleh kelompok yang berseberangan tanpa mampu menemukan jalan keluar yang baik dan elegan. Hal itu menjadi bukti bahwa strategi komunikasi politik kelompok pendukung pemerintah sangat lemah dan tidak kompak. Sementara kubu lawan melakukan strategi komunikasi politik ofensif seluruh lini dan seluruh platform media, baik media tradsional dan media digital berbasis internet.
Hal yang bersifat remeh juga dikapitalisasi sedemikian rupa, misalnya tentang kepastian jumlah halaman UU Cipta Kerja yang akan diserahkan ke Presiden untuk diberi nomer, diundangkan dan dimasukkan dalam Lembaran Negara serta diumumkan dalam Berita Negara.
Dalam bahasa Inggris Ketua DPR disebut sebagai juru bicara parlemen (speaker of the parliament) oleh karena pimpinan DPR bersifat kolektif kolegial dan bergiliran memimpin rapat, maka alangkah baiknya pimpinan DPR kompak dalam mengatur strategi komunikasi terutama dalam strategi kehumasan. Supaya soal alokasi waktu dan strategi komunikasi yang lebih baik sehingga dampak eksesif seperti unjuk rasa berkepanjangan yang destruktif dan anarkis bisa dinafikan sebelum terjadi
Waktu, Komunikasi Politik dan Penyelenggaraan Pemilihan Umum
Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden , dan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat merupakan agenda negara lima tahunan yang diselenggarakan secara ajeg dan teratur, guna mengisi jabatan penting dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yakni presiden dan wakil presiden, serta anggota lembaga perwakilan rakyat (DPR RI, DPD RI, dan DPRD). Penyelenggaraan Pemilu diampu oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) secara langsung, meski tidak masuk dalam rumpun dan ranah pemilu, penyelenggaraan juga didelegasikan kepada KPU. Para pemangku kepentingan pada penyelenggaraan pemilu adalah pemerintah, partai politik, calon perseorangan anggota DPD, KPU, Bawaslu, dan DKPP.
Pemilu diselenggarakan berdasarkan alokasi waktu dan penjadwalan berdasar waktu objektif yang bersifat rigid. Dan, hal itu berlangsung dimulai dari verifikasi faktual tentang kelayakan administratif partai politik sebagai peserta pemilu oleh Kementerian Hukum dan HAM, dan seterusnya hingga Hari-H pemungutan suara dan diakhiri dengan penetapan pemenang pilpres, serta perolehan suara dan perolehan kursi partai politik di DPR RI dan DPRD, serta penetapan siapa saja calon anggota DPD yang berhasil lolos. Tidak ada toleransi waktu dalam rangkaian penyelenggaraan pemilu. Semua telah terjadwal secara rinci. Pemungutan suara ulang diizinkan bila terbukti terjadi pelanggaran yang berpotensi memengaruhi perolehan suara atau terjadinya force majeure karena kondisi tertentu yang tidak terelakkan.
Dalam rangkaian proses pemilu dari awal sampai ujung, segala bentuk dan format komunikasi politik terjadi tanpa henti di seluruh lini baik secara langsung mamupun yang dimediasi oleh media – baik media tradisional maupun media digital yang bertumpu pada saluran internet. Komunikasi politik yang ingar-bingar terjadi pada saat kampanye luar ruangan seperti penyelenggaraan rapat umum. Khalayak datang dalam jumlah besar, tetapi penyampaian pesan politik acapkali tidak berjalan efektif karena sebagian besar orang datang tidak untuk mendengarkan pesan politik, tetapi lebih pada mencari hiburan.
Aturan kampanye dalam bentuk rapat umum, dibatasi mulai jam 09.00 dan harus berakhir pada jam 18.00 waktu setempat, tetapi dalam implementasinya banyak yang terus melanjutkan acaranya selewat batas waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan KPU. Pelanggaran aturan kampanye diselesaikan melalui Bawaslu, tetapi karena sanksi yang dikenakan terhadap para pelanggarnya pada umumnya bersifat ringan dan tidak menimbulkan efek jera. Pada penyelenggaraan pemilu serentak pelanggaran kampanye – terutama melewati batas waktu yang ditentukan memiliki frekuensi paling banyak. Ke depan, utamanya pada Pemilu 2024, hal serupa tidak perlu berulang kembali.
Terkait dengan penyelenggaraan pilkada serentak 9 Desember 2020, rapat umum tetap boleh diselenggarakan meski waktunya (dalam arti frekuensi) hanya dibolehkan satu kali untuk tingkat kabupaten/ kota, dan dua kali untuk tingkat provinsi. Rapat umum sebagai wahana komunikasi politik juga dibatasi pesertanya, maksimal 100 orang dengan persyaratan yang ketat sesuai dengan protokol kesehatan untuk menghambat penyebarluasan pandemi CoViD -19. Kampanye dengan melibatkan banyak orang yang cenderung menimbulkan kerumunan sebetulnya merupakan risiko terbetuknya klaster baru penyebaran CoViD-19. Tetapi, meniadakan rapat umum dan kampanye tatap muka juga melanggar hukum, karena ketentuan dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada masih berlaku. Oleh karenanya pelarangan rapat umum dan kampanye tatap muka dalam pilkada serentak 9 Desember 2020 tidak memiliki dasar hukum.
Dalam pilpres dan pilkada, pemaparan visi dan misi dari masing-masing pasangan calon melalui debat yang disiarkan melalui saluran televisi secara nasional adalah etalase politik yang ditawarkan kepada para pemilih untuk memengaruhi kepada siapa pilihan akan diberikan. Adu argumen dan saling unjuk keunggulan program masing-masing pasangan sebetulnya bisa menjadi referensi pilihan, begitu pula straegi saling mematahkan argumen dan menguliti kelamahan lawan dan keunggulan visi, misi, dan program yang akan dijalankannya jika kelak memenangi pemiihan bisa menjadi faktor persuasif untuk mengarahkan atau menggiring ke arah mana pilihan akan diberikan. Tetapi, ketentuan tentang waktu penyelenggaran yang terbatas, acara yang ditujukan bagi penggalangan dukungan dan pilihan acap kali tidak efektif. Acara terselenggara dengan penjadwalan dan pengaturan waktu yang bersifat kaku secara kronometri. Tiap sesi acaranya dibatasi dalam satuan menit.
Pemilu 2019 dengan lima surat suara adalah pemilu paling rumit di dunia. Sistem penghitungan secara manual di TPS sebagian baru selesai pada dini hari atau esok pagi hari berikutnya. Di beberapa tempat terjadi force majeure yang mengkibatkan kelelahan petugas KPPS yang berakibat fatal yakni kematian. Ke depan, hal seperti itu tidak perlu terjadi. Perlu dipikirkan pemilu serentak yang terpisah untuk pusat dan daerah. Pemilu tahap pertama untuk pilpres dan pileg DPR, dan DPD, dan pemilu tahap kedua untuk pileg DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota. Ada pula yang mengusulkan pemilu serentak dua tahap. Pertama pilpres digabung dengan pilkada yang diselenggarakan dalam waktu yang sama. Pemilu serentak lainnya adalah pileg untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Opsi pemakaian teknologi melalui e-voting juga bisa dijadikan alternatif pilihan. Melalui e-voting penggunaan hak pilih secara dini sangat dimungkinkan. Kedepan perlu dipkirkan tentang penyusunan jadwal dan alokasi waktunya perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi ekses yang merugikan bagi seluruh pihak.
Penutup
Komunikasi politik selalu terjadi sepanjang penyelenggaraan negara masih terus berlangsung. Komunikasi politik terjadi secara meluas, lintas segmentasi dan tingkatan publik. Kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika yang memungkinkan informasi politik dapat diakses secara realtime tanpa batasan ruang dan waktu, telah menjadikan komunikasi politik berlangsung secara meluas melalui media sosial dan media online yang mudah didapati melalui gawai seperti telepon genggam pintar, Meski demikan komunikasi politik yang disampaikan melalui platform media siaran tradisional seperti telivisi, tetap menjadi tontonan menarik bagi sebagian khalayak. Hal itu dibuktikan dengan disajikannya acara dengan materi yang political heavy seperti talkshow politik yang disajikan pada saat prime time – khususnya bagi stasiun televisi berita nasional.
Frekuensi lalu lintas politik menjadi ramai karena hal yang bersifat rutin seperti mekanisme lima tahunan dalam pengisian jabatan-jabatan penyelenggara negara seperti presiden dan anggota lembaga perwakilan rakyat melalui pemilu, dan atau pengisian jabatan kepala daerah provinsi dan kabupaten kota melalui pilkada. Dalam tingkatan mikro-lokal, pemilihan kepala desa (pilkades) juga menghadirkan komunikasi politik. Komunikasi politik pada tingkatan mikro-lokal menjadi menarik, karena para komunikator politik dan khalayak sasaran saling kenal secara pribadi.
Mekanisme lima tahunan pengisian jabatan-jabatan negara melalui pemilu tersebut telah menghadirkan frekuensi komunikasi yang meningkat hingga pasca penetapan pemenang pemiu. Frekuensi komunikasi mulai politik meningkat sejak dua tahun sebelum pemilu, terutama jika terjadi revisi atau perubahan Undang Undang Pemilu dan (atau) Undang Undang Partai Politik. Pengisian jabatan publik lembaga penyelenggara pemilu atau KPU juga berimbas pada peningkatan frekuensi komunikasi politik.
Pada tingkat partai politik, kegiatan komunikasi politik makin meningkat sejak verifikasi adminstrasi dan hukum pesrsyaratan partai sebagai peserta pemilu sejak dari Kemenkumham dan pengesahan sebagai peserta pemilu oleh KPU. Hiruk-pikuk komunikasi politik internal partai juga makin memanas saat penetapan caleg, Selain itu sounding tentang siapa yang berpotensi sebagai kandidat presiden dan siapa yang berminat menjadi kandidat presiden juga mulai mewarnai topik pembicaraan dalam komunikasi politik.
Kegiatan negara pasca reformasi yang berlangsung secara teratur dan berkala pada Pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019 sudah terbukti membawa peningkatan frekuensi komunikasi politik, baik melalui tatap muka, komunikasi publik melalui kampanye, maupun komunikasi politik dalam media tradisional, cetak dan siaran maupun media baru berjeraingan berbasis internet. Bahkan isyu seputar Pemilu 2024 sudah mulai ramai diperbincangkan sebagai topik dalam komunikasi politik.
Waktu peringatan hari besar nasional juga sering dimanfaatkan untuk mengemukakan pendapat sebagai wahana komunikasi publik, baik melalui unjuk rasa, maupun pembicaraan dalam seluruh platform media, baik media tradisional, maupun media baru atau media siber berjeraingan berbasis internet seperti media sosial, dan media online.
Berbagai peristiwa yang bersifat mendadak dan terduga seperti bencana alam, bencana nonalam, serangan teroris, kebijakan dan ucapan kontroversial dari tokoh penting sering menjadi momentum yang berpontensi meningkatkan frekuensi komunikasi politik.
Pada dasarnya komunikasi politik terus terjadi sepanjang waktu. Peningkatan atau pengurangan frekuensi politik sangat tergantung pada ada tau tidaknya peristiwa yang memiliki magnitude politik besar, baik yang berlangsung secara secara rutin dan berkala, maupun peristiwa penting yang terjadi secara incidental dan tidak terduga. Komunikasi politik secara internasional, regional, nasional, dan lokal, terus terjadi dalam berbagai segmen dan tingkatan, sejak wabah CoVid-19 mulai merebak di Wuhan China hingga menjadi pandemi dunia saat ini.
Dibuat oleh Aria Bima, sebagai tugas mata kuliah ‘Komunikasi Politik’ dengan dosen pengajar Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. pada Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 2020
Daftar Pustaka
Bertens,K. 2019. Filsafat Barat Kontemporer Jilid I Inggris dan Jerman. Jakarta : Gramedia Pusataka Utama. cetakan kelima.
Bruneau, Tom,. 2016. Chronemics, dalamLittlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen, A. (eds) 20016. Ensiklopedia Teori Komunikasi Jilid 1. Jakarta : Kencana.
Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen, A. (eds) 20016. Ensiklopedia Teori Komunikasi Jilid 1. Jakarta : Kencana.
____________________, 20016. Ensiklopedia Teori Komunikasi Jilid 2. Jakarta : Kencana.
Mulyana, Deddy. 2019a. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya. cetakan ke 22.
____________. 2013. Komunikasi Politik Politik Komunikasi : Membedah Visi dan Gaya Praktisi Politik. Bandung : Remaja Rosdakarya.
____________. 2019b. Pengantar Komunikasi Lintas Budaya Menerobos Era Digital Dengan Sukses. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Schuetz, Janice. 2016. Political Communication Theories dalam Littlejohn, Stephen W. dan Foss, Karen, A. (eds) 20016. Ensiklopedia Teori Komunikasi Jilid 2. Jakarta : Kencana
Sobur, Alex. 2014. Ensiklopedia Komunikasi (tiga jilid). Bandung : Simbiosa Rekatama Media
Wahid, Umaimah. 2018. Komunikasi Politik Teori, Konsep, dan Aplikasi pada Era Media Baru. Bandung : Simbiosa Rekatama Media .cetakan kelima.